Jumat, 17 April 2009

AMERIKA: DARI WACANA PERLINDUNGAN HINGGA HAMBURGER DAN SPAGHETTI

(Wacana Poskolonial Film Body of Lies)*

Heru Susanto

Dalam kondisi tidak enak badan, ponsel bergetar. Ada SMS dari teman yang masuk, “Her, kmu d kntrakan ta? Qmau knsultasi k kmu.”. Kata konsultasi sebenarnya kurang nyaman bagi saya, terlalu berlebihan. Yang lebih cocok adalah diskusi. Masalah yang ingin didiskusikan ternyata poskolonial. Saat itu, saya membalas dengan ragu, “Pertanyaannya, apa km yakin seorang guru SMP dpt memberi bantuan ttg poskolonial? Bukankh seorang guru cenderung brmasalah dg baku ato tdk baku?!” Balasannya cukup meyakinkan. Saya pun mengiyakan dapat ikut nimbrung sedikit tentang poskolonial walau teman saya berlebihan.





Saat itu juga, sekitar pukul 23.30, saya mulai membuka-buka buku tentang poskolonial. Saya tidak ingin mengecewakan teman bila nanti diskusi, minimal dapat “berujar” poskolonial. Dengan sedikit serius layaknya seorang mahasiswa kutu buku, saya membaca buku Diskursus yang ditulis Sara Mills. Seperti buku-buku yang menyinggung poskolonial lainnya, Mills pun membahas pemikiran Edward Said, Mary Louise Pratt, hingga Gayatri Spivak. Perkenankan saya ngoceh sebentar!

Sekadar Serpihan

Poskolonial pada dasarnya membahas masalah teks kolonial yang tidak sekadar memaparkan relasi penjajah dan terjajah seperti tuan dan budak. Tetapi, perlawanan terhadap penjajah pun dapat dimasuki oleh studi poskolonial. Poskolonial berperan sebagai diskursus kritis yang dapat membongkar teks yang secara samar menyudutkan kaum terjajah. Seperti yang diungkap oleh Said dalam Orientalism, teks-teks kolonial cenderung memosisikan posisi Barat dan Timur berbeda. Timur digambarkan lebih rendah daripada Barat sehingga bangsa Timur merupakan bangsa yang terlambat dan “aneh”. Secara tidak langsung, posisi Timur ditempatkan sebagai posisi “Yang Lain” (The Other).

Diskursus teks kolonial yang diajukan Said memicu wacana poskolonial yang berspirit mengangkat yang terpinggirkan (The Other). Pihak yang dipinggirkan oleh wacana kolonial berusaha diangkat ke permukaan. Hal itulah salah satu usaha untuk memperjuangkan kemanusiaan.

Oleh sebab itu, poskolonial juga dapat digunakan untuk “menelanjangi” teks hingga pembaca dapat melihat ideologi yang bergerilya di dalam teks. Dalam hal ini, ideologi yang dimaksud adalah ideologi penguasa yang memojokkan lawan. Ideologi tersebut memang cenderung samar. Tidak tertutup kemungkinan, ideologi yang samar tersebut justru menjelma sebagai sosok pahlawan sehingga pembaca tidak sadar tenggelam dalam ilusi untuk melanggengkan kekuasaan. Nah, saat itulah, poskolonial siap membongkar “skandal” di dalam teks. Yang dikatakan Mills tidak berlebihan bahwa poskolonial merupakan teori kritis yang menggambarkan sistematik tentang negeri jajahan.

Uraian poskolonial ini sekadar serpihan. Artinya memang tidak dijabarkan secara keseluruhan. Masih banyak bahasan-bahasan poskolonial. Akan tetapi, kiranya serpihan ini mampu untuk menjadi pisau analisis dalam membongkar teks bernuansa kolonial.

Menikmati Body of Lies

Selesai membaca buku-buku teoretis jelimet, saya teringat salah satu film berjudul Body of Lies yang baru beberapa hari sebelumnya saya tonton. Film tersebut menceritakan seorang intelejen CIA yang ditugaskan membongkar jaringan teroris di Timur Tengah yang mengancam negara Barat. Intelejen tersebut bernama Ferris yang dibintangi oleh Leonardo DiCaprio.

