Jumat, 17 April 2009

AMERIKA: DARI WACANA PERLINDUNGAN HINGGA HAMBURGER DAN SPAGHETTI

(Wacana Poskolonial Film Body of Lies)*

Heru Susanto

Dalam kondisi tidak enak badan, ponsel bergetar. Ada SMS dari teman yang masuk, “Her, kmu d kntrakan ta? Qmau knsultasi k kmu.”. Kata konsultasi sebenarnya kurang nyaman bagi saya, terlalu berlebihan. Yang lebih cocok adalah diskusi. Masalah yang ingin didiskusikan ternyata poskolonial. Saat itu, saya membalas dengan ragu, “Pertanyaannya, apa km yakin seorang guru SMP dpt memberi bantuan ttg poskolonial? Bukankh seorang guru cenderung brmasalah dg baku ato tdk baku?!” Balasannya cukup meyakinkan. Saya pun mengiyakan dapat ikut nimbrung sedikit tentang poskolonial walau teman saya berlebihan.





Saat itu juga, sekitar pukul 23.30, saya mulai membuka-buka buku tentang poskolonial. Saya tidak ingin mengecewakan teman bila nanti diskusi, minimal dapat “berujar” poskolonial. Dengan sedikit serius layaknya seorang mahasiswa kutu buku, saya membaca buku Diskursus yang ditulis Sara Mills. Seperti buku-buku yang menyinggung poskolonial lainnya, Mills pun membahas pemikiran Edward Said, Mary Louise Pratt, hingga Gayatri Spivak. Perkenankan saya ngoceh sebentar!

Sekadar Serpihan

Poskolonial pada dasarnya membahas masalah teks kolonial yang tidak sekadar memaparkan relasi penjajah dan terjajah seperti tuan dan budak. Tetapi, perlawanan terhadap penjajah pun dapat dimasuki oleh studi poskolonial. Poskolonial berperan sebagai diskursus kritis yang dapat membongkar teks yang secara samar menyudutkan kaum terjajah. Seperti yang diungkap oleh Said dalam Orientalism, teks-teks kolonial cenderung memosisikan posisi Barat dan Timur berbeda. Timur digambarkan lebih rendah daripada Barat sehingga bangsa Timur merupakan bangsa yang terlambat dan “aneh”. Secara tidak langsung, posisi Timur ditempatkan sebagai posisi “Yang Lain” (The Other).

Diskursus teks kolonial yang diajukan Said memicu wacana poskolonial yang berspirit mengangkat yang terpinggirkan (The Other). Pihak yang dipinggirkan oleh wacana kolonial berusaha diangkat ke permukaan. Hal itulah salah satu usaha untuk memperjuangkan kemanusiaan.

Oleh sebab itu, poskolonial juga dapat digunakan untuk “menelanjangi” teks hingga pembaca dapat melihat ideologi yang bergerilya di dalam teks. Dalam hal ini, ideologi yang dimaksud adalah ideologi penguasa yang memojokkan lawan. Ideologi tersebut memang cenderung samar. Tidak tertutup kemungkinan, ideologi yang samar tersebut justru menjelma sebagai sosok pahlawan sehingga pembaca tidak sadar tenggelam dalam ilusi untuk melanggengkan kekuasaan. Nah, saat itulah, poskolonial siap membongkar “skandal” di dalam teks. Yang dikatakan Mills tidak berlebihan bahwa poskolonial merupakan teori kritis yang menggambarkan sistematik tentang negeri jajahan.

Uraian poskolonial ini sekadar serpihan. Artinya memang tidak dijabarkan secara keseluruhan. Masih banyak bahasan-bahasan poskolonial. Akan tetapi, kiranya serpihan ini mampu untuk menjadi pisau analisis dalam membongkar teks bernuansa kolonial.

Menikmati Body of Lies

Selesai membaca buku-buku teoretis jelimet, saya teringat salah satu film berjudul Body of Lies yang baru beberapa hari sebelumnya saya tonton. Film tersebut menceritakan seorang intelejen CIA yang ditugaskan membongkar jaringan teroris di Timur Tengah yang mengancam negara Barat. Intelejen tersebut bernama Ferris yang dibintangi oleh Leonardo DiCaprio.

Film garapan Warner Bros Picture, Body of Lies, menghadirkan ketegangan-ketegangan yang luar biasa. Tidak hanya konflik antara intelejen dengan mujahidin, konflik antarintelejen dengan intelejen, Amerika dengan Yordania sebagai tuan rumah, memberikan gambaran bagaimana intelejen mengatasi masalah. Sesekali mereka juga terlibat persaingan mengenai informasi tentang target sasaran operasi.

Film ini tidak jauh beda dengan Film garapan Barat lainnya, seperti Rambo. Pihak yang menang tetap Barat. Intinya, Barat merupakan pelopor perjuangan kemanusiaan, penjaga keamanan internasional, dan penegak hukum internasional.

Latar film tersebut tepatnya Yordania. Di sana, kelompok mujahidin pembela Islam yang dianggap teroris berpusat. Secara tidak langsung, film tersebut menghadirkan dua budaya yang berbeda, Barat dan Timur. Penggambaran keduanya secara samar-samar tidak proporsional. Ada ideologi yang bersarang dalam teks film tersebut. Untuk itu, mari kita gunakan teori poskolonial untuk membacanya lebih jauh.

Peradaban Barbar

Semenjak aksi teror 11 September 2001 di Amerika Serikat, invasi militer besar-besaran diluncurkan untuk memberantas aksi teroris yang bersarang di Timur Tengah, tepatnya di Afganistan. Dampaknya, darah pun membanjiri negara muslim tersebut. Struktur maupun infrastruktur hancur. Yang tersisa hanya puing-puing bangunan dan penderitaan. Dengan alasan pemberantasan teroris, yang diduga jaringan Al-Qaidah, kenyataannya Amerika justru melakukan pembantaian besar-besaran.

Setelah Afganistan dilumpuhkan, Maret 2003, Amerika menyerang Irak. Alasan tidak jauh beda. Mereka mengatasnamakan invasi tersebut sebagai perjuangan demokrasi dan hak asasi manusia yang telah direnggut oleh Sadam Husyain. Dampaknya sama. Puing-puing kehancuran dan penderitaan yang tersisa.

Itulah sekelumit kisah dari dunia realita dan yang menjadi latar belakang film tersebut. Akan tetapi, film tersebut justru menjadikan Barat tetap menempatkan posisi sebagai penegak hak asasi manusia.

Adegan film itu dibuka dengan pemutaran rekaman salah satu pimpinan mujahidin, Al-Saleem. Video itu memberikan perintah kepada mujahidin untuk membalas kucuran darah akibat orang-orang Barat, khususnya Amerika.

“Setelah kita hancurkan bis di Sheffield minggu lalu… Kita persiapkan operasi di Inggris. Kita akan balas perang yang dilancarkan Amerika pada Muslim. Kita akan serang mereka di mana-mana. Kita serang secara acak di Eropa lalu dilanjutkan di Amerika. Kita telah kucurkan darah. Dan kini…mereka akan berdarah.”

Sosok pemimpin mujahidin tersebut digambarkan layaknya ulama Islam yang digambarkan penuh dengan hasrat membunuh. Adegan tersebut merupakan jalinan teks yang membangun pemahaman bahwa budaya Timur, khususnya Islam identik dengan kekerasan. Darah dibalas dengan darah manusia tak berdosa. Intinya teks tersebut membentuk suatu makna pembantaian yang membabi buta atas nama agama. Tidak hanya suatu organisasi teror, melainkan agama peneror.

Adegan ini merupakan pembuka film. Penikmat akan langsung diberi gambaran tentang siapa yang anarkis. Paradigma penikmat film dibentuk sedemikian rupa dengan teks yang memosisikan budaya muslim seakan-akan budaya barbar, budaya peradaban yang tertinggal.

Hal itupun ditemukan dalam perkataan atasan Intelejen Ferris yang merupakan otak pemberantasan terorisme di Timur Tengah.

“Karena musuh kita…telah menyadari mereka melawan orang-orang dari masa depan”

Teks tersebut secara eksplisit mengatakan bahwa musuh, mujahidin, telah menyadari bahwa Amerika merupakan musuh dari masa depan. Kecanggihannya dan kehebatannya telah diakui. Secara tidak langsung, teks tersebut juga memosisikan mujahidin sebaliknya.

Kekerasan yang paling kuat ditunjukkan secara jelas pada adegan klimaks akhir film. Ketika Ferris, intelejen CIA, tertangkap, mujahidin siap untuk memenggalnya. Tetapi, adegan yang menunjukkan mujahidin yang keliru dan Barat yang benar terasa kuat menjelang pemenggalan. Perdebatan antara Ferris dengan Al Saleem tentang penafsiran kitab suci terjadi.

Al Saleem : “Jangan katakan mereka yang membantai karena Allah itu mati. Mereka hidup tapi kalian tidak menyadari.”

Ferris : “Jadi kau salah artikan kitab yang kau percaya….

Bagiku kau adalah budak. Kau budak para Sheikh Saudi dan uang minyak… wahabi yang mendanaimu.”

Al Saleem menyitir kalimat dari kitab suci sedangkan Ferris menyangkalnya. Ferris menegaskan bahwa mujahidin keliru dalam menafsirkan kitab suci untuk melegalkan pembantaian. Mujahidin yang mewakili budaya Timur Tengah dianggap sebagai kelompok yang gila materi dan haus akan kekuasaan. Ucapan itu diujarkan oleh seorang intelejen yang mewakili budaya Barat. Teks tersebut memosisikan mujahidin yang mewakili budaya muslim sebagai golongan rendah atau budak. Sebagai lawan, Barat secara tidak langsung diangkat sebagai bangsa yang beradab dan pantas untuk meluruskan kesalahan.

Negeri Impian

Setelah Timur Tengah porak-poranda, terjadi banyak pembantaian, dan teror, film tersebut mengkonstruksi negeri yang diimpi-impikan, negeri yang memberikan kesejahteraan, keamanan, dan ketenteraman. Negeri tersebut adalah Amerika, negara pelindung.

Hal itu dapat ditemui dalam adegan ketika Nizar, seorang mujahid yang tidak ingin mati syahid dengan meledakkan diri ingin mendapat swaka dari Amerika. Nizar mendatangi Ferris untuk menukar informasi tentang mujahidin dengan perlindungan dari Amerika. Hanya dengan Amerikalah ia dapat hidup dengan tenang.

“Aku tak mau mati. Aku ingin pergi ke Amerika. Aku punya gelar Ph.D., kau tahu?”

Yang perlu dicermati adalah, Nizar tidak ditangkap tetapi dia sendiri yang mendatangi CIA untuk memperoleh swaka. Teks ini membuktikan bahwa film tersebut membangun suatu kesadaran tentang negara Amerika adalah negara adikuasa. Keamanan manusia terjamin di sana, bukan di Timur Tengah. Secara implisit, Amerika lebih beradab daripada Timur Tengah yang berbudaya barbar.

Apa hubungannya gelar akademis dengan kematian? Seorang terpelajar dengan gelar Ph.D. seakan-akan tidak perlu mati sia-sia. Akademisi layak untuk dihormati, bukan dijadikan martir pembunuh yang disia-siakan. Oleh sebab itu, Amerika adalah solusinya. Amerikalah yang dapat menghargai kaum terpelajar. Apakah di Timur Tengah tidak demikian?

Selain Nizar, ada tokoh lain yang juga mengimpikan negara Amerika. Cala, kakak perempuan Aisha, juga memimpikan Amerika. Karena Ferris dekat dengan Aisha, ia pun diundang main ke rumahnya. Ferris sebagai orang Barat bertemu dengan Cala yang tidak suka dengan orang Barat. Hal itu disebabkan, semenjak Amerika invasi ke Irak, orang Yordania pun mengalami kesulitan.

