Selasa, 09 Desember 2008

CINTA DAN FILOSOFI KEHIDUPAN: MENELUSURI SERPIHAN CINTA DALAM FIKSI DAN FAKTA


Oleh: Heru Susanto*

“C= Ceria bila dijalani berdua, I= Indah bila diingat, N= Nikmat bila dirasakan,
T= Takut bila kehilangan, A= Abadi bila saling mengerti”

~SMS dari Henny Hermawati, 01/09/08, 21:42~


Selesai yudisium dan memeroleh gelar sarjana, saya pulang ke kampung halaman yang anginnya buat rambut jadi acak-acakan (Nganjuk, Kota Angin). Saat itulah saya mulai mengalami kejenuhan yang sangat berat. Kegelisahan tiba-tiba bercokol dalam pikiran. Apa yang saya alami itu merupakan konsekuensi logis dalam kehidupan saya. Di kampung, kegiatan yang saya lakukan jelas jauh berbeda dengan saat-saat menjadi mahasiswa (saya tidak ingin rambut saya acak-acakan). Tidak ada teman ngobrol tentang yang jelimet-jelimet merupakan salah satu pemicunya. Saya terbiasa terlibat “adu mulut” dengan beberapa mahasiswa maupun dosen saat berada di kampus mengenai masalah yang sepele sampai pada masalah yang membuat kepala ini adem-panas.

Saat-saat berada dalam titik kejenuhan itu, saya mulai memegang ponsel, berpikir sejenak, dan kemudian saya membuka layanan SMS. Jari saya memang tidak terlalu lincah memainkan tombol ponsel. Saat itulah saya mulai sadar bahwa saya menghendaki untuk berdiskusi melalui SMS. Topik yang saya ajukan mengenai cinta. Ketika tulisan sudah selesai, ibu jari telah menekan kirim dan pesan pun melesat ke ponsel teman saya, Henny Hermawati.

Kenapa saya harus mengirim kepada teman saya itu? Ah, sebenarnya ini bukan suatu kebetulan atau alam bawah sadar (unconsciousness) yang menghendakinya. Namun, tujuan itu merupakan kesadaran dan kesengajaan. Teman saya itu dapat dikatakan perempuan yang berpengalaman dalam hal cinta. Sayangnya, semenjak menjadi teman kuliah, saya baru sadar ketika menginjak akhir perkuliahan, dia merupakan perempuan yang diidolakan mahasiswa lawan jenisnya. Mengenai alasan itu, saya kurang paham. Yang pasti, dia lebih berpengalaman daripada saya (atau mungkin sebaliknya?).

Beberapa menit setelah pesan terkirim, balasan pun diterima. Salah satu pesan dapat ditemukan di awal tulisan ini berupa akronim CINTA. Gaya seperti itu bukanlah hal baru. Justru itu, saya jadi teringat masa-masa di bangku sekolah saat cinta baru meresap dalam kehidupan remaja dan saya pun mulai terhisap olehnya.

Tulisan ini dapat dikatakan menjadi diskusi lebih lanjut mengenai cinta yang saya benturkan dengan obsesi seseorang dalam menjalani kehidupan. Apakah cinta benar-benar seromantis akronim yang penuh ritmis? Ataukah sebaliknya ketika cinta berbenturan dengan obsesi kehidupan yang penuh filosofis? Yang pasti saya akan berusaha melampaui pemahaman terhadap cinta.

Simbol Penyeimbang Kosmos

Ketika agama samawi (Yahudi, Nasrani, dan Islam) memberikan wacana tentang manusia pertama, saat itulah kisah Adam dan Hawa merupakan simbol historis awal wacana cinta yang dijadikan rujukan utama. Kisah dua sejoli itu sangat eksotis. Tidak hanya kisah kasih-sayang (cinta) Adam kepada Hawa yang menyebabkan keduanya dilempar ke dunia fana. Tetapi, kisah penciptaan Hawa yang mewakili perempuan juga menjadi daya eksotis tersendiri yang juga kontroversif.