Film garapan Warner Bros Picture, Body of Lies, menghadirkan ketegangan-ketegangan yang luar biasa. Tidak hanya konflik antara intelejen dengan mujahidin, konflik antarintelejen dengan intelejen, Amerika dengan Yordania sebagai tuan rumah, memberikan gambaran bagaimana intelejen mengatasi masalah. Sesekali mereka juga terlibat persaingan mengenai informasi tentang target sasaran operasi.

Film ini tidak jauh beda dengan Film garapan Barat lainnya, seperti Rambo. Pihak yang menang tetap Barat. Intinya, Barat merupakan pelopor perjuangan kemanusiaan, penjaga keamanan internasional, dan penegak hukum internasional.

Latar film tersebut tepatnya Yordania. Di sana, kelompok mujahidin pembela Islam yang dianggap teroris berpusat. Secara tidak langsung, film tersebut menghadirkan dua budaya yang berbeda, Barat dan Timur. Penggambaran keduanya secara samar-samar tidak proporsional. Ada ideologi yang bersarang dalam teks film tersebut. Untuk itu, mari kita gunakan teori poskolonial untuk membacanya lebih jauh.

Peradaban Barbar

Semenjak aksi teror 11 September 2001 di Amerika Serikat, invasi militer besar-besaran diluncurkan untuk memberantas aksi teroris yang bersarang di Timur Tengah, tepatnya di Afganistan. Dampaknya, darah pun membanjiri negara muslim tersebut. Struktur maupun infrastruktur hancur. Yang tersisa hanya puing-puing bangunan dan penderitaan. Dengan alasan pemberantasan teroris, yang diduga jaringan Al-Qaidah, kenyataannya Amerika justru melakukan pembantaian besar-besaran.

Setelah Afganistan dilumpuhkan, Maret 2003, Amerika menyerang Irak. Alasan tidak jauh beda. Mereka mengatasnamakan invasi tersebut sebagai perjuangan demokrasi dan hak asasi manusia yang telah direnggut oleh Sadam Husyain. Dampaknya sama. Puing-puing kehancuran dan penderitaan yang tersisa.

Itulah sekelumit kisah dari dunia realita dan yang menjadi latar belakang film tersebut. Akan tetapi, film tersebut justru menjadikan Barat tetap menempatkan posisi sebagai penegak hak asasi manusia.

Adegan film itu dibuka dengan pemutaran rekaman salah satu pimpinan mujahidin, Al-Saleem. Video itu memberikan perintah kepada mujahidin untuk membalas kucuran darah akibat orang-orang Barat, khususnya Amerika.

“Setelah kita hancurkan bis di Sheffield minggu lalu… Kita persiapkan operasi di Inggris. Kita akan balas perang yang dilancarkan Amerika pada Muslim. Kita akan serang mereka di mana-mana. Kita serang secara acak di Eropa lalu dilanjutkan di Amerika. Kita telah kucurkan darah. Dan kini…mereka akan berdarah.”

Sosok pemimpin mujahidin tersebut digambarkan layaknya ulama Islam yang digambarkan penuh dengan hasrat membunuh. Adegan tersebut merupakan jalinan teks yang membangun pemahaman bahwa budaya Timur, khususnya Islam identik dengan kekerasan. Darah dibalas dengan darah manusia tak berdosa. Intinya teks tersebut membentuk suatu makna pembantaian yang membabi buta atas nama agama. Tidak hanya suatu organisasi teror, melainkan agama peneror.

Adegan ini merupakan pembuka film. Penikmat akan langsung diberi gambaran tentang siapa yang anarkis. Paradigma penikmat film dibentuk sedemikian rupa dengan teks yang memosisikan budaya muslim seakan-akan budaya barbar, budaya peradaban yang tertinggal.

Hal itupun ditemukan dalam perkataan atasan Intelejen Ferris yang merupakan otak pemberantasan terorisme di Timur Tengah.

“Karena musuh kita…telah menyadari mereka melawan orang-orang dari masa depan”

Teks tersebut secara eksplisit mengatakan bahwa musuh, mujahidin, telah menyadari bahwa Amerika merupakan musuh dari masa depan. Kecanggihannya dan kehebatannya telah diakui. Secara tidak langsung, teks tersebut juga memosisikan mujahidin sebaliknya.