Ketidaksukaan Cala dengan orang Barat ditujukan ke Ferris saat makan bersama di rumahnya. Ketidaksukaan itu diungkapkan dengan ucapan maupun tingkah-laku yang dingin kepada Ferris. Perdebatan pun terjadi. Akan tetapi, di balik kebencian Cala kepada orang Barat, ada sisi ironis. Cala ingin ke Amerika. Hal itu diungkapkan Aisha kepada Ferris.

“Dia sangat menderita selama perang Iran-Irak. Dan lucunya dia ingin tinggal di Amerika.”

Inilah sisi ironis. Film tersebut seakan-akan menyindir orang-orang Timur Tengah. Benci tapi cinta. Itulah kiranya sindiran itu. Banyak orang yang membenci, tetapi sebenarnya mereka inginkan keadaan seperti Amerika dan hidup di sana.

Hamburger dan Spaghetti pun Terlibat

Benarkah makanan terlibat dalam pewacanaan ideologi? Dalam film tersebut, makanan pun dijadikan strategi untuk merendahkan bangsa Timur sekaligus menaikkan bangsa Barat. Teks ini dapat dicermati ketika Ferris berkunjung ke rumah Aisha. Di rumah itu, ia bertemu dengan dua orang anak laki-laki Cala, Yousef dan Rowley yang sedang bermain game.

Ferris mendekati kedua anak itu lalu bercakap. Saat itu, Cala sedang memasak di dapur.

“Baunya lezat di sana, ya?

“Tidak enak.”

“Tidak enak? Kau tak suka masakan ibumu?”

“Tak begitu suka”

“Makanan apa yang kau sukai?”

“Hamburger”

“Kau?”

“Spaghetti”

Wacana tentang makanan pun dibangun untuk menandingi makanan yang bukan khas Barat. Kedua anak kecil Timur Tengah justru memilih makanan khas Barat ketimbang makanan buatan ibunya (makanan Timur Tengah? Yordania?). Dalam adegan makan bersama, kedua anak tersebut menunjukkan ekspresi tidak selera makan. Sang ibu, Cala, menegur dengan kespresi wajah yang kurang bersahabat untuk memaksa memakan makanan yang telah dimasaknya. Secara samar, hal itu merupakan wacana tandingan untuk membangun keunggulan Barat. Orang Timur Tengah pun mencintai produk Barat. Produk lokal pun siap untuk ditinggalkan.

Secara langsung, memang makanan tidak berpengaruh terhadap pertarungan wacana kekuasaan. Akan tetapi, ketika relasinya wacana makanan dengan suatu kekuasaan diungkap, ideologi pun muncul kepermukaan teks. Inilah perang samar-samar yang dilakukan Barat untuk menempatkan Timur pada posisi rendah. Strategi yang halus dan sopan?

Terpaksa Menyimpulkan

Body of lies menyimpan banyak wacana kolonial yang cukup rapi tertata. Bila kita menikmati film di permukaan semata, kita akan menganggap bahwa CIA, mewakili Barat, berusaha menjaga kestabilan keamanan internasional. Baratlah simbul kedamaian, keamanan, dan pelindung.

Akan tetapi, ketika film tersebut dibedah dengan teori poskolonial, wacana-wacana tersamar yang justru menindas Timur Tengah dapat diungkap. Mujahidin yang mewakili Timur Tengah dianggap arogan dan berbudaya Barbar. Orang Timur Tengah yang membenci orang-orang (budaya) Barat digambarkan di lain sisi atau secara sembunyi-sembunyi menginginkan hidup di Amerika. Makan khas Barat pun digunakan sebagai tandingan terhadap makanan lokal.

Semua itu merupakan jalinan teks yang bertujuan untuk meninggikan budaya Barat dan memosisikan budaya Timur Tengah di bawah. Memang, seni juga dapat digunakan untuk membenarkan perbuatan arogan. Pelaku kekerasan, pembantaian, perusakan, dan pemaksaan hak-hak manusia telah dijadikan pahlawan dalam karya fiksi. Ketika dalam dunia realita mengalami hambatan, filmlah sebagai jalan pembenaran peperangan. Menurut Anda?

Surabaya, 14 April 2009

*Ditulis di waktu senggang selesai mengajar sebagai bahan diskusi



Baca Selanjutnya

Selasa, 09 Desember 2008

CINTA DAN FILOSOFI KEHIDUPAN: MENELUSURI SERPIHAN CINTA DALAM FIKSI DAN FAKTA


Oleh: Heru Susanto*

“C= Ceria bila dijalani berdua, I= Indah bila diingat, N= Nikmat bila dirasakan,
T= Takut bila kehilangan, A= Abadi bila saling mengerti”

~SMS dari Henny Hermawati, 01/09/08, 21:42~


Selesai yudisium dan memeroleh gelar sarjana, saya pulang ke kampung halaman yang anginnya buat rambut jadi acak-acakan (Nganjuk, Kota Angin). Saat itulah saya mulai mengalami kejenuhan yang sangat berat. Kegelisahan tiba-tiba bercokol dalam pikiran. Apa yang saya alami itu merupakan konsekuensi logis dalam kehidupan saya. Di kampung, kegiatan yang saya lakukan jelas jauh berbeda dengan saat-saat menjadi mahasiswa (saya tidak ingin rambut saya acak-acakan). Tidak ada teman ngobrol tentang yang jelimet-jelimet merupakan salah satu pemicunya. Saya terbiasa terlibat “adu mulut” dengan beberapa mahasiswa maupun dosen saat berada di kampus mengenai masalah yang sepele sampai pada masalah yang membuat kepala ini adem-panas.

Saat-saat berada dalam titik kejenuhan itu, saya mulai memegang ponsel, berpikir sejenak, dan kemudian saya membuka layanan SMS. Jari saya memang tidak terlalu lincah memainkan tombol ponsel. Saat itulah saya mulai sadar bahwa saya menghendaki untuk berdiskusi melalui SMS. Topik yang saya ajukan mengenai cinta. Ketika tulisan sudah selesai, ibu jari telah menekan kirim dan pesan pun melesat ke ponsel teman saya, Henny Hermawati.

Kenapa saya harus mengirim kepada teman saya itu? Ah, sebenarnya ini bukan suatu kebetulan atau alam bawah sadar (unconsciousness) yang menghendakinya. Namun, tujuan itu merupakan kesadaran dan kesengajaan. Teman saya itu dapat dikatakan perempuan yang berpengalaman dalam hal cinta. Sayangnya, semenjak menjadi teman kuliah, saya baru sadar ketika menginjak akhir perkuliahan, dia merupakan perempuan yang diidolakan mahasiswa lawan jenisnya. Mengenai alasan itu, saya kurang paham. Yang pasti, dia lebih berpengalaman daripada saya (atau mungkin sebaliknya?).

Beberapa menit setelah pesan terkirim, balasan pun diterima. Salah satu pesan dapat ditemukan di awal tulisan ini berupa akronim CINTA. Gaya seperti itu bukanlah hal baru. Justru itu, saya jadi teringat masa-masa di bangku sekolah saat cinta baru meresap dalam kehidupan remaja dan saya pun mulai terhisap olehnya.

Tulisan ini dapat dikatakan menjadi diskusi lebih lanjut mengenai cinta yang saya benturkan dengan obsesi seseorang dalam menjalani kehidupan. Apakah cinta benar-benar seromantis akronim yang penuh ritmis? Ataukah sebaliknya ketika cinta berbenturan dengan obsesi kehidupan yang penuh filosofis? Yang pasti saya akan berusaha melampaui pemahaman terhadap cinta.

Simbol Penyeimbang Kosmos

Ketika agama samawi (Yahudi, Nasrani, dan Islam) memberikan wacana tentang manusia pertama, saat itulah kisah Adam dan Hawa merupakan simbol historis awal wacana cinta yang dijadikan rujukan utama. Kisah dua sejoli itu sangat eksotis. Tidak hanya kisah kasih-sayang (cinta) Adam kepada Hawa yang menyebabkan keduanya dilempar ke dunia fana. Tetapi, kisah penciptaan Hawa yang mewakili perempuan juga menjadi daya eksotis tersendiri yang juga kontroversif.

Risalah cinta sebenarnya dapat dilacak dari kisah penciptaan Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam melalui penafsiran–walaupun penafsiran itu tidak pernah tunggal. Penafsiran terhadap kisah penciptaan tersebut memang mengundang perdebatan. Ada yang menafsirkan bahwa penciptaan Hawa yang mewakili kaum perempuan merupakan suatu kisah yang menempatkan perempuan pada posisi di bawah laki-laki (inferior). Hal itu dengan dasar argumentasi, perempuan (Hawa) diciptakan dari bagian tubuh laki-laki (Adam), sedangkan laki-laki tidak diciptakan dari bagian tubuh perempuan, melainkan dari tanah. Secara tidak langsung, terciptanya perempuan karena adanya laki-laki, namun tidak sebaliknya.

Untuk mengimbangi penafsiran yang bernada pesimis itu, sebagian orang menafsirkan dengan berbeda. Dengan suatu pembelaan yang bernada optimis, penafsiran itu justru mempertanyakan kembali tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Mengapa perempuan (Hawa) tercipta dari tulang rusuk? Mengapa tidak dari tulang ekor, tulang tangan, atau tulang kaki?

Penafsiran yang dihadirkan di sini bukan untuk mencampuri urusan Tuhan dalam hal penciptaan makhluknya karena bila itu terjadi berarti saya telah menggugat otoritas Tuhan. Akan tetapi, penafsiran ini lebih ditujukan untuk menelusuri keberadaan cinta yang terdapat dalam tanda. Oleh sebab itu, penafsiran ini tidak mutlak kebenarannya, namun hal ini sebagai jembatan rasional untuk mengkaji risalah cinta yang masih dapat diragukan kebenarannya.

Keduanya memang tidak dapat dijadikan dasar sebagai alasan Tuhan menciptakan perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, dalam hal ini, saya lebih memilih penafsiran yang kedua yang mempertanyakan kenapa perempuan tercipta dari tulang rusuk, bukan tulang ekor, tulang tangan, atau tulang kaki (dalam hal ini Anda bebas memilih). Hal itu didasarkan dengan argumen, tulang rusuk lebih berdekatan dengan jantung, yang bila sang pemilik jantung mengalami sesuatu peritiwa, baik indah maupun buruk, selalu berdebar. Dalam hal ini, rusuk melindungi organ-organ vital manusia–bukan berarti yang lain tidak vital. Bila dilihat dari posisi vertikal tubuh manusia pun, rusuk menduduki posisi tidak di atas juga tidak di bawah. Posisi rusuk tersebut dapat ditafsirkan sebagai kedudukan perempuan yang berada pada posisi tengah, tidak menguasai laki-laki, namun juga tidak dikuasai laki-laki.

Argumen-argumen itu mengisyaratkan suatu penafsiran tentang penciptaan perempuan yang bertujuan demi mendamaikan hati laki-laki. Karena sebagai pendamai hati, secara tidak langsung, perempuan merupakan penyeimbang kehidupan laki-laki yang berangkat dari perbedaan karakteristik esensial yang dimiliki keduanya. Keduanya layaknya sisi mata uang yang tidak dapat bercerai demi mengabadikan nilai tukar. Bila satu sisi uang lenyap, yang pasti, Anda tidak dapat membeli gorengan beserta sambal petis yang menggiurkan. Bila itu terjadi, Anda hanya dapat gigit jari dan air liur akan merembes di sela-sela gigi dan gusi.