Risalah cinta sebenarnya dapat dilacak dari kisah penciptaan Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam melalui penafsiran–walaupun penafsiran itu tidak pernah tunggal. Penafsiran terhadap kisah penciptaan tersebut memang mengundang perdebatan. Ada yang menafsirkan bahwa penciptaan Hawa yang mewakili kaum perempuan merupakan suatu kisah yang menempatkan perempuan pada posisi di bawah laki-laki (inferior). Hal itu dengan dasar argumentasi, perempuan (Hawa) diciptakan dari bagian tubuh laki-laki (Adam), sedangkan laki-laki tidak diciptakan dari bagian tubuh perempuan, melainkan dari tanah. Secara tidak langsung, terciptanya perempuan karena adanya laki-laki, namun tidak sebaliknya.

Untuk mengimbangi penafsiran yang bernada pesimis itu, sebagian orang menafsirkan dengan berbeda. Dengan suatu pembelaan yang bernada optimis, penafsiran itu justru mempertanyakan kembali tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Mengapa perempuan (Hawa) tercipta dari tulang rusuk? Mengapa tidak dari tulang ekor, tulang tangan, atau tulang kaki?

Penafsiran yang dihadirkan di sini bukan untuk mencampuri urusan Tuhan dalam hal penciptaan makhluknya karena bila itu terjadi berarti saya telah menggugat otoritas Tuhan. Akan tetapi, penafsiran ini lebih ditujukan untuk menelusuri keberadaan cinta yang terdapat dalam tanda. Oleh sebab itu, penafsiran ini tidak mutlak kebenarannya, namun hal ini sebagai jembatan rasional untuk mengkaji risalah cinta yang masih dapat diragukan kebenarannya.

Keduanya memang tidak dapat dijadikan dasar sebagai alasan Tuhan menciptakan perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, dalam hal ini, saya lebih memilih penafsiran yang kedua yang mempertanyakan kenapa perempuan tercipta dari tulang rusuk, bukan tulang ekor, tulang tangan, atau tulang kaki (dalam hal ini Anda bebas memilih). Hal itu didasarkan dengan argumen, tulang rusuk lebih berdekatan dengan jantung, yang bila sang pemilik jantung mengalami sesuatu peritiwa, baik indah maupun buruk, selalu berdebar. Dalam hal ini, rusuk melindungi organ-organ vital manusia–bukan berarti yang lain tidak vital. Bila dilihat dari posisi vertikal tubuh manusia pun, rusuk menduduki posisi tidak di atas juga tidak di bawah. Posisi rusuk tersebut dapat ditafsirkan sebagai kedudukan perempuan yang berada pada posisi tengah, tidak menguasai laki-laki, namun juga tidak dikuasai laki-laki.

Argumen-argumen itu mengisyaratkan suatu penafsiran tentang penciptaan perempuan yang bertujuan demi mendamaikan hati laki-laki. Karena sebagai pendamai hati, secara tidak langsung, perempuan merupakan penyeimbang kehidupan laki-laki yang berangkat dari perbedaan karakteristik esensial yang dimiliki keduanya. Keduanya layaknya sisi mata uang yang tidak dapat bercerai demi mengabadikan nilai tukar. Bila satu sisi uang lenyap, yang pasti, Anda tidak dapat membeli gorengan beserta sambal petis yang menggiurkan. Bila itu terjadi, Anda hanya dapat gigit jari dan air liur akan merembes di sela-sela gigi dan gusi.

Kisah cinta yang bermula dari Adam dan Hawa pada dasarnya merupakan titik muara suatu keseimbangan. Keduanya diturunkan ke dunia dengan alasan cinta. Walau menjalani hukuman, hukuman yang diterima keduanya lebih bersifat menjalankan perintah. Perintah tersebut salah satunya adalah “mengabadikan” cinta. Dengan cinta, mereka melestarikan keturunan, yang di perjalanan kehidupan mampu memberikan warna dunia yang berbeda di setiap masa dengan peradaban-peradaban yang dikembangkan. Secara tidak langsung, cintalah yang menggerakkan progresivitas peradaban. Melalui laki-laki dan perempuan terciptalah suatu penghuni yang melestarikan kehidupan dunia.

Percintaan antara laki-laki dan perempuan sebenarnya memiliki andil dalam peran suatu peradaban. Kekuatan cinta yang bersemayam dalam keduanya layaknya unsur Yin dan Yang yang diakui dalam filsafat Cina. Yin mewakili sifat betina, diam, beku, padat, gelap, dingin, menyerap, dan lembut, sedangkan Yang mewakili sifat jantan, gerak, cair, terang, panas, menentang, dan keras. Keduanya memiliki perbedaan-perbedaan yang berlawanan. Akan tetapi, keduanya merupakan suatu keharusan untuk berjalan dengan harmonis.