Kekerasan yang paling kuat ditunjukkan secara jelas pada adegan klimaks akhir film. Ketika Ferris, intelejen CIA, tertangkap, mujahidin siap untuk memenggalnya. Tetapi, adegan yang menunjukkan mujahidin yang keliru dan Barat yang benar terasa kuat menjelang pemenggalan. Perdebatan antara Ferris dengan Al Saleem tentang penafsiran kitab suci terjadi.

Al Saleem : “Jangan katakan mereka yang membantai karena Allah itu mati. Mereka hidup tapi kalian tidak menyadari.”

Ferris : “Jadi kau salah artikan kitab yang kau percaya….

Bagiku kau adalah budak. Kau budak para Sheikh Saudi dan uang minyak… wahabi yang mendanaimu.”

Al Saleem menyitir kalimat dari kitab suci sedangkan Ferris menyangkalnya. Ferris menegaskan bahwa mujahidin keliru dalam menafsirkan kitab suci untuk melegalkan pembantaian. Mujahidin yang mewakili budaya Timur Tengah dianggap sebagai kelompok yang gila materi dan haus akan kekuasaan. Ucapan itu diujarkan oleh seorang intelejen yang mewakili budaya Barat. Teks tersebut memosisikan mujahidin yang mewakili budaya muslim sebagai golongan rendah atau budak. Sebagai lawan, Barat secara tidak langsung diangkat sebagai bangsa yang beradab dan pantas untuk meluruskan kesalahan.

Negeri Impian

Setelah Timur Tengah porak-poranda, terjadi banyak pembantaian, dan teror, film tersebut mengkonstruksi negeri yang diimpi-impikan, negeri yang memberikan kesejahteraan, keamanan, dan ketenteraman. Negeri tersebut adalah Amerika, negara pelindung.

Hal itu dapat ditemui dalam adegan ketika Nizar, seorang mujahid yang tidak ingin mati syahid dengan meledakkan diri ingin mendapat swaka dari Amerika. Nizar mendatangi Ferris untuk menukar informasi tentang mujahidin dengan perlindungan dari Amerika. Hanya dengan Amerikalah ia dapat hidup dengan tenang.

“Aku tak mau mati. Aku ingin pergi ke Amerika. Aku punya gelar Ph.D., kau tahu?”

Yang perlu dicermati adalah, Nizar tidak ditangkap tetapi dia sendiri yang mendatangi CIA untuk memperoleh swaka. Teks ini membuktikan bahwa film tersebut membangun suatu kesadaran tentang negara Amerika adalah negara adikuasa. Keamanan manusia terjamin di sana, bukan di Timur Tengah. Secara implisit, Amerika lebih beradab daripada Timur Tengah yang berbudaya barbar.

Apa hubungannya gelar akademis dengan kematian? Seorang terpelajar dengan gelar Ph.D. seakan-akan tidak perlu mati sia-sia. Akademisi layak untuk dihormati, bukan dijadikan martir pembunuh yang disia-siakan. Oleh sebab itu, Amerika adalah solusinya. Amerikalah yang dapat menghargai kaum terpelajar. Apakah di Timur Tengah tidak demikian?

Selain Nizar, ada tokoh lain yang juga mengimpikan negara Amerika. Cala, kakak perempuan Aisha, juga memimpikan Amerika. Karena Ferris dekat dengan Aisha, ia pun diundang main ke rumahnya. Ferris sebagai orang Barat bertemu dengan Cala yang tidak suka dengan orang Barat. Hal itu disebabkan, semenjak Amerika invasi ke Irak, orang Yordania pun mengalami kesulitan.

Ketidaksukaan Cala dengan orang Barat ditujukan ke Ferris saat makan bersama di rumahnya. Ketidaksukaan itu diungkapkan dengan ucapan maupun tingkah-laku yang dingin kepada Ferris. Perdebatan pun terjadi. Akan tetapi, di balik kebencian Cala kepada orang Barat, ada sisi ironis. Cala ingin ke Amerika. Hal itu diungkapkan Aisha kepada Ferris.

“Dia sangat menderita selama perang Iran-Irak. Dan lucunya dia ingin tinggal di Amerika.”

Inilah sisi ironis. Film tersebut seakan-akan menyindir orang-orang Timur Tengah. Benci tapi cinta. Itulah kiranya sindiran itu. Banyak orang yang membenci, tetapi sebenarnya mereka inginkan keadaan seperti Amerika dan hidup di sana.