Kisah cinta yang bermula dari Adam dan Hawa pada dasarnya merupakan titik muara suatu keseimbangan. Keduanya diturunkan ke dunia dengan alasan cinta. Walau menjalani hukuman, hukuman yang diterima keduanya lebih bersifat menjalankan perintah. Perintah tersebut salah satunya adalah “mengabadikan” cinta. Dengan cinta, mereka melestarikan keturunan, yang di perjalanan kehidupan mampu memberikan warna dunia yang berbeda di setiap masa dengan peradaban-peradaban yang dikembangkan. Secara tidak langsung, cintalah yang menggerakkan progresivitas peradaban. Melalui laki-laki dan perempuan terciptalah suatu penghuni yang melestarikan kehidupan dunia.

Percintaan antara laki-laki dan perempuan sebenarnya memiliki andil dalam peran suatu peradaban. Kekuatan cinta yang bersemayam dalam keduanya layaknya unsur Yin dan Yang yang diakui dalam filsafat Cina. Yin mewakili sifat betina, diam, beku, padat, gelap, dingin, menyerap, dan lembut, sedangkan Yang mewakili sifat jantan, gerak, cair, terang, panas, menentang, dan keras. Keduanya memiliki perbedaan-perbedaan yang berlawanan. Akan tetapi, keduanya merupakan suatu keharusan untuk berjalan dengan harmonis.

Saya bukan ahli filsafat Cina. Oleh sebab itu, saya tidak bermaksud memberikan persamaan mutlak laki-laki dan perempuan dengan unsur Yin dan Yang. Akan tetapi, keduanya saya pakai sebagai analogi semata untuk menjembatani penjelasan kekuatan cinta dari kedua makhluk tersebut. Yang saya ketahui, seperti yang dinyatakan Bagus Takwin, dalam Filsafat Tumur (2003), manusia menduduki fungsi sebagai agen penyusun fondasi kebudayaan galaksi (galactic culture). Kebudayaan galaksi yang diciptakan manusia akan menyatukan kembali alam semesta dalam keindahan dan keharmonisan. Semua itu dapat dicapai dengan adanya cinta, cinta yang mengalir meresap dalam alam semesta.

Ah, mungkin tulisan ini terlalu jauh ngalor-ngidul. Menurut saya, ya seperti itulah ketika kita bicara tentang cinta. Sulit untuk mencari batasan-batasan yang ketat tentangnya. Yang pasti, laki-laki dan perempuan memang dibekali kutub yang berbeda sehingga memiliki potensi untuk tarik-menarik dan dari situlah menciptakan keharmonisan kehidupan. Seperti dikatakan teman saya yang jatuh pada huruf A=Abadi bila saling mengerti. Apa yang harus saling dimengerti dan apa yang akan abadi?

Yang harus dimengerti adalah segala suatu perbedaan yang dimiliki dan yang berpotensi menimbulkan sesuatu dari keduanya. Semua perbedaan harus diinsafi karena itulah fondasi penyeimbang untuk membentuk keindahan dan keharmonisan. Oleh sebab itu, saya dengan tegas mengatakan bahwa cinta pada dasarnya merupakan serpihan-serpihan perbedaan, yang satu dengan yang lain saling mengisi yang belum pernah termiliki.

Kegelisahan: Suatu Tarik-Ulur

Meskipun perempuan dalam percintaan dikatakan sebagai penyejuk hati laki-laki, tidak semua laki-laki menerima begitu saja seorang perempuan dengan cinta dan memilikinya. Permasalahan ini akan semakin rumit karena cinta disandingkan dengan kepentingan seseorang memandang kehidupan yang berbeda. Kerumitan tersebut memang tidak dapat dihindari begitu saja karena cinta hakikatnya bersandingan dengan masalah-masalah kehidupan yang lain.

Ketika teman saya menguraikan akronim T=Takut bila kehilangan, saya pun juga akan yakin menguraikan T justru berbeda. T dalam akronim CINTA dapat pula sebagai Takut bila hidup bersama. Cinta tidak hanya takut bila kehilangan, namun cinta pun kadang juga takut bila bersatu menjalin asmara. Bagaimana mungkin? Bukankah hakikat cinta adalah ambisi untuk saling memiliki?

Ya, cinta pada dasarnya merupakan suatu percikan ambisi untuk memiliki yang dicintai–terlepas berhasil atau tidak. Dalam hal ini perlu disadari, ketika memikirkan perihal cinta, tidak ada hukum yang pasti. Cara berpikir rasional pun akan terkesan irasional dalam mengkaji cinta, begitu juga sebaliknya. Tidak salah bila Agnes Monica mengatakan cinta tak ada logika dalam lagunya.

Salah satu yang menjadikan cinta takut untuk hidup bersama adalah obsesi manusia. Setiap manusia memiliki obsesi. Obsesi inilah yang mengganggu pikiran manusia. Namun, obsesi di sini tidak perlu ditanggapi sebagai suatu yang negatif semata atau distorsif. Obsesi jugalah sebenarnya yang menggerakkan manusia untuk berusaha mewujudkan keinginannya.

Keberadaan obsesi dalam diri manusia sering menjadi rival bagi cinta. Tidak jarang obsesi akan selalu berbenturan dengan cinta sehingga menimbulkan kegelisahan yang akut pada seseorang. Nah, izinkan saya bercerita sejenak mengenai kisah cinta.

Dalam hal ini, Musashi, tokoh utama dalam novel legendaris Musashi karangan Eiji Yoshikawa dari Jepang, merupakan sosok yang gelisah karena berada dalam pilihan yang menyulitkan. Di satu sisi, dia telah memutuskan untuk menjalani kehidupan dengan jalan pedang. Di sisi lain, dia juga merupakan laki-laki sejati yang memiliki hasrat untuk bercinta.

Untuk menjadi samurai sejati yang mengikuti jalan pedang, berdisiplin diri adalah kunci utamanya. Untuk menempuh itu, dia harus melepaskan diri dari keinginan untuk bercinta. Dalam hal ini, Musashi memang orang yang tekun menjalani jalan pedang. Akan tetapi, dia tidak dapat mengelak terhadap hasrat yang bercokol di hatinya mengenai seseorang yang dicintai serta mencintainya, Otsu, gadis desa yang tulus mencintainya dan rela menderita demi cinta.

Seperti yang telah dibahas tadi, perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki, yang ditafsirkan sebagai pelindung dan pemberi kenyamanan, ketenteraman, dan kedamaian bagi laki-laki. Oleh sebab itu, Musashi tampaknya justru menghindari hal itu. Untuk belajar, seseorang harus keluar dari zona nyaman. Apa yang dilakukan Musashi adalah untuk berdisiplin diri dan menjauhi zona nyaman, sedangkan perempuan adalah simbol kenyamanan. Segala pertempuran dilaluinya untuk mengasah kemampuan permainan pedang. Tentang perempuan, dia menganggap itulah zona nyaman yang perlu dihindari, walaupun kadang-kadang dia merindukan untuk bersama Otsu dan menjalani hidup sebagai sepasang kekasih.

Obsesi yang dialami Musashi untuk menjadi samurai sejati menyebabkan dia dalam posisi gelisah antara cinta dan jalan pedang. Perjalanan cinta dalam hal ini berbenturan dengan filosofi jalan pedang. Cinta dalam hal ini dipandang sebagai suatu titik kenyaman yang dapat melarutkan manusia dalam keindahan fana. Oleh sebab itu, tidak diragukan bila seseorang gelisah karenanya.

Keadaan seperti itu sebenarnya tidak hanya dialami oleh Musashi dalam fiksi semata. Dalam kehidupan nyata, hal itu juga sering terjadi. Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi pemikir atau mengejar karier, tidak jarang pula kisah cinta akan “diistirahatkan” sejenak, bahkan disingkirkan atau ditolak walaupun sebenarnya sangat dicintai demi suatu obsesi.

Dalam dunia nyata, saya terpaksa menghadirkan kisah cinta seorang filsuf Denmark penggagas aliran eksistensialisme yang saya kagumi, Soren Aabye Kierkegaard (SK) (1813-1855). SK merupakan sosok pemikir melankoli yang saya kenal. Kehidupannya diwarnai dengan kemurungan-kemurungan. Orang-orang yang disayanginya telah meninggalkannya. Serentetan keluarganya, kedua kakak laki-laki dan perempuan meninggal ketika dia masih kecil, kemudian kakak-kakaknya yang lain serta ibunya juga meninggal. Kesedihan lebih lanjut menderanya ketika kakak perempuan yang disayangi juga direnggut maut. Dalam dua tahun berturut-turut, dia menatap sanak keluarga memasuki liang kubur.

Selepas kepergian serentetan keluarganya, SK terpukul dengan pengakuan ayahnya yang pada masa remaja pernah mengutuk Tuhan dan pernah melakukan hubungan seks mendahului pernikahannya dengan ibunya. Kiranya itulah keluarganya mengalami kutukan. Dia juga beranggapan bahwa kecerdasan yang dimilikinya juga merupakan akibat dari kutukan Tuhan yang mengantarkannya pada kesengsaraan. Orang yang menjadi pujaan, ayahnya sendiri, pada akhirnya juga direnggut maut. Dalam kondisi seperti itu, Tuhan pun juga terkubur bersama ayahnya yang terenggut maut. SK pun mengutuk Tuhan. Dalam kondisi itu, Tuhan baginya adalah penghancur dan perampas kebahagiaan. Saat itulah dia menjalani kehidupan dengan tidak teratur. Dia meninggalkan rumah dan hidup dengan berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Utang pun telah membelitnya karena biaya penginapan, minum-minuman, cerutu, dan buku.

Tidak hanya itu, SK juga terperosok pada kesedihan ketika Paul Martin Moller, guru besarnya, meninggal dunia. Hanya sedikit orang yang menghargai kecerdasannya, salah satunya adalah guru besar itu. Tidak ada suatu yang tetap kecuali perubahan (demikian petuah dari Heroclitus) dan itu pun terjadi pada diri SK. Tidak lama setelah kematian guru besarnya, dia mencoba kembali dan menjadi pengikut Tuhan yang taat dan menyelesaikan studi teologinya dengan predikat cum laude (pujian). Itulah sederetan alur peristiwa yang menyebabkan SK menjadi melankoli yang akut.

Di mana kisah cintanya? Nah, inilah keunikan kisah cinta SK. Alur cintanya memang eksotis sekaligus fiktif sehingga harus melewati tahapan peristiwa itu. Ada tiga figur yang sangat berpengaruh dalam kehidupan SK, yaitu sang ayah, sang guru besar, dan nah…ini dia pujaan hatinya, Regina Olsen, perempuan cantik nan terhormat.

Di bulan Mei 1837, pertemuan pertama menghadirkan buah cinta yang menggelora. SK pun akhirnya merasakan cinta dua sejoli yang sebenarnya. Cintanya terhadap Regina tidak perlu diragukan sedikit pun, layaknya cinta Romeo dan Juliet dalam drama gubahan Shakespeare. Tetapi ingat! Cinta SK dengan Regina tidak seromantis Romeo dan Juliet.

Kegelisan menyerang SK. Dia ragu apakah mampu memberikan kebahagian kepada Regina. Keduanya jelas berbeda. SK merupakan orang yang murung dan sangat melankolis, sedangkan Regina perempuan cantik yang periang–kiranya seperti teman saya itu. Dia merasa, dirinya penuh dengan dosa dan kemurungan-kemurungan akibat peristiwa yang menyakitkan dan telah mengakar dalam pemikiran untuk memandang kehidupan. Dia ragu bila menikahi Regina hal itu justru menimbulkan penderitaan bagi dirinya, terlebih bagi Regina yang dicintainya.