Saya bukan ahli filsafat Cina. Oleh sebab itu, saya tidak bermaksud memberikan persamaan mutlak laki-laki dan perempuan dengan unsur Yin dan Yang. Akan tetapi, keduanya saya pakai sebagai analogi semata untuk menjembatani penjelasan kekuatan cinta dari kedua makhluk tersebut. Yang saya ketahui, seperti yang dinyatakan Bagus Takwin, dalam Filsafat Tumur (2003), manusia menduduki fungsi sebagai agen penyusun fondasi kebudayaan galaksi (galactic culture). Kebudayaan galaksi yang diciptakan manusia akan menyatukan kembali alam semesta dalam keindahan dan keharmonisan. Semua itu dapat dicapai dengan adanya cinta, cinta yang mengalir meresap dalam alam semesta.

Ah, mungkin tulisan ini terlalu jauh ngalor-ngidul. Menurut saya, ya seperti itulah ketika kita bicara tentang cinta. Sulit untuk mencari batasan-batasan yang ketat tentangnya. Yang pasti, laki-laki dan perempuan memang dibekali kutub yang berbeda sehingga memiliki potensi untuk tarik-menarik dan dari situlah menciptakan keharmonisan kehidupan. Seperti dikatakan teman saya yang jatuh pada huruf A=Abadi bila saling mengerti. Apa yang harus saling dimengerti dan apa yang akan abadi?

Yang harus dimengerti adalah segala suatu perbedaan yang dimiliki dan yang berpotensi menimbulkan sesuatu dari keduanya. Semua perbedaan harus diinsafi karena itulah fondasi penyeimbang untuk membentuk keindahan dan keharmonisan. Oleh sebab itu, saya dengan tegas mengatakan bahwa cinta pada dasarnya merupakan serpihan-serpihan perbedaan, yang satu dengan yang lain saling mengisi yang belum pernah termiliki.

Kegelisahan: Suatu Tarik-Ulur

Meskipun perempuan dalam percintaan dikatakan sebagai penyejuk hati laki-laki, tidak semua laki-laki menerima begitu saja seorang perempuan dengan cinta dan memilikinya. Permasalahan ini akan semakin rumit karena cinta disandingkan dengan kepentingan seseorang memandang kehidupan yang berbeda. Kerumitan tersebut memang tidak dapat dihindari begitu saja karena cinta hakikatnya bersandingan dengan masalah-masalah kehidupan yang lain.

Ketika teman saya menguraikan akronim T=Takut bila kehilangan, saya pun juga akan yakin menguraikan T justru berbeda. T dalam akronim CINTA dapat pula sebagai Takut bila hidup bersama. Cinta tidak hanya takut bila kehilangan, namun cinta pun kadang juga takut bila bersatu menjalin asmara. Bagaimana mungkin? Bukankah hakikat cinta adalah ambisi untuk saling memiliki?

Ya, cinta pada dasarnya merupakan suatu percikan ambisi untuk memiliki yang dicintai–terlepas berhasil atau tidak. Dalam hal ini perlu disadari, ketika memikirkan perihal cinta, tidak ada hukum yang pasti. Cara berpikir rasional pun akan terkesan irasional dalam mengkaji cinta, begitu juga sebaliknya. Tidak salah bila Agnes Monica mengatakan cinta tak ada logika dalam lagunya.

Salah satu yang menjadikan cinta takut untuk hidup bersama adalah obsesi manusia. Setiap manusia memiliki obsesi. Obsesi inilah yang mengganggu pikiran manusia. Namun, obsesi di sini tidak perlu ditanggapi sebagai suatu yang negatif semata atau distorsif. Obsesi jugalah sebenarnya yang menggerakkan manusia untuk berusaha mewujudkan keinginannya.

Keberadaan obsesi dalam diri manusia sering menjadi rival bagi cinta. Tidak jarang obsesi akan selalu berbenturan dengan cinta sehingga menimbulkan kegelisahan yang akut pada seseorang. Nah, izinkan saya bercerita sejenak mengenai kisah cinta.