Hamburger dan Spaghetti pun Terlibat

Benarkah makanan terlibat dalam pewacanaan ideologi? Dalam film tersebut, makanan pun dijadikan strategi untuk merendahkan bangsa Timur sekaligus menaikkan bangsa Barat. Teks ini dapat dicermati ketika Ferris berkunjung ke rumah Aisha. Di rumah itu, ia bertemu dengan dua orang anak laki-laki Cala, Yousef dan Rowley yang sedang bermain game.

Ferris mendekati kedua anak itu lalu bercakap. Saat itu, Cala sedang memasak di dapur.

“Baunya lezat di sana, ya?

“Tidak enak.”

“Tidak enak? Kau tak suka masakan ibumu?”

“Tak begitu suka”

“Makanan apa yang kau sukai?”

“Hamburger”

“Kau?”

“Spaghetti”

Wacana tentang makanan pun dibangun untuk menandingi makanan yang bukan khas Barat. Kedua anak kecil Timur Tengah justru memilih makanan khas Barat ketimbang makanan buatan ibunya (makanan Timur Tengah? Yordania?). Dalam adegan makan bersama, kedua anak tersebut menunjukkan ekspresi tidak selera makan. Sang ibu, Cala, menegur dengan kespresi wajah yang kurang bersahabat untuk memaksa memakan makanan yang telah dimasaknya. Secara samar, hal itu merupakan wacana tandingan untuk membangun keunggulan Barat. Orang Timur Tengah pun mencintai produk Barat. Produk lokal pun siap untuk ditinggalkan.

Secara langsung, memang makanan tidak berpengaruh terhadap pertarungan wacana kekuasaan. Akan tetapi, ketika relasinya wacana makanan dengan suatu kekuasaan diungkap, ideologi pun muncul kepermukaan teks. Inilah perang samar-samar yang dilakukan Barat untuk menempatkan Timur pada posisi rendah. Strategi yang halus dan sopan?

Terpaksa Menyimpulkan

Body of lies menyimpan banyak wacana kolonial yang cukup rapi tertata. Bila kita menikmati film di permukaan semata, kita akan menganggap bahwa CIA, mewakili Barat, berusaha menjaga kestabilan keamanan internasional. Baratlah simbul kedamaian, keamanan, dan pelindung.

Akan tetapi, ketika film tersebut dibedah dengan teori poskolonial, wacana-wacana tersamar yang justru menindas Timur Tengah dapat diungkap. Mujahidin yang mewakili Timur Tengah dianggap arogan dan berbudaya Barbar. Orang Timur Tengah yang membenci orang-orang (budaya) Barat digambarkan di lain sisi atau secara sembunyi-sembunyi menginginkan hidup di Amerika. Makan khas Barat pun digunakan sebagai tandingan terhadap makanan lokal.

Semua itu merupakan jalinan teks yang bertujuan untuk meninggikan budaya Barat dan memosisikan budaya Timur Tengah di bawah. Memang, seni juga dapat digunakan untuk membenarkan perbuatan arogan. Pelaku kekerasan, pembantaian, perusakan, dan pemaksaan hak-hak manusia telah dijadikan pahlawan dalam karya fiksi. Ketika dalam dunia realita mengalami hambatan, filmlah sebagai jalan pembenaran peperangan. Menurut Anda?

Surabaya, 14 April 2009

*Ditulis di waktu senggang selesai mengajar sebagai bahan diskusi



14 komentar:

Dr. suyatno, M.Pd. mengatakan...

Bagaimana dengan nasi pecel dan nasi becek Nganjuk? Adakah berbau kolonialisme sejati dalam makanan itu? Bolg bagus. Melangkahlah dengan sabuk kepastian. Selamat.

Zhia Bawel mengatakan...

blog sangar .. haha

Warung buku mengatakan...

HEBAT,......blog bagus materi cantik, desain menarik. Teruskan semangat bloger Indonesia.

Anonim mengatakan...

bagus. sebuah pemikiran yang dalam. namun saya binggung dengan dirimu? di bawah bendera apakah kamu menulis wahai sahabatku?
saya juga senang dengan filsafat, namun sebegitu merajai kah pemikiran dangkal manusia itu? topanglah pemikiran manusia dengan menyusupkan Ayat dari sang Pembuat pemikiran. dan menulislah engkau di bawah bendera islam. ya islam. mengapa? karena kita pun tak ingin di malu bila tulisan kita kelak ada di hadapan Allah? lantas masih ingatkah tujuan hidupmu sobat? tujuan hidup yang harus di perjuangkan dan dipertanggung jawabkan. ya sebuah pertanggung jawabkan kita dalam memperjuangkan AgamaNya dan tak terlena dengan senatiasa Eksis untuk diri sendiri, tapi juga untuk Manusia di dunia...untuk menatap masa depan di bawah bendera islam..