Di musim panas 1840, SK mengajukan niatnya kepada Regina untuk menjadi pendamping hidupnya. Niatnya itu diterima oleh Regina beserta orang tua dengan bahagia. Ah, di luar dugaan, tanggal 11 September, SK terperosok pada kegelisahan hingga berujung pada simpulan bahwa keputusan mengawini Regina adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. SK beranggapan dengan mengawini Regina, sama saja dengan menarik perempuan yang dicintainya dalam kemurungan hidupnya sehingga menjadikan Regina tenggelam pula dalam penderitaan yang seharusnya hanya pantas diterimanya.

Tokoh melankolis ini memang mengalami kesulitan. Dia tidak memiliki keluasan untuk menjelaskan tentang kegelisan-kegelisan itu. Kesulitan terpuncak adalah dia harus menceritakan pengalamannya dengan pelacur. Nah…, apa jadinya bila menceritakan pengalaman dengan pelacur kepada sang cinta tanpa hiraukan hati yang kemungkinan bisa terluka? Yang pasti, tidak berarti dia takut terhadap nama baik, tetapi dia tidak bisa melihat perempuan yang dicintai menderita.

Karena SK tidak menginginkan melibatkan Regina dalam dosa-dosanya, tanggal 14 Agustus 1841, dia mengembalikan cincin pertunangan kepada Regina. Dia harus merelakan cinta sejatinya demi tidak melibatkan perempuan suci pada dosa-dosa. Karena memutuskan pertunangan itu, SK mendapat kecaman dan cemoohan yang keras dari masyarakat Kopenhagen. SK dianggap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab yang melakukan perbuatan tidak senonoh pada perempuan cantik nan terhormat.

Terhadap cemoohan keras masyarakat, SK tidak mengadakan pembelaan. Dia justru mengiyakan pendapat masyarakat. Saat memutuskan pergi ke Berlin melanjutkan studi filsafat, dia menemui seorang sahabat karib, Emil Boesen, dan meninggalkan pesan agar sahabatnya itu selalu mengabarkan keadaan Regina, sang cinta sejati, kepadanya. Kebijaksanaan SK terlihat ketika dia melarang Emil Boesen untuk menyangkal atau memberikan pembelaan mengenai cemoohan dan perkataan-perkataan buruk oleh masyarakat. Dia menghendaki bahwa cemoohan itu perlu diamini. Tentang Regina, sang cinta, dia tetap memperhatikan dengan penuh cinta dari kejauhan.

Kisah Musashi dalam fiksi dan kisah SK dalam dunia nyata menunjukkan bahwa cinta memang suatu yang tidak pasti. Kegelisahan merupakan suatu yang tidak dapat dipisahkan dari cinta. Keberadaannya memberikan suatu tarik-ulur antara memiliki dan menjauhi atas nama cinta. Menjauh tidak berarti meninggalkan secara mutlak. Tetapi, menjauh demi memberikan tempat tersendiri kepada cinta. Bila Musashi gelisah karena adanya obsesi jalan pedang, SK gelisah karena suatu perasaan inferior atas pengalaman hidup yang seakan-akan penuh dengan dosa. Akan tetapi, keduanya memberikan jalan tersendiri kepada cinta.

Ending keduanya memang benar-benar eksotis. Musashi dan SK pada akhirnya menyerah kepada cinta. Musashi sebelum menghadapi pertempuran dengan lawannya yang paling tangguh, tidak kuasa dengan perasaan cintanya. Dalam hitungan detik, dia pada akhirnya menikahi Otsu secara simbolik, hanya melalui lisan, bukan resepsi pernikahan besar-besaran. Setelah pertempuran selesai dan dialah pemenang, tidak ada kabar tentangnya, begitu juga dengan kisah cinta keduanya. Mungkin bisa jadi, dia tetap menempuh jalan pedang, atau mungkin mempersatukan asmara dengan sang cinta.

Akhir cinta SK mungkin akan terkesan fiktif. Regina pada akhirnya menikah dengan laki-laki lain, sedangkan SK tetap pada pendirian menjalani hidup seorang diri dengan tetap mencintai Regina walaupun tidak bersama. Pada 2 Oktober 1855, saat pulang ke rumah, SK terjatuh dalam perjalanan. Dia pun dirawat di rumah sakit. Kepada sahabatnya, Emil Boesen, SK menyempatkan untuk menyatakan cintanya kepada Regina Olsen bahwa cintanya tidak perlu diragukan. Mengenai penyakitnya, dia juga menyampaikan adalah suatu pelunasan akan kegelisahan. Banyak penderitaan yang telah dilalui. Namun, semuanya telah memberikan kehidupan intensif dan berusaha tetap mengabadikan cinta. Saat 11 November 1855, SK berserah dihadapan sang maut dengan tetap teguh mempertahankan cinta, walaupun Regina Olsen tidak sempat tahu perasaan cinta SK yang sangat dalam.

Anda boleh berkomentar seperti, “Seharusnya Musashi tidak boleh egois tentang jalan pedang dan menelantarkan Otsu lah! Ih…, dasar manusia egois!” atau “Dasar SK manusia pesimis! Ngomong donk sama Regina! Jangan takut! Tuh…akibat terlalu melankolis! Apa nggak kasihan sama Regina?! Jangan menyiksa diri sendiri ya…!” Tetapi tunggu dulu! Kita di sini berbicara tentang cinta. Rasional bisa menjadi irasional, bahkan sebaliknya. Cinta tidak harus seromantis akronim teman saya itu (Henny Hermawati) yang penuh ritmis. Kendala yang besar mungkin akan dihadapi cinta bila bertemu dengan filosofi kehidupan yang lain. Kiranya cinta sama dengan manusia, yang selalu bersitegang dengan manusia yang lainnya. Tidak ada suatu alur mulus, yang pasti ada padang tandus.

Saya ingin memberikan usul kepada teman saya yang mengakronimkan cinta. Usul saya, T tidak harus kependekan dari Takut bila kehilangan, namun juga Takut bila hidup bersama. Keduanya memang tidak dapat disimpulkan secara mutlak. Bisa jadi, keduanya telah menjadi satu-kesatuan, di satu sisi tidak ingin kehilangan, di sisi lain takut bila menjadi satu-kesatuan. Hal itu disebabkan kebutuhan akan eros (cinta seksual) berbenturan dengan obsesi kehidupan yang penuh filosofis. Kasus Musashi dan SK adalah suatu bukti. Cinta tidak selamanya takut kehilangan, namun juga takut memiliki. Bisa jadi hal itu dikarenakan obsesi seperti Musashi, juga bisa jadi karena terjangkit inferior diri yang cukup tinggi seperti SK. Saya tidak bermaksud menolak secara mutlak akronim CINTA. Namun, saya hanya memberikan usulan terhadap ketidakpastian mengenai cinta. Saya memang sangaja menggunakan kisah cinta dari dunia yang berbeda (fiksi dan fakta) untuk membuktikan bahwa dalam hal cinta keduanya bisa jadi sama. Hal itu sama seperti tidak ada rasional ataupun irasional, begitu juga fiksi dan fakta dalam cinta.

Saya akan memproklamasikan bahwa semua orang bisa berbicara apa saja tentang cinta karena cinta juga bisa menjelma dalam rupa yang berbeda bagi setiap manusia! Bagaimana menurut Anda tentang cinta?

Surabaya, 9-10 September 2008





Baca Selanjutnya

Sabtu, 24 Mei 2008

TENTANG BUDAYA KITA

EKSTASI BUDAYA MINIMALIS: DARI TIPISNYA MASKULIN-FEMININ SAMPAI MATINYA KEGELISAHAN SANG PENCIPTA*

Oleh: Heru Susanto


”Percayalah padaku: rahasia untuk memetik buah paling besar dan kenikmatan tertinggi dari manusia adalah hidup yang berbahaya (gefahrlichleben)”
~Nietzsche~