Dalam hal ini, Musashi, tokoh utama dalam novel legendaris Musashi karangan Eiji Yoshikawa dari Jepang, merupakan sosok yang gelisah karena berada dalam pilihan yang menyulitkan. Di satu sisi, dia telah memutuskan untuk menjalani kehidupan dengan jalan pedang. Di sisi lain, dia juga merupakan laki-laki sejati yang memiliki hasrat untuk bercinta.

Untuk menjadi samurai sejati yang mengikuti jalan pedang, berdisiplin diri adalah kunci utamanya. Untuk menempuh itu, dia harus melepaskan diri dari keinginan untuk bercinta. Dalam hal ini, Musashi memang orang yang tekun menjalani jalan pedang. Akan tetapi, dia tidak dapat mengelak terhadap hasrat yang bercokol di hatinya mengenai seseorang yang dicintai serta mencintainya, Otsu, gadis desa yang tulus mencintainya dan rela menderita demi cinta.

Seperti yang telah dibahas tadi, perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki, yang ditafsirkan sebagai pelindung dan pemberi kenyamanan, ketenteraman, dan kedamaian bagi laki-laki. Oleh sebab itu, Musashi tampaknya justru menghindari hal itu. Untuk belajar, seseorang harus keluar dari zona nyaman. Apa yang dilakukan Musashi adalah untuk berdisiplin diri dan menjauhi zona nyaman, sedangkan perempuan adalah simbol kenyamanan. Segala pertempuran dilaluinya untuk mengasah kemampuan permainan pedang. Tentang perempuan, dia menganggap itulah zona nyaman yang perlu dihindari, walaupun kadang-kadang dia merindukan untuk bersama Otsu dan menjalani hidup sebagai sepasang kekasih.

Obsesi yang dialami Musashi untuk menjadi samurai sejati menyebabkan dia dalam posisi gelisah antara cinta dan jalan pedang. Perjalanan cinta dalam hal ini berbenturan dengan filosofi jalan pedang. Cinta dalam hal ini dipandang sebagai suatu titik kenyaman yang dapat melarutkan manusia dalam keindahan fana. Oleh sebab itu, tidak diragukan bila seseorang gelisah karenanya.

Keadaan seperti itu sebenarnya tidak hanya dialami oleh Musashi dalam fiksi semata. Dalam kehidupan nyata, hal itu juga sering terjadi. Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi pemikir atau mengejar karier, tidak jarang pula kisah cinta akan “diistirahatkan” sejenak, bahkan disingkirkan atau ditolak walaupun sebenarnya sangat dicintai demi suatu obsesi.

Dalam dunia nyata, saya terpaksa menghadirkan kisah cinta seorang filsuf Denmark penggagas aliran eksistensialisme yang saya kagumi, Soren Aabye Kierkegaard (SK) (1813-1855). SK merupakan sosok pemikir melankoli yang saya kenal. Kehidupannya diwarnai dengan kemurungan-kemurungan. Orang-orang yang disayanginya telah meninggalkannya. Serentetan keluarganya, kedua kakak laki-laki dan perempuan meninggal ketika dia masih kecil, kemudian kakak-kakaknya yang lain serta ibunya juga meninggal. Kesedihan lebih lanjut menderanya ketika kakak perempuan yang disayangi juga direnggut maut. Dalam dua tahun berturut-turut, dia menatap sanak keluarga memasuki liang kubur.

Selepas kepergian serentetan keluarganya, SK terpukul dengan pengakuan ayahnya yang pada masa remaja pernah mengutuk Tuhan dan pernah melakukan hubungan seks mendahului pernikahannya dengan ibunya. Kiranya itulah keluarganya mengalami kutukan. Dia juga beranggapan bahwa kecerdasan yang dimilikinya juga merupakan akibat dari kutukan Tuhan yang mengantarkannya pada kesengsaraan. Orang yang menjadi pujaan, ayahnya sendiri, pada akhirnya juga direnggut maut. Dalam kondisi seperti itu, Tuhan pun juga terkubur bersama ayahnya yang terenggut maut. SK pun mengutuk Tuhan. Dalam kondisi itu, Tuhan baginya adalah penghancur dan perampas kebahagiaan. Saat itulah dia menjalani kehidupan dengan tidak teratur. Dia meninggalkan rumah dan hidup dengan berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Utang pun telah membelitnya karena biaya penginapan, minum-minuman, cerutu, dan buku.