Allah melihat ke Eksisan takwa kita, bukan melihat seberapa pandai kita memutarbalikkan kata! percayalah padaku kemampuanmu akan semakin menyamudra dalam naungan perjuangan bendera islam...


Rain'd Nebula
salam Revolusi Putih
Lidah wetan GgIIa no 1
Ath-Thoriq
http://sevenlevel.wordpress.com/

Anonim mengatakan...

To Mas Heru: baik klo memang kita berjuang di bawah bendera islam, maka teriakkanlah islam dengan lantang, dan saya minta maaf klo kata2 “kedangkalan pemikiran manusia”. saya akui ketika menulis perkataan tadi memang ada yang janggal. saya paham klo dalam pemikiran Annabani juga filsafat. dan klo antum paham dengan pemikiran beliau yang mengkritisi setiap sisi gelap filsafat, maka saatnya lebih menggaris bawahi lagi untuk mengkritisi filsafat dari pada sekedar menyampaikannya.
kapan2 mampir mas ke Asrama, Ku pengen pinjem bukunya nietzche yang apa tuh, zaratrusta? Q nyari di mana? tapi gak ketemu2..
hmm..Q tertarik dengan tu filsuf Palu yang suka bantai demokrasi, sekalian ntar tak bantai juga Nietzche tentang kebebasannya dalam berEksistensi hingga membuatnya Gila itu..
Maaf dan Trimakasih buat masukannya.
Rain'd Nebula (kemarin tu bukan pendapat semua anak asrama tapi pendapat saya pribadi)
waslm

Li Na mengatakan...

kunjungan pertamaku keblog ini...

blog mantap dengan bahasa yang agak dalam...jadi mesti kosentrasi tingkat tinggi untuk menelaah apa yang ingin kamu sampaikan...

aku seakan-akan berada dalam sebuah ruang...tiba-tiba seorangan bertopi dan mengeluarkan senapan hihihi seram juga..

satu kata untuk blog ini "MANTAP"

handzt mengatakan...

aq swatu saat d ajari dunk.... oh yah... jg lupa aq pnjem bku ttg poskolonial yah

handzt mengatakan...

swatu saat nti aq d ajari donk.... oh yah, lupa aq pnjem buku ttg poskolonial ya, very nice blog

sastra,bahasa,budaya mengatakan...

seperti novel Bumi Manusia, ada yang dijajah dan menjajah....Congratulation ya Mas.blog Anda bagus sekali...setelah mas lulus, jujur aku bingung mau diskusi tentang "teori" dengan siapa.Menurutku mas lebih dari cukup untuk menguasai sebuah teori.

sastra,bahasa,budaya mengatakan...

Aku baru aja baca blog Mas. yah memang benar, untuk membedah teks, pos kolonial memang tepat untuk membedah wacana ideologi yang bersarang di dalamnya. Teori yang Mas gunakan cukup "tajam"....

sastra,bahasa,budaya mengatakan...

Aku baru aja baca blog Mas. yah memang benar, untuk membedah teks, pos kolonial memang tepat untuk membedah wacana ideologi yang bersarang di dalamnya. Teori yang Mas gunakan cukup "tajam"....

sastra,bahasa,budaya mengatakan...

Aku baru aja baca blog Mas. yah memang benar, untuk membedah teks, pos kolonial memang tepat untuk membedah wacana ideologi yang bersarang di dalamnya. Teori yang Mas gunakan cukup "tajam"....

sastra,bahasa,budaya mengatakan...

Aku baru aja baca blog Mas. yah memang benar, untuk membedah teks, pos kolonial memang tepat untuk membedah wacana ideologi yang bersarang di dalamnya. Teori yang Mas gunakan cukup "tajam"....

sastra,bahasa,budaya mengatakan...

Aku baru aja baca blog Mas. yah memang benar, untuk membedah teks, pos kolonial memang tepat untuk membedah wacana ideologi yang bersarang di dalamnya. Teori yang Mas gunakan cukup "tajam"....