Realita Budaya

Segala kebutuhan manusia seakan-akan sudah terpenuhi dalam kehidupan ini. Hasrat untuk memiliki berbagai kebutuhan yang sering menjadikan manusia larut dalam kenikmatan-kenikmatan dunia dapat diakses secara cepat tanpa membuang waktu dan gerak. Semua serba instan. Manusia tidak harus mengeluarkan keringat untuk membeli ini dan itu. Seakan-akan kebutuhan manusia sudah dikemas dalam beberapa tombol. Untuk memenuhi kebutuhan biologis, seperti makan, manusia tidak harus pergi ke dapur menyalakan kompor. Aktivitas tersebut sudah dijauhi dalam budaya yang sekarang mulai berkembang. Manusia tinggal menekan beberapa tombol untuk menghubungi beberapa rumah makan atau telah membeli masakan siap saji dari mall. Yang dibutuhkan manusia adalah meminimalisasi berbagai kegiatan, waktu, dan untuk menempuh itu semua yang diperlukan adalah kecepatan.
Penampilan manusia juga dapat diakses secara cepat. Beberapa jenis model pakaian terkini, aksesoris tubuh, produk kecantikan, jenis pembalut yang berkualitas, model ponsel, mobil terkini dapat ditemukan dalam layar televisi. Semua produk diiklankan setiap hari yang hampir memenuhi setiap acara yang ditayangkan di televisi. Arus periklanan yang sangat deras memosisikan manusia pada penjara produk-produk yang seakan-akan manusia harus mengonsumsinya dan itu merupakan pilihan yang harus dipilihnya.
Gelombang produk yang ditawarkan dalam layar telivisi tampaknya memiliki nuansa untuk meleburkan kebutuhan oposisi biner antara perempuan dan laki-laki. Salah satu usaha tersebut dapat diidentifikasi dengan adanya iklan-iklan yang membahas penampilan laki-laki yang tidak hanya diperentukkan pada perempuan. Laki-laki juga harus mementingkan kecantikan tubuh, seperti yang diiklankan beberapa parfum laki-laki dan perawatan kulit laki-laki. Hal itu secara tidak langsung menekankan pandangan tidak hanya perempuan yang harus memperhatikan kecantikan tubuhnya, laki-laki pun harus berpenampilan seseksi mungkin. Konsekuensi pergeseran pandangan ini memunculkan makhluk yang disebut metroseksual.
Untuk berhubungan dengan manusia lain, pertemuan secara langsung, seperti halnya menghadiri pertemuan, silaturohmi, dan bahkan janjian kencan dengan kekasih, tidak harus manusia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Manusia tinggal duduk dalam ruang dan menghadap layar komputer untuk melakukan hubungan dengan manusia lain. Semua sudah terpenuhi dalam ruang yang tidak memakan banyak waktu, tempat, dan memiliki kecepatan yang seakan-akan menjanjikan.
Hasrat seks dalam budaya semacam ini juga dapat dipenuhi secepat mungkin. Penyaluran seks dapat pula dipenuhi dengan melakukan hubungan intim dalam dunia maya. Layanan internet telah memfasilitasi berbagai situs porno yang dapat diakses secepat mungkin oleh konsumen. Manusia juga dapat pula aktif memenuhi hasrat seks mereka dengan berkencan dengan manusia lain melalui internet, sms, dan komunikasi melalui telepon. Model-model baru untuk memenuhi kebutuhan seks jarak jauh ini disebut sebagai teledildonik, yakni kegiatan seksual lewat jaringan komputer (Piliang, 2006:157). Aktivitas seks seperti ini merupakan aktivitas yang dilakukan dengan bantuan bahasa-bahasa porno. Hasrat seks manusia dalam hal ini dituangkan dalam bahasa-bahasa yang dapat membangkitkan libido. Bahasa dieksploitasi secara ekstrim untuk memunculkan nuansa gairah libido. Kondisi seperti itu menstimulus adanya dorongan nafsu seks mereka.
Kebudayaan seperti ini sangat didukung dengan seperangkat teknologi yang semakin berkembang. Beberapa produk digital sekarang sudah difasilitasi dengan kamera yang mampu merekam segala aktivitas manusia dan mampu memperpendek jarak yang dibutuhkan manusia untuk bertatap muka. Produk digital tersebut mendapat respon yang sangat kuat dari masyarakat. Semuanya memiliki hasrat untuk memiliki. Dalam hal ini, manusia larut pada objek. Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri, banyak video porno yang bermunculan dari versi profesional sampai versi amatir. Yang paling disayangkan ialah virus video porno menyerang dunia pelajar.
Dalam wilayah lokal, pengaruh produk digital, khususnya ponsel yang semakin canggih, merupakan alat untuk menyalurkan hasrat seksual manusia. Kasus video porno amatir yang dibintangi beberapa pelajar dan berdurasi singkat merupakan salah satu produk dari teknologi yang berorientasi pada kecepatan dan peleburan batas ruang dan waktu.
Budaya-budaya yang berkembang saat ini merupakan pengaruh dari budaya kapitalis. Seperti yang dikatakan Piliang (2006:141), dunia yang dilingkupi oleh energi libido, yang lalu-lintasnya adalah lalu-lintas kesenangan, yang pertukaran ekonomi dan sosialnya adalah pertukaran hawa nafsu, dan paradigma perkembangannya adalah paradigma kecepatan, merupakan dunia ekonomi dan budaya global. Budaya kapitalis inilah yang menyebabkan segala aspek ruang dan waktu dalam dunia yang dihuni manusia seakan-akan diperkecil, namun memiliki hasrat mengonsumsi yang cukup tinggi.
Banyak manusia yang larut dalam perputaran barang yang diproduksi budaya tersebut. Ketika manusia larut dalam objek-objek hasil produksi, manusia telah kehilangan kesadaran atas dirinya. Semuanya dikendalikan oleh objek, bukan objek yang dikendalikan oleh manusia. Kondisi seperti inilah yang menjadikan tipis jarak antara subjek dan objek. Subjek tidak lagi menjadi pusat yang menggerakkan, namun justru subjek digerakkan oleh objek untuk melakukan setiap kegiatan.
Munculnya figur Tukul Arwana dalam acara hiburan di stasiun televisi swasta merupakan salah satu bentuk produk kapitalis yang meraih keuntungan besar berdasarkan jumlah pengonsumsi tertinggi. Dengan adanya acara tersebut, manusia dijadwal oleh sosok Tukul yang muncul di layar televisi. Setiap hari manusia akan meluangkan waktunya untuk menonton acara tersebut sampai malam hari. Bila acara itu terlewatkan, seakan-akan mereka kehilangan aktivitas keseharian yang berharga. Kondisi seperti ini oleh Piliang (2006:207) disebut sebagai menjelmanya media menjadi pusat gravitasi. Setiap manusia yang menempatkan pandangannya pada titik gravitasi tersebut, mereka akan tersedot oleh kekuatan gravitasi. Dalam kondisi seperti itu, manusia akan larut dalam kenikmatan yang ditimbulkan oleh salah satu produk kapitalis. Saat itu pula, manusia telah melayang dalam dunia kenikmatan-kenikmatan yang seakan-akan tanpa batas.
Kebutuhan penampilan, seks, hiburan, gaya hidup merupakan kebutuhan yang seakan-akan harus dipuaskan dalam waktu secepat mungkin. Oleh sebab itu, manusia akan mengejar berbagai informasi yang mereka anggap layak untuk dikonsumsi tanpa ada pertimbangan dari berbagai sisi mengenai manfaat yang akan dimiliki. Terperosoknya manusia pada paradigma dan gaya hidup seperti itu akan menggeser kebutuhan spiritual yang merupakan aspek kehidupan yang justru harus dipenuhi.
Nuansa perfilman Indonesia yang sering ditayangkan di televisi saat ini justru merupakan legitimasi dari bentuk ekonomi dan budaya kapitalis yang menggeser spiritualitas budaya manusia terhadap agamanya. Film-film remaja yang sering mengambil latar di lingkungan pendidikan justru menjauhkan aspek pendidikan. Beberapa bintang film yang masih remaja merupakan aktor yang paling dibutuhkan dalam produksi film untuk memerankan sebagai pelajar. Aktor remaja tersebut sering memerankan pelajar dengan gaya gaul yang penuh aksesoris tubuh. Dengan ditampilkannya peran tersebut, secara halus film tersebut menyebarkan gaya terkini yang harus diikuti oleh para remaja. Tayangan seperti itu sebenarnya justru menjauhkan manusia dari realita. Pelajar berpenampilan seksi (rok mini dan baju mini), memegang ponsel terkini, dan tidak jarang, pelajar bersekolah dengan mobil mewah merupakan gambaran yang sering ditayangkan dalam perfilman remaja Indonesia.

Ekstasi-Ekstasi dan Tipisnya Batasan Maskulin-Feminin

Dalam pertempuran untuk mengatasi dirinya, sering manusia larut dalam ekstasi-ekstasi yang menyebabkan dirinya tak terkendali. Piliang (2006:106) menegaskan ekstasi merupakan suatu keadaan mental dan spiritual yang mencapai titik puncaknya, ketika jiwa secara tiba-tiba naik ke tingkat pengalaman yang jauh lebih dalam dibandingkan kesadaran sehari-hari. Ketika itu, muncul semacam puncak kemampuan diri dan kebahagiaan yang luar biasa serta trance yang kemudian diiringi oleh pencerahan. Ekstasi yang disebutkan di atas merupakan ekstasi yang mengarah pada dunia mistis ketuhanan. Hal itu disebabkan dalam kondisi yang melampaui kesadaran ada suatu titik pencerahan. Kondisi seperti ini dapat dicapai untuk mendekatkan diri dengan tuhan, seperti yang dilakukan oleh meditasi Bodhidharma, pengikut tasawuf, aliran kejawen, dan meditasi lainnya yang berusaha mendekatkan diri pada sang pencipta.
Akan tetapi, ekstasi yang sekarang dialami manusia justru sebaliknya. Manusia telah lepas kesadarannya dan larut dalam ekstasi-ekstasi yang dibentuk dari luar dirinya. Manusia justru semakin jauh dari sang pencipta. Larutnya manusia dalam ekstasi-ekstasi ini merupakan konsekuensi logis dari adanya budaya kapitalis yang berusaha membentuk manusia menjadi manusia konsumen. Keadaan seperti ini dapat dilihat dari meningkatnya manusia yang lebih mementingkan kecantikan daripada pemikiran. Manusia yang larut dalam dunia kecantikan akan selalu mengejar informasi dunia perawatan tubuh dan rela menghabiskan uang demi keanggunan, keindahan, dan keseksian tubuh.
Kecantikan kini merupakan bisnis berprofit tinggi bagi industri kecantikan dan tubuh dijadikan sebagai lahan komoditi yang bernilai jual tinggi (Adlin dan Kurniasih, 2006:234). Dalam hal ini, lahan yang paling berharga bagi kapitalis adalah tubuh. Tubuh digunakan untuk menjadikan lahan sebagai pemerkaya keuntungan. Segala perawatan tubuh diciptakan demi memperbanyak konsumen yang terjerat oleh slogan-slogan perawatan tubuh. Akibat dari kondisi seperti ini ialah banyak manusia-manusia yang berlomba-lomba ingin mempercantik tubuhnya dengan berbondong-bondong ke salon, ke mall-mall belanja pakaian, pijat kecantikan, dan perawatan tubuh lainnya.
Standar kecantikan yang dikejar-kejar manusia pada dasarnya tidak menentu. Orang mengejar-ngejar berbagai produk kecantikan untuk menjadikan dia cantik dalam standar yang justru bukan orang tersebut yang menentukannya. Semua dikendalikan oleh media massa yang telah dijadikan media kampanye oleh kapitalis. Standar kecantikan yang dikejar-kejar manusia tidak lain adalah strategi pemasaran untuk menciptakan manusia-manusia konsumen. Kulit putih, rambut hitam dan lurus, aroma tubuh wangi, tubuh seksi yang dimodelkan di iklan-iklan media massa dijadikan standar manusia untuk keidealan tubuh.
Budaya saat ini tampaknya tidak hanya membidik dunia perempuan untuk masalah kecantikan dan tidak hanya menjadikan perempuan sebagai konsumen. Dunia laki-laki saat ini juga dijadikan lahan untuk membentuk hasrat mengenai tubuh. Banyak beberapa pemikir ketika membahas mengenai politik tubuh sering merujuk pada tubuh perempuan. Pada hal, budaya sekarang secara tidak langsung mulai mengikis oposisi biner antara laki-laki dan perempuan. Tidak hanya perempuan yang harus cantik, laki-laki pun harus tampil secantik mungkin. Inilah yang sering dilewatkan oleh para pengkaji budaya maupun filsafat yang membahas mengenai hasrat untuk saat ini.
Budaya telah bergeser. Kapitalis telah melebarkan sayapnya untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, hingga kepentingan perawatan tubuh menjadi kebutuhan laki-laki yang seakan-akan tidak boleh dilupakan.
Hal itu dapat dicermati dalam media massa yang merupakan alat kampanye kapitalis. Dalam berbagai media massa, khususnya televisi, iklan mengenai perawatan tubuh saat ini juga dikhususkan untuk laki-laki. Gagasan-gagasan yang terdapat dalam iklan menganjurkan bahwa laki-laki harus sadar akan keindahan tubuhnya. Pewangi tubuh, perawat rambut, alat memperindah tubuh, dan bahkan laki-laki pun menjadi bintang iklan pewangi tubuh sebagai cheerleaders. Tim penyemangat dalam perlombaan biasanya dilakukan oleh perempuan, tetapi budaya sekarang tampaknya ingin menggeser kebiasan itu dengan menampilkan laki-laki dalam iklan pewangi tubuh di televisi. Mereka didandani layaknya perempuan yang mampu memberikan semangat pada pemain olah raga. Dengan penampilannya yang dipermanis, gambaran iklan tersebut menggeser pemikiran dari perempuan yang mampu menggairahkan berganti menjadi laki-laki yang menggairahkan. Tubuh laki-laki juga mampu menggairahkan bagi orang lain. Oleh sebab itu, laki-laki dianjurkan untuk memperhatikan kemanisan tubuhnya. Sekali lagi, iklan tersebut pada dasarnya ingin memropaganda kaum laki-laki untuk mempercantik diri. Hanya perempuan yang harus tampil cantik, sedangkan laki-laki harus bertubuh kekar, kuat, dan gagah adalah pemikiran yang akan digeser.
Melebarnya kampanye perawatan tubuh yang dilakukan kapitalis membentuk manusia misterius, yakni laki-laki metroseksual. Istilah laki-laki metroseksual dimunculkan kali pertama oleh Mark Simpson. Karakteristik laki-laki metroseksual ialah masih muda dengan banyak uang untuk dihabiskan, bisa untuk hidup atau dengan mudah mengunjungi kota-kota metropolitan, dan yang tidak ketinggalan bahwa mereka sangat tertarik dengan produk-produk perawatan pria, sehingga mereka selalu berpenampilan manis (Flocker, 2005:xv-xvi).
Michael Flocker pada dasarnya merupakan penulis yang dapat dikategorikan sebagai pengemban tugas untuk memopulerkan jenis manusia misterius ini. Dengan buku The Metrosexual Guide to Style: A Hand Book for the Modern Man yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tahun 2005, Flocker memperkenalkan bagaimana untuk menjadi laki-laki metroseksual. Buku tersebut merupakan buku panduan menjadi laki-laki metroseksual dan merupakan buku yang berpredikat international bestseller.
Pengonsumsi produk kecantikan tidak hanya perempuan, tetapi laki-laki pun juga dibentuk menjadi konsumen. Kampanye ini pada dasarnya ingin menarik laki-laki lebih memperhatikan tubuh. Tidak hanya gay, waria, atau biseksual saja yang memperhatikan perawatan tubuh agar kelihatan manis, tetapi laki-laki normal pun juga harus memperhatikan penampilan. Pengaruh kapitalis secara tidak langsung akan menipiskan kebutuhan oposisi biner, yakni maskulin-feminin. Maskulin tidak lagi berpenampilan gagah yang bertubuh kekar, tetapi sosok manusia yang bertubuh seksi dan manis.
Saat laki-laki sudah terserang penyakit ingin mempercantik diri, laki-laki akan menjadi manusia konsumsi. Mereka akan berpikir tentang tubuhnya dan penampilannya. Dalam kondisi seperti ini, kesadaran akan larut dalam hasrat untuk memperhatikan tubuh. Berbagai perawatan tubuh dan model pakaian terkini akan diikutinya. Berganti-ganti penampilan agar tampak tampil terkini merupakan hasrat yang akan muncul pada laki-laki metroseksual. Secara tidak sadar, dirinya tidak lagi dapat mengontrol kebutuhan, tetapi berbagai perawatan tubuh dan model pakaianlah yang telah mengontrol kebutuhannya.
Adanya kampanye-kampanye seperti itu menarik manusia pada ekstasi-ekstasi yang menyebabkan mereka menjadi manusia-manusia konsumen dan terperosok pada politik tubuh. Yang disebutkan di sini hanya sebagian dari potensi-potensi ekstasi. Mereka dibentuk menjadi manusia yang seakan-akan terkondisi oleh produk-produk kapitalis. Dalam kondisi seperti ini, manusia akan mengalami ketidaksadaran terhadap dirinya sendiri. Semua kebutuhan akan disingkirkan oleh hasrat konsumen. Baik dan buruk bagi dirinya tidak lagi dihiraukan. Mereka telah melayang-layang dalam realita semu. Yang ada hanya nafsu keindahan semu yang menempatkannya pada surga yang seakan-akan tanpa batas. Kondisi inilah yang menurut Piliang (2006:108) disebut sebagai dunia ekstasi yang diatur oleh hukum serba terbalik, yang amoral adalah yang membanggakan, yang ilusif adalah kebenaran, yang rahasia adalah selubung penutup. Manusia telah menemukan dunianya sendiri, yakni dunia kebenaran semu yang telah memfasilitasi segala hasrat yang diinginkan mereka.
Manusia melepaskan diri dari dunia realita. Mereka lebih nyaman dalam dunia baru itu yang menyebabkan dirinya tenang dari kegelisahan-kegelisahan yang selama ini dialaminya. Namun, dunia baru itu secara perlahan-lahan akan menjerumuskan pada kegelisahan selanjutnya yang justru menyebabkan mereka terperosok pada pemalsuan eksistensi dirinya. Mereka telah kehilangan kesadaran diri. Budaya yang di luar dirinya justru berperan dalam menentukan keberadaannya. Secara tidak langsung, manusia tidak lagi menguasai dirinya. Manusia telah terperangkap oleh sesuatu yang di luar dirinya. Hartono (2007:54) menegaskan terperangkapnya individu pada dunia eksterior (luar dirinya) dan diabaikannya dunia interior (dalam dirinya) sebagai penentu kesadaran adalah bukti dehumanisasi, dan alienasi (keterasingan). Hal itu disebabkan pembentukan kesadaran manusia dipercayakan kepada dimensi di luar dirinya, yaitu dunia kultur sosial yang berhukum serba terbalik.