Tidak hanya itu, SK juga terperosok pada kesedihan ketika Paul Martin Moller, guru besarnya, meninggal dunia. Hanya sedikit orang yang menghargai kecerdasannya, salah satunya adalah guru besar itu. Tidak ada suatu yang tetap kecuali perubahan (demikian petuah dari Heroclitus) dan itu pun terjadi pada diri SK. Tidak lama setelah kematian guru besarnya, dia mencoba kembali dan menjadi pengikut Tuhan yang taat dan menyelesaikan studi teologinya dengan predikat cum laude (pujian). Itulah sederetan alur peristiwa yang menyebabkan SK menjadi melankoli yang akut.

Di mana kisah cintanya? Nah, inilah keunikan kisah cinta SK. Alur cintanya memang eksotis sekaligus fiktif sehingga harus melewati tahapan peristiwa itu. Ada tiga figur yang sangat berpengaruh dalam kehidupan SK, yaitu sang ayah, sang guru besar, dan nah…ini dia pujaan hatinya, Regina Olsen, perempuan cantik nan terhormat.

Di bulan Mei 1837, pertemuan pertama menghadirkan buah cinta yang menggelora. SK pun akhirnya merasakan cinta dua sejoli yang sebenarnya. Cintanya terhadap Regina tidak perlu diragukan sedikit pun, layaknya cinta Romeo dan Juliet dalam drama gubahan Shakespeare. Tetapi ingat! Cinta SK dengan Regina tidak seromantis Romeo dan Juliet.

Kegelisan menyerang SK. Dia ragu apakah mampu memberikan kebahagian kepada Regina. Keduanya jelas berbeda. SK merupakan orang yang murung dan sangat melankolis, sedangkan Regina perempuan cantik yang periang–kiranya seperti teman saya itu. Dia merasa, dirinya penuh dengan dosa dan kemurungan-kemurungan akibat peristiwa yang menyakitkan dan telah mengakar dalam pemikiran untuk memandang kehidupan. Dia ragu bila menikahi Regina hal itu justru menimbulkan penderitaan bagi dirinya, terlebih bagi Regina yang dicintainya.

Di musim panas 1840, SK mengajukan niatnya kepada Regina untuk menjadi pendamping hidupnya. Niatnya itu diterima oleh Regina beserta orang tua dengan bahagia. Ah, di luar dugaan, tanggal 11 September, SK terperosok pada kegelisahan hingga berujung pada simpulan bahwa keputusan mengawini Regina adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. SK beranggapan dengan mengawini Regina, sama saja dengan menarik perempuan yang dicintainya dalam kemurungan hidupnya sehingga menjadikan Regina tenggelam pula dalam penderitaan yang seharusnya hanya pantas diterimanya.

Tokoh melankolis ini memang mengalami kesulitan. Dia tidak memiliki keluasan untuk menjelaskan tentang kegelisan-kegelisan itu. Kesulitan terpuncak adalah dia harus menceritakan pengalamannya dengan pelacur. Nah…, apa jadinya bila menceritakan pengalaman dengan pelacur kepada sang cinta tanpa hiraukan hati yang kemungkinan bisa terluka? Yang pasti, tidak berarti dia takut terhadap nama baik, tetapi dia tidak bisa melihat perempuan yang dicintai menderita.

Karena SK tidak menginginkan melibatkan Regina dalam dosa-dosanya, tanggal 14 Agustus 1841, dia mengembalikan cincin pertunangan kepada Regina. Dia harus merelakan cinta sejatinya demi tidak melibatkan perempuan suci pada dosa-dosa. Karena memutuskan pertunangan itu, SK mendapat kecaman dan cemoohan yang keras dari masyarakat Kopenhagen. SK dianggap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab yang melakukan perbuatan tidak senonoh pada perempuan cantik nan terhormat.

Terhadap cemoohan keras masyarakat, SK tidak mengadakan pembelaan. Dia justru mengiyakan pendapat masyarakat. Saat memutuskan pergi ke Berlin melanjutkan studi filsafat, dia menemui seorang sahabat karib, Emil Boesen, dan meninggalkan pesan agar sahabatnya itu selalu mengabarkan keadaan Regina, sang cinta sejati, kepadanya. Kebijaksanaan SK terlihat ketika dia melarang Emil Boesen untuk menyangkal atau memberikan pembelaan mengenai cemoohan dan perkataan-perkataan buruk oleh masyarakat. Dia menghendaki bahwa cemoohan itu perlu diamini. Tentang Regina, sang cinta, dia tetap memperhatikan dengan penuh cinta dari kejauhan.