Budaya Minimalis telah Membentuk Manusia

Larutnya manusia terhadap ekstasi-ekstasi budaya di luar dirinya menyebabkan manusia tidak lagi mampu mengendalikan dirinya sendiri. Kesadaran tidak lagi direnungkan. Ketertarikan segala sesuatu yang dilihat membentuknya menjadi manusia konsumen. Dalam kondisi seperti ini, manusia tidak lagi berpikir secara mendalam. Menguntungkan atau tidak menguntungkan bukan menjadi bahan yang perlu dipikirkan. Kenyataan seperti ini disebut sebagai kondisi minimalisme. Istilah minimalis dan minimalisme oleh Christopher Lasch (Piliang, 2006:13) digunakan untuk merujuk kondisi psikis individu yang memiliki hasrat yang kuat untut tetap survive dan eksis di dalam dunia kehidupan, yaitu mendapatkan kedudukan, status dan pengakuan sosial, meskipun mengetahui kondisi diri dan lingkungan tidak mendukung, sehingga memerangkapnya dalam kondisi minimalitas keterampilan, perspektif, dan pandangan. Istilah yang digunakan Cristopher Lash tersebut lebih mengarah pada fenomena kondisi psikis manusia. Istilah minimalisme dalam hal ini digunakan untuk merujuk kondisi manusia yang masih luas.
Minimalisme digunakan secara khusus oleh posmodernisme untuk menjelaskan kondisi manusia posmodern. Posmodernisme itu sendiri merupakan kritik terhadap modernisme. Posmodernisme menyatakan bahwa modernisme tidak lagi mampu menempatkan kondisi manusia pada kehidupan yang menyejahterakan. Dalam masa moderisme, dunia justru mengalami berbagai kerusakan dan keterbatasan pemikiran. Modernisme berambisi menyeret pemikiran manusia ke arah logosentrisme (kebenaran tunggal). Jadi, bila pemikiran sudah dikatakan benar, kebenaran tersebut harus diakui secara universal. Itulah satu-satunya kebenaran, tidak perlu dihadirkan kebenaran yang lain.
Dari kondisi seperti itulah, posmodernisme mengeluarkan kritik-kritik yang mendalam terhadap konsep modernisme. Pemikiran posmodernisme ini dipengaruhi oleh seorang filosof kelahiran Jerman yang pemikirannya membuat manusia gelisah, yaitu Friedrich Wilhelm Nietzsche. Ciri mendasar posmodernisme ada dua, yakni (1) pembunuhan terhadap logos (kebenaran tunggal) dan perayaan keberjamakan atau pluralitas, dan (2) penolakan terhadap pemujaan rasio yang diagung-agungkan Descartes (lihat Hartono, 2007:57).
Setelah melihat gambaran modernisme dan posmodernisme secara sekilas, bahasan kita fokuskan kembali pada minimalisme dalam pandangan posmodernisme. Minimalisme digunakan secara khusus untuk menjelaskan kondisi manusia posmodern yang berada dalam kondisi minimalis. Manusia seperti ini dibangun oleh fondasi, determinasi, kepastian, keberaturan, dan ketetapan yang minimal. Manusia ini tidak memiliki kepastian pengetahuan tentang benar-salah, baik-buruk, dan sebagainya (Piliang, 2006:13). Dalam kondisi budaya saat ini, minimalislah yang paling mendominasi. Manusia telah larut dalam perputaran ruang, waktu, dan percepatan. Manusia menginginkan sesuatu yang instan untuk mengatasi ruang dan waktu. Dengan kondisi seperti ini, kecepatanlah yang dijadikan “tuhan” bagi manusia-manusia minimalis. Manusia lebih dikontrol oleh televisi, ponsel, internet, komputer, dan berbagai produk kapitalis yang lain. Manusia tidak lagi mengondisikan berbagai produk di luar dirinya, melainkan manusia telah dikondisikan oleh produk. Ketika manusia mengagung-agungkan kondisi seperti itu, budaya baru telah terbentuk, yakni budaya minimalis. Dalam budaya minimalis, tidak hanya ruang dan waktu yang menjadi sempit, tetapi nurani dan pemikiran mulai dangkal.
Dalam budaya minimalis, manusia memiliki ciri-ciri yang dapat dikategorikan menjadi tiga, yakni manusia ironis (homo ironia), manusia skizofrenik, dan manusia fatalis (homo fatalis). Manusia ironi berpendapat baik dan buruk, benar dan salah, semata deskripsi kontingen dari kelompok tertentu, di tempat tertentu, dan waktu tertentu. Manusia ironi menempatkan berbagai norma dalam tempat tertentu. Dalam kondisi A, dia menggunakan kebenaran A. Dalam kondisi B, dia menggunakan kebenaran B. Keyakinan tidak lagi dijadikan panutan. Keyakinan yang ada hanya ketidakkonsistenan. Manusia-manusia seperti itu dapat digolongkan menjadi manusia yang suka kepalsuan. Mereka selalu menggunakan ”topeng”. ”Aktor” yang hebat ialah manusia ironi. Manusia ironi mengetahui secara rasional tindakannya akan membawakan pada tragedi. Akan tetapi, demi hasrat untuk tetap survive, ia mencampakkan rasionalitas itu dan menggantinya dengan berbagai kemasan ilusi, pretensi, kebohongan, dan mitos-mitos dirinya (Piliang, 2006:14). Demi menjaga eksistensinya, manusia ironi rela menghabiskan segala yang ia miliki. Semuanya demi memenuhi kebutuhan hasrat kepuasan. Gambaran ironi dapat merujuk pada kondisi seseorang yang larut dalam dunia maya (catting), waktunya dihabiskan di depan layar komputer. Dalam keadaan ini, ia melewatkan segalanya demi kepuasan dan kenikmatan yang sebenarnya juga bersifat maya atau ilusif. Hasrat seks pun juga dilakukan dalam dunia maya. Ketika manusia telah masuk dalam kondisi seperti ini, ia pun telah melewati kesadarannya hingga memasuki kondisi ekstasi.
Manusia skizofrenik ialah manusia yang ingin lepas dari segala sesuatu yang mengungkung dirinya atau yang menyebabkan dirinya tidak bebas dalam segala hal. Menurut Gilles Deleuze dan Felix Guattari (Piliang, 2006:14-15), skizofrenia merupakan sebuah gerakan pembebasan diri dari berbagai aturan keluarga, masyarakat, negara, bahkan agama, dalam rangka mengakui dan melepaskan segala dorongan purba manusia, dengan melampaui ego. Kebebasan yang absolut merupakan konsep dari manusia skizofrenik. Mereka tidak ingin terikat pada satu aturan yang menyebabkannya tidak bebas. Pemutar-balikan kode dalam suatu masyarakat merupakan ambisinya. Segala jenis aturan diterimanya. Yang paling dipentingkan adalah perpindahan dari aturan satu ke aturan lainnya. Tidak ada kekonsistenan dalam skizofrenik. Semuanya bebas. Tidak ada pemaksaan dalam sebuah pemikiran atau kepercayaan. Piliang (2006:15) menyebutnya manusia tanpa ego. Maksudnya ialah manusia yang tidak menolak, membatasi atau melarang apa pun, sehingga yang ada hanya kebabasan tanpa batas.
Bila dilihat dalam gambaran yang serba kapitalis, manusia skizofrenik merupakan manusia-manusia yang sering berganti gaya. Produk-produk terbaru akan dikonsumsi untuk menggantikan citra bagi dirinya yang menurutnya sesuai dengan arus zaman. Manusia seperti ini tidak dapat menentukan makna hidupnya dengan bereksistensi pada sesuatu yang pasti. Identitas diri dalam hal ini tidak lagi dibutuhkan. Identitas begitu cepat berganti. Hal itu disebabkan ada sesuatu di luar dirinya yang membangkitkan nafsu mengonsumsi yang sangat liar. Dick Hebdige (Piliang, 2003:151) mengemukakan tentang konsumen ”... konsumen skizofrenik yang terdisintegrasi ke dalam rangkaian kesesatan-kesesatan (instant) yang tak mampu mereka cerna, yang terperangkap ke dalam keberadaan di mana-mana dan seketika citraan dan informasi yang dikomodifikasi, dan hidup selama dan hidup selamanya di dalam chronos (ini-lalu-ini-lalu-ini-lalu-), tanpa pernah mampu menemukan jalan menuju tempat suci kairos (kehidupan siklus, mistis, dan bermakna)”.
Manusia fatalis ialah manusia yang terserap ke dalam logika objek (logika TV, fashion, komoditi, gaya hidup), yang tidak dapat melepaskan diri darinya, dan di dalamnya ia menjadi mayoritas yang diam, yang tak mampu melakukan kritik dan refleksi, dan –seperti sebuah busa spons—hanya dapat menyerap segala sesuatu, tanpa mampu menginternalisasikannya (Piliang, 2006:15). Manusia fatalis hanya bersifat reseptif. Mereka hanya mengonsumsi segala sesuatu yang ia tangkap melalui indra tanpa mempertimbangkan secara mendalam. Kehidupan yang dialami manusia fatalis berada dalam citraan-citraan yang dianggap sebagai dunia realita. Mereka terjebak dalam dunia layar yang setiap saat mereka kunjungi.
Manusia fatalis juga disebut sebagai manusia layar. Menurut Piliang, manusia layar (the screen man) ialah manusia yang sebagian ruang dan waktunya dihabiskan di depan layar (televisi, komputer, video, ponsel, film, ATM) dan terserap dalam logika layar, sehingga tidak mampu lagi membedakan antara dunia di dalam layar dengan dunia di luar layar (reality). Mereka menikmati petualangan dalam dunia layar, sehingga dunia layar tersebut merupakan kebenaran realita yang telah dipilihnya. Mereka terlalu nyaman dalam dunia tersebut. Dunia realita yang sebenarnya justru diabaikan oleh manusia fatalis.
Kondisi manusia fatalis merupakan kondisi yang serba fatal. Segala bentuk informasi yang diberikan oleh media massa, diserap begitu saja tanpa ada proses pemahaman lebih dalam. Kekritisan dalam berpikir telah larut dalam informasi-informasi yang belum tentu kebenarannya. Yang terpenting dalam dunia fatalis ialah kepuasan. Kepuasan untuk bergaya, kepuasan makan, kepuasan belanja di mall, kepuasan berias di salon, kepuasan main game, kepuasan seks maya (sciena sexualis) merupakan kepuasan yang dikejar-kejar dan seakan-akan mengejar aksistensi tuhan.
Dunia virtual juga merupakan dunia tempat manusia fatalis bereksistensi. Rheingold (Piliang, 2006:124) mengungkapkan bahwa orang-orang di dalam komunitas virtual menggunakan kata-kata dalam layar untuk saling bersenda gurau dan berdebat, terlibat dalam wacana intelektual, malakukan perdagangan, saling tukar pengetahuan, saling membagi dukungan emosional, membuat perencanaan, saling sumbang gagasan, gosip, rayuan, menciptakan karya seni, percakapan yang tak ada juntrungannya. Akan tetapi, kehidupan manusia fatalis di dalam dunia virtual lebih mengarah pada kegiatan yang tidak ada juntrungannya. Mereka cenderung larut dalam internet. Membincangkan gosip, berbincang dengan bahasa yang dapat menggairahkan libido, merupakan gaya yang lebih dekat dengan eksistensi manusia fatalis. Yang paling nyata dan hal itu semakin menjamur ialah larutnya manusia pada layar ponsel. Dari anak-anak, remaja, sampai orang tua, semuanya cenderung tidak pernah lepas dari layar ponsel. Kondisi seperti itu khususnya dialami oleh remaja. Mereka setiap hari larut dalam layar ponsel. Waktu untuk membaca buku dan menulis telah dialokasikan pada layar ponsel. Mereka terperangkap oleh hegemoni layar ponsel, yang secara tidak langsung terhegemoni oleh sistem kapitalis.
Dalam kondisi seperti ini, masalah finansial pelajar dan juga mahasiswa yang sebenarnya dapat digunakan untuk menunjang wawasan intelektual berubah menjadi energi untuk beraksi dalam dunia layar ponsel. Membaca buku kini beralis membaca sms. Menulis karangan ilmiah, artikel, esai, puisi, cerpen, atau novel telah beralih menjadi menulis sms yang tidak jelas tujuannya. Kondisi seperti ini merupakan kondisi keproduktivitasan yang fatal. Pemanfaatan fasilitas telekomunikasi kini berubah menjadi tempat untuk ”bunuh diri”. Dunia virtual kini tidak dapat mereka kendalikan, justru mereka telah dikendalikan oleh dunia virtual itu sendiri. Gambaran seperti ini merupakan gambaran untuk memperjelas sosok manusia fatalis.
Ketiga jenis manusia (ironis, skizofrenik, fatalis) merupakan bentukan budaya minimalis. Ketika manusia telah terseret dalam kenikmatan-kenikmatan televisi, game, ponsel, internet, shopping, life style dan sebagainya, mereka telah terperangkap dalam ekstasi-ekstasi budaya minimalis, sehingga mereka menganggap bahwa dunia maya tersebut merupakan dunia penuh dengan kenikmatan dan mereka telah menjauhi dunia realita. Saat itu pula, manusia akan sulit mengendalikan diri, ketika mereka telah terseret dalam budaya tersebut. Kesadaran dan rasionalitas telah lepas dari pemikiran manusia. Yang ada hanya pelepasan hawa nafsu secara liar. Semua dikemas secara cepat dan padat.