Kisah Musashi dalam fiksi dan kisah SK dalam dunia nyata menunjukkan bahwa cinta memang suatu yang tidak pasti. Kegelisahan merupakan suatu yang tidak dapat dipisahkan dari cinta. Keberadaannya memberikan suatu tarik-ulur antara memiliki dan menjauhi atas nama cinta. Menjauh tidak berarti meninggalkan secara mutlak. Tetapi, menjauh demi memberikan tempat tersendiri kepada cinta. Bila Musashi gelisah karena adanya obsesi jalan pedang, SK gelisah karena suatu perasaan inferior atas pengalaman hidup yang seakan-akan penuh dengan dosa. Akan tetapi, keduanya memberikan jalan tersendiri kepada cinta.

Ending keduanya memang benar-benar eksotis. Musashi dan SK pada akhirnya menyerah kepada cinta. Musashi sebelum menghadapi pertempuran dengan lawannya yang paling tangguh, tidak kuasa dengan perasaan cintanya. Dalam hitungan detik, dia pada akhirnya menikahi Otsu secara simbolik, hanya melalui lisan, bukan resepsi pernikahan besar-besaran. Setelah pertempuran selesai dan dialah pemenang, tidak ada kabar tentangnya, begitu juga dengan kisah cinta keduanya. Mungkin bisa jadi, dia tetap menempuh jalan pedang, atau mungkin mempersatukan asmara dengan sang cinta.

Akhir cinta SK mungkin akan terkesan fiktif. Regina pada akhirnya menikah dengan laki-laki lain, sedangkan SK tetap pada pendirian menjalani hidup seorang diri dengan tetap mencintai Regina walaupun tidak bersama. Pada 2 Oktober 1855, saat pulang ke rumah, SK terjatuh dalam perjalanan. Dia pun dirawat di rumah sakit. Kepada sahabatnya, Emil Boesen, SK menyempatkan untuk menyatakan cintanya kepada Regina Olsen bahwa cintanya tidak perlu diragukan. Mengenai penyakitnya, dia juga menyampaikan adalah suatu pelunasan akan kegelisahan. Banyak penderitaan yang telah dilalui. Namun, semuanya telah memberikan kehidupan intensif dan berusaha tetap mengabadikan cinta. Saat 11 November 1855, SK berserah dihadapan sang maut dengan tetap teguh mempertahankan cinta, walaupun Regina Olsen tidak sempat tahu perasaan cinta SK yang sangat dalam.

Anda boleh berkomentar seperti, “Seharusnya Musashi tidak boleh egois tentang jalan pedang dan menelantarkan Otsu lah! Ih…, dasar manusia egois!” atau “Dasar SK manusia pesimis! Ngomong donk sama Regina! Jangan takut! Tuh…akibat terlalu melankolis! Apa nggak kasihan sama Regina?! Jangan menyiksa diri sendiri ya…!” Tetapi tunggu dulu! Kita di sini berbicara tentang cinta. Rasional bisa menjadi irasional, bahkan sebaliknya. Cinta tidak harus seromantis akronim teman saya itu (Henny Hermawati) yang penuh ritmis. Kendala yang besar mungkin akan dihadapi cinta bila bertemu dengan filosofi kehidupan yang lain. Kiranya cinta sama dengan manusia, yang selalu bersitegang dengan manusia yang lainnya. Tidak ada suatu alur mulus, yang pasti ada padang tandus.

Saya ingin memberikan usul kepada teman saya yang mengakronimkan cinta. Usul saya, T tidak harus kependekan dari Takut bila kehilangan, namun juga Takut bila hidup bersama. Keduanya memang tidak dapat disimpulkan secara mutlak. Bisa jadi, keduanya telah menjadi satu-kesatuan, di satu sisi tidak ingin kehilangan, di sisi lain takut bila menjadi satu-kesatuan. Hal itu disebabkan kebutuhan akan eros (cinta seksual) berbenturan dengan obsesi kehidupan yang penuh filosofis. Kasus Musashi dan SK adalah suatu bukti. Cinta tidak selamanya takut kehilangan, namun juga takut memiliki. Bisa jadi hal itu dikarenakan obsesi seperti Musashi, juga bisa jadi karena terjangkit inferior diri yang cukup tinggi seperti SK. Saya tidak bermaksud menolak secara mutlak akronim CINTA. Namun, saya hanya memberikan usulan terhadap ketidakpastian mengenai cinta. Saya memang sangaja menggunakan kisah cinta dari dunia yang berbeda (fiksi dan fakta) untuk membuktikan bahwa dalam hal cinta keduanya bisa jadi sama. Hal itu sama seperti tidak ada rasional ataupun irasional, begitu juga fiksi dan fakta dalam cinta.

Saya akan memproklamasikan bahwa semua orang bisa berbicara apa saja tentang cinta karena cinta juga bisa menjelma dalam rupa yang berbeda bagi setiap manusia! Bagaimana menurut Anda tentang cinta?

Surabaya, 9-10 September 2008





Baca Selanjutnya

Sabtu, 24 Mei 2008

TENTANG BUDAYA KITA

EKSTASI BUDAYA MINIMALIS: DARI TIPISNYA MASKULIN-FEMININ SAMPAI MATINYA KEGELISAHAN SANG PENCIPTA*

Oleh: Heru Susanto


”Percayalah padaku: rahasia untuk memetik buah paling besar dan kenikmatan tertinggi dari manusia adalah hidup yang berbahaya (gefahrlichleben)”
~Nietzsche~

Realita Budaya

Segala kebutuhan manusia seakan-akan sudah terpenuhi dalam kehidupan ini. Hasrat untuk memiliki berbagai kebutuhan yang sering menjadikan manusia larut dalam kenikmatan-kenikmatan dunia dapat diakses secara cepat tanpa membuang waktu dan gerak. Semua serba instan. Manusia tidak harus mengeluarkan keringat untuk membeli ini dan itu. Seakan-akan kebutuhan manusia sudah dikemas dalam beberapa tombol. Untuk memenuhi kebutuhan biologis, seperti makan, manusia tidak harus pergi ke dapur menyalakan kompor. Aktivitas tersebut sudah dijauhi dalam budaya yang sekarang mulai berkembang. Manusia tinggal menekan beberapa tombol untuk menghubungi beberapa rumah makan atau telah membeli masakan siap saji dari mall. Yang dibutuhkan manusia adalah meminimalisasi berbagai kegiatan, waktu, dan untuk menempuh itu semua yang diperlukan adalah kecepatan.
Penampilan manusia juga dapat diakses secara cepat. Beberapa jenis model pakaian terkini, aksesoris tubuh, produk kecantikan, jenis pembalut yang berkualitas, model ponsel, mobil terkini dapat ditemukan dalam layar televisi. Semua produk diiklankan setiap hari yang hampir memenuhi setiap acara yang ditayangkan di televisi. Arus periklanan yang sangat deras memosisikan manusia pada penjara produk-produk yang seakan-akan manusia harus mengonsumsinya dan itu merupakan pilihan yang harus dipilihnya.
Gelombang produk yang ditawarkan dalam layar telivisi tampaknya memiliki nuansa untuk meleburkan kebutuhan oposisi biner antara perempuan dan laki-laki. Salah satu usaha tersebut dapat diidentifikasi dengan adanya iklan-iklan yang membahas penampilan laki-laki yang tidak hanya diperentukkan pada perempuan. Laki-laki juga harus mementingkan kecantikan tubuh, seperti yang diiklankan beberapa parfum laki-laki dan perawatan kulit laki-laki. Hal itu secara tidak langsung menekankan pandangan tidak hanya perempuan yang harus memperhatikan kecantikan tubuhnya, laki-laki pun harus berpenampilan seseksi mungkin. Konsekuensi pergeseran pandangan ini memunculkan makhluk yang disebut metroseksual.
Untuk berhubungan dengan manusia lain, pertemuan secara langsung, seperti halnya menghadiri pertemuan, silaturohmi, dan bahkan janjian kencan dengan kekasih, tidak harus manusia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Manusia tinggal duduk dalam ruang dan menghadap layar komputer untuk melakukan hubungan dengan manusia lain. Semua sudah terpenuhi dalam ruang yang tidak memakan banyak waktu, tempat, dan memiliki kecepatan yang seakan-akan menjanjikan.