Matinya Kegelisahan Sang Pencipta

Saat budaya minimalis menyerang berbagai sudut kehidupan manusia, budaya berpikir kritis dan kreatif manusia mulai terancam. Bila manusia telah terseret dan tenggelam dalam budaya minimalis, kegelisahan manusia untuk menjadi sang pencipta telah larut pula dalam ekstasi-ekstasi menyesatkan. Yang ada hanya kegelisahan-kegelisahan yang justru dapat mematikan eksistensi manusia. Tidak ada penderitaan. Yang tersisa hanyalah kegelisahan-kegelisahan terhadap kenikmatan semu. Mereka justru lari dari penderitaan dan mereka justru mengejar kenikmatan yang pada dasarnya akan menjerumuskan pada kehilangan makna hidupnya.
Larinya manusia dari penderitaan dan berusaha mengejar kenikmatan yang semu akan mematikan eksistensi manusia yang menurut Nietzsche sebagai sang pencipta. Nietzsche (Hassan, 2005) mengatakan “kreasi—itulah pelunasan terhadap penderitaan dan cahaya yang kian terang dalam kehidupan. Namun, untuk menjadi pencipta diperlukan penderitaan dan banyak perubahan. Bagitulah kalian harus banyak kali menjalani kematian yang pahit dalam hidup kalian, hai pencipta.” Keinginan Nietzsche untuk menggugah manusia menjadi pencipta akan sia-sia jika manusia itu sendiri telah takut dengan penderitaan-penderitaan dan lari pada kenikmatan-kenikmatan yang pada dasarnya semu. Penderitaan yang dikatakan Nietzsche dapat ditempatkan pada budaya saat ini, sebagai perlawanan dari kondisi yang melarutkan manusia dari kenikmatan-kenikmatan semu. Untuk melawan kondisi seperti itu, manusia harus berani menghadapi kegelisahan terhadap budaya minimalis. Ketika manusia gelisah melihat kondisi yang dapat menenggelamkan manusia sebagai konsumen, saat itulah manusia telah menyadari eksistensinya berada dalam jurang yang mampu mematikan eksistensinya.
Kegelisahan terhadap budaya minimalis inilah yang akan mengantarkan manusia pada kedalaman hidup yang bermakna. Manusia dalam hal ini harus melawan semua serangan-serangan budaya minimalis yang sarat dengan kampenye-kampenye kenikmatan semu. Saat manusia menahan hasratnya untuk larut dalam kondisi minimalis, saat itu pula, manusia mengalami penderitaan. Hal itu disebabkan kondisi di luar diri kita penuh dengan rayuan yang penuh dengan kekuatan. Hanya manusia-manusia yang berani menghadapi penderitaanlah yang mampu ke luar dari medan bujuk rayu tersebut.
Kenapa kita harus gelisah? Hal itu disebabkan kegelisahanlah yang menyebabkan manusia untuk melakukan perpindahan. Dengan kegelisahan, manusia dapat mulai berpikir tentang keberadaannya. Kegelisahan pula yang mengantarkan manusia pada kontemplasi (perenungan) terhadap makna hidup yang dalam. Akan tetapi, bila dalam kegelisahan manusia tidak memiliki keberanian untuk menghadapi segala sesuatu di luar dirinya, manusia akan tenggelam dalam rayuan kenikmatan yang semu. Ketika manusia telah larut, nafsulah yang akan memegang kendali kesadaran. Tidak ada lagi kegelisahan untuk menjadi sang pencipta. Yang ada hanya pelepasan hasrat sebagai konsumen yang justru akan membawanya pada tragedi. Dalam kondisi saat itu, manusia telah mati. Tidak ada lagi pemikiran kritis sertas kreatif dalam diri manusia. Manusia telah menjadi makhluk konsumen semata dan kesadarnnya telah diambil alih oleh benda-benda yang mereka anggap sebagai pemuas kebutuhan. Benda-benda tersebut (televisi, ponsel, game, mall, komputer) merupakan berhala-berhala yang mereka puja.
Untuk melawan produk-produk kapitalis, manusia dapat mengendalikan dirinya dan tetap berada dalam kesadaran. Tidak ada jalan untuk menghindar dari budaya yang dibentuk kapitalis. Jalan yang harus ditempuh adalah menghadapi dengan keberanian. Budaya minimalis adalah budaya yang dapat membahayakan bagi keberlangsungan hidup manusia. Bila manusia tenggelam dalam budaya minimalis, mereka hanya akan memperoleh kenikmatan semu atau ilusif tanpa ada makna kehidupan yang mendalam.
Nietzsche (Sunardi, 2006:74) mengatakan ”percayalah padaku: rahasia untuk memetik buah paling besar dan kenikmatan tertinggi dari manusia adalah hidup yang berbahaya (gefahrlich)”. Perkataan Nietzsche di atas mengacu pada keberanian dalam menghadapi kehidupan, tanpa larut akan kenikmatan-kenikmatan yang dapat mempersempit makna hidup. Manusia tidak harus mengambil jalan pintas dalam kehidupan atau lari dari dunia relita, hingga melarutkan diri dari kenikmatan semu. Kehidupan yang berbahaya dapat dilakukan dengan menghadapi budaya minimalis yang sarat dengan derasnya produk-produk kapitalis yang penuh bujuk rayu. Buah yang paling besar dan kenikmatan tertinggi ialah pemerolehan makna kehidupan ini. Itu semua dapat diraih ketika manusia selalu dalam kondisi sadar dan selalu kritis terhadap sesuatu di luar dirinya tanpa larut ke dalamnya. Ketika manusia mampu mengatasi kesadarannya, kegelisahan untuk menjadi sang pencipta akan muncul dalam kesadaran. Sang pencipta itu sendiri adalah manusia-manusia yang kritis dan kreatif. Sang pencipta juga selalu gelisah terhadap semua yang dihadapinya. Dalam kondisi gelisah, sang pencipta akan berpikir kritis terhadap kepincangan-kepincangan kehidupan, hingga menjelmakan bentuk kreativitas. Dari tangan sang pencipta, muncullah teori-teori baru, karya-karya baru, pemimpin-pemimpin baru yang penuh dengan jiwa perubahan ke arah kebenaran.
Akan tetapi, lain ceritanya, bila manusia-manusia, khususnya mahasiswa yang bergerak dalam dunia intelektual, sekarang tidak lagi berani menghadapi kenyataan yang penuh keilusifan. Tidak banyak manusia yang berhasil menghadapi bahaya budaya minimalis yang dibentuk oleh produk-produk kapitalis. Manusia yang tidak berani menghadapi kenyataan dan tenggelam dalam kenikmatan semu akan menjadi salah satu dari tiga manusia minimalis, yakni manusia ironis, manusia skizofrenik, dan manusia fatalis. Dalam kondisi larut terhadap kenikmatan semu, kegelisahan untuk menjadi sang pencipta telah mati. Pemikiran kritis dan kreatif manusia tidak pernah ada. Yang ada hanya manusia-manusia konsumen semata. Sang pencipta telah mati. Produk-produk kapitalis telah menenggelamkan pemikiran kritis dan kreatif manusia. Manusia telah dilanda krisis kesadaran, sehingga mereka melarikan diri dari dunia realita menuju dunia kenikmatan semu.
Tenggelamnya manusia dalam kenikmatan semu inilah yang kiranya mematikan intelektualitas pemikir generasi bangsa, sehingga yang tersisa hanya manusia ironis, skizofrenik, dan fatalis. Tidak ada lagi kegelisahan manusia untuk menjadi sang pencipta. Bila manusia terperosok menjadi manusia minimalis, bagaimana dengan kehidupan manusia selanjutnya? Semoga kita tidak tenggelam dalam kenikmatan semu, sehingga kita tetap dalam kesadaran dan kekritisan dan menjadi sang pencipta. Amin!

*Disampaikan di Mimbar Ilmiah Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Unesa, 2007

Daftar Rujukan


Adlin, Alfathri dan Kurniawan. 2006. Hasrat Tubuh, Kosmetik, Kecantikan: Perempuan sebagai Kosmos dan Konsumen Citraan. Dalam Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra

Flocker, Michael. 2005. The Metrosexual Guide to Style: Saatnya Pria Tampil Seksi. Terjemahan Ayu Perwitasari. Bandung: B-first

Hartono, Agustinus. 2007. Skizoanalisis Deleuze & Guattari: Sebuah Pengantar Geneologi Hasrat. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra

Hassan, Fuad. 2005. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra

Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogayakarta dan Bandung: Jalasutra

Piliang, Yasraf Amir. 2006. Antara Minimalisme dan Pluralisme: Manusia Indonesia dalam Serangan Posmodernisme. Dalam Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra

Sunardi, St. 2006. Nietzsche. Yogyakarta: LKiS
Baca Selanjutnya

Senin, 28 April 2008

HERMENEUTIK

MULAINYA “PERSETUBUHAN”: SEBUAH KISAH NYATA

Oleh: Heru Susanto

Kisah nyata ini tampaknya memang harus saya ungkapkan dalam media yang cukup terbatas. Kisah ”persetubuhan” kali ini mulai teringat ketika salah satu mahasiswa mengajak saya dalam acara seminar proposal penelitian (skripsi). Salah satu proposal yang diajukan dalam seminar itu mengkaji salah satu kumpulan cerita pendek karya Gus Mus. Kajian yang digunakan untuk membedah cerpen tersebut ialah fenomenologi. Sekali lagi, kisah yang tertulis dalam tulisan ini merupakan kisah nyata yang sejauh ini masih dalam ingatan saya.

Yang menarik dari penelitian itu terlihat ketika penyaji mengungkapkan gagasannya mengenai fenomenologi yang juga didukung dengan kajian hermeneutik. Penyaji mengungkapkan bahwa untuk menggunakan kajian fenomenologi yang sarat dengan pandangan folosofis Hussrel, kajian tersebut juga didukung dengan pandangan hermeneutik. Penelitian ini secara umum memang menggunakan dua kajian yang berbeda, yakni kajian filosofis fenomenologi dan hermeneutik.
Karena meletakkan dua pandangan yang terkesan berbeda, tidak heran ada salah satu peserta dalam seminar tersebut yang menegaskan untuk menggunakan salah satu dari kedua kajian itu. Sebenarnya, untuk menjawab permasalahan yang diajukan oleh salah satu peserta tersebut, perlu adanya penjabaran yang komprehensif mengenai fenomenologi dan hermeneutik. Hal itu disebabkan penelitian yang diajukan oleh penyaji lebih menggunakan konsep fenomenologi yang dikembangkan oleh Heidegger. Ketika kajian fenomenologi melibatkan nama besar filosof eksistensialis, Heidegger, kajian fenomenologi tersebut tampaknya memang harus bersinggungan dengan pandangan hermeneutik yang digagasnya.

Tulisan ini bukan untuk menjawab pertanyaan peserta seminar secara komprehensif, tetapi lebih mengarah pada diskusi lebih lanjut mengenai pemahaman awal tentang fenomenologi dan hermeneutika yang muncul bersamaan.

Hermeneutik

Hermeneutik pada dasarnya merupakan kajian interpretasi (penafsiran) terhadap teks yang pada awalnya lebih diidentikkan sebagai kajian teologi untuk mendekati bibel dan kajian filologi. Dalam kajian filologis, Friedrich Ast dan Frederich August Wolf merupakan dua tokoh yang sangat berpengaruh. Friedrich Ast berpandangan bahwa hermeneutik merupakan teori yang membangkitkan makna geistige (spirit) teks yang sangat bermanfaat bagi studi filologi untuk menangkap spirit antiquitas (zaman atau barang-barang purbakala), sehingga dapat diterima dengan jelas. Bagi Friedrich August Wolf , hermeneutik merupakan kaidah-kaidah untuk menangkap pemikiran yang terdapat dalam teks yang sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pengarang. Dalam hal ini, hermeneutik lebih dipandang sebagai kaidah interpretasi dialog dengan pengarang. Kedua tokoh tersebut merupakan landasan pijak untuk lebih mengembangkan kajian hermeneutik oleh tokoh sesudahnya..

Schleiermacher lebih memandang hermeneutik sebagai ilmu pemahaman. Pemahaman merupakan hal yang paling awal untuk mendekati sebuah teks. Pada dasarnya pemahaman ini merupakan jembatan pembuka dialog antara pembaca dengan pengarang yang tidak sekadar didasarkan pada level linguistik. Ia memberikan dua langkah untuk melakukan pemahaman, yakni memahami bahasa dan psikologis. Pada taraf umum, pemahaman difokuskan pada gramatikal, sedangkan pemahaman psikologis lebih mengacu pada bagaimana individualitas pengarang. Wilayah psikologis ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang sesuai dengan pengarang.

Lama-kelamaan, hermeneutik mengalami perkembangan sebagai ilmu yang lebih luas mengkaji tentang ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Yang termasuk dalam Geisteswissenschaften ialah semua disiplin yang menafsirkan espresi-ekspresi ”kehidupan batin manusia”, baik dalam bentuk ekspresi isyarat (sikap), perilaku historis, kodifikasi hukum, karya seni dan sastra. Dilthey ialah salah satu pemikir yang meletakkan hermeneutik sebagai fondasi Geisteswissenschaften. Ia menegaskan landasan utama hermeneutik adalah makna. Makna inilah yang dijadikan wujud pencarian pemahaman hermeneutik. Dilthey meyakini bahwa manusia ialah makhluk historis. Konsep historislah yang menjadi pandangan utamanya. Oleh sebab itu, makna pun juga tidak dapat dilepaskan dari konteksnya atau bersifat historis. Makna tidak pernah terlepas dari keseluruhan bagian-bagian yang terlihat dari sudut pandang tertentu, saat tertentu, dan bagian-bagian tertentu.

Mengenai pandangan Heidegger tentang hermeneutik, hal itu dijabarkan pada bagian berikutnya. Tulisan ini memang tidak semuanya menjabarkan pemikiran tokoh hermeneutik secara keseluruhan.

Heidegger: Fenomenologi bersifat Hermeneutik

Membicarakan fenomenologi tentunya tidak dapat diabaikan begitusaja nama Edmund Hussrel. Baginya, fenomenologi merupakan pemunculan atau penampakan dari suatu peristiwa itu sendiri. Lebih jelasnya, fenomena diterima manusia bukan dari pemikiran manusia, tetapi fenomenalah yang memberikan pada manusia. Dalam permasalahan penggunaan bahasa, pengguna bahasa tidak memberikan kekuatan pada bahasa, tetapi kekuatan bahasa telah diberikan kepada pengguna bahasa tersebut.

Fenomenologi bermakna membiarkan sesuatu mewujudkan dirinya sendiri, memberikan kebebasan sesuatu peristiwa mengungkapkannya sendiri, tanpa kita memaksakan untuk memberikan kategori kepada sesuatu itu.

Bagi Heidegger, fenomenologi pada dasarnya bersifat hermeneutis. Ia mengembalikan makna fenomenologi pada akar kata Yunani, yakni phainomenon atau phainesthai, dan logos. Heidegger mengatakan phainomenon berarti memperlihatkan dirinya sendiri, sesuatu yang termanifestasikan, sedangkan kata pha sama dengan kata Yunani pho>s, yang berarti cahaya atau terang benderang, sesuatu yang dapat dimanifestasikan, dapat terlihat. Logos menurut Heidegger merupakan sesuatu yang dipahami dalam pembicaraan. Logos juga merupakan fungsi untuk mengungkap sesuatu yang tersembunyi sehingga membiarkan sesuatu itu sebagai sesuatu yang terlihat.

Dari permasalahan itu, fonomenologi pada dasarnya memiliki wujud yang mirip dengan hermeneutik. Hal itu pada dasarnya berkaitan dengan hermeneutik yang berusaha untuk membukakan sesuatu yang tersembunyi. Menurut Heidegger, makna fenomenologis adalah interpretasi, sehingga memiliki karakteristik hermeneutis.

Hermeneutik yang digagas Heidegger memang terkesan rumit. Akan tetapi, pada dasarnya hermeneutiknya merupakan teori pemahaman yang dimaknai secara ontologis, yakni kekuatan pemahaman dikembalikan kepada potensi keberadaan sesuatu itu sendiri. Oleh sebab itu, hermenetik yang digagas oleh Heidegger juga disebut pula sebagai hermeneutik-fenomenologis.

Bila kajian yang digunakan untuk membedah sebuah karya sastra adalah fenomenologi Heidegger, hal itu tidak dapat dilepaskan dari pandangan hermeneutik yang digagasnya. Hal itu disebabkan pemikiran filosofisnya dalam Being and Time sangat bernuansa hermeneutis. Heidegger memang berhutang budi kepada Husserl, tetapi keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Husserl memandang filsafat harus bersifat empiris yang kaku (kepastian dalam sains), sedangkan Heidegger memandang filsafat sebagai pemikiran historis, sebuah penemuan kreatif, dan suatu bentuk reinterpretasi.

Dari sinilah, fenomenologi dan hermeneutik tidak lagi dipandang sebagai disiplin ilmu yang secara absolut terpisah. Bagi Heidegger, fenomenologi adalah hermeneutik dalam makna kata yang oerisinal yang menunjukkan persoalan interpretasi. Inilah mulainya ”persetubuhan” terjadi. Baca Selanjutnya