Hasrat seks dalam budaya semacam ini juga dapat dipenuhi secepat mungkin. Penyaluran seks dapat pula dipenuhi dengan melakukan hubungan intim dalam dunia maya. Layanan internet telah memfasilitasi berbagai situs porno yang dapat diakses secepat mungkin oleh konsumen. Manusia juga dapat pula aktif memenuhi hasrat seks mereka dengan berkencan dengan manusia lain melalui internet, sms, dan komunikasi melalui telepon. Model-model baru untuk memenuhi kebutuhan seks jarak jauh ini disebut sebagai teledildonik, yakni kegiatan seksual lewat jaringan komputer (Piliang, 2006:157). Aktivitas seks seperti ini merupakan aktivitas yang dilakukan dengan bantuan bahasa-bahasa porno. Hasrat seks manusia dalam hal ini dituangkan dalam bahasa-bahasa yang dapat membangkitkan libido. Bahasa dieksploitasi secara ekstrim untuk memunculkan nuansa gairah libido. Kondisi seperti itu menstimulus adanya dorongan nafsu seks mereka.
Kebudayaan seperti ini sangat didukung dengan seperangkat teknologi yang semakin berkembang. Beberapa produk digital sekarang sudah difasilitasi dengan kamera yang mampu merekam segala aktivitas manusia dan mampu memperpendek jarak yang dibutuhkan manusia untuk bertatap muka. Produk digital tersebut mendapat respon yang sangat kuat dari masyarakat. Semuanya memiliki hasrat untuk memiliki. Dalam hal ini, manusia larut pada objek. Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri, banyak video porno yang bermunculan dari versi profesional sampai versi amatir. Yang paling disayangkan ialah virus video porno menyerang dunia pelajar.
Dalam wilayah lokal, pengaruh produk digital, khususnya ponsel yang semakin canggih, merupakan alat untuk menyalurkan hasrat seksual manusia. Kasus video porno amatir yang dibintangi beberapa pelajar dan berdurasi singkat merupakan salah satu produk dari teknologi yang berorientasi pada kecepatan dan peleburan batas ruang dan waktu.
Budaya-budaya yang berkembang saat ini merupakan pengaruh dari budaya kapitalis. Seperti yang dikatakan Piliang (2006:141), dunia yang dilingkupi oleh energi libido, yang lalu-lintasnya adalah lalu-lintas kesenangan, yang pertukaran ekonomi dan sosialnya adalah pertukaran hawa nafsu, dan paradigma perkembangannya adalah paradigma kecepatan, merupakan dunia ekonomi dan budaya global. Budaya kapitalis inilah yang menyebabkan segala aspek ruang dan waktu dalam dunia yang dihuni manusia seakan-akan diperkecil, namun memiliki hasrat mengonsumsi yang cukup tinggi.
Banyak manusia yang larut dalam perputaran barang yang diproduksi budaya tersebut. Ketika manusia larut dalam objek-objek hasil produksi, manusia telah kehilangan kesadaran atas dirinya. Semuanya dikendalikan oleh objek, bukan objek yang dikendalikan oleh manusia. Kondisi seperti inilah yang menjadikan tipis jarak antara subjek dan objek. Subjek tidak lagi menjadi pusat yang menggerakkan, namun justru subjek digerakkan oleh objek untuk melakukan setiap kegiatan.
Munculnya figur Tukul Arwana dalam acara hiburan di stasiun televisi swasta merupakan salah satu bentuk produk kapitalis yang meraih keuntungan besar berdasarkan jumlah pengonsumsi tertinggi. Dengan adanya acara tersebut, manusia dijadwal oleh sosok Tukul yang muncul di layar televisi. Setiap hari manusia akan meluangkan waktunya untuk menonton acara tersebut sampai malam hari. Bila acara itu terlewatkan, seakan-akan mereka kehilangan aktivitas keseharian yang berharga. Kondisi seperti ini oleh Piliang (2006:207) disebut sebagai menjelmanya media menjadi pusat gravitasi. Setiap manusia yang menempatkan pandangannya pada titik gravitasi tersebut, mereka akan tersedot oleh kekuatan gravitasi. Dalam kondisi seperti itu, manusia akan larut dalam kenikmatan yang ditimbulkan oleh salah satu produk kapitalis. Saat itu pula, manusia telah melayang dalam dunia kenikmatan-kenikmatan yang seakan-akan tanpa batas.
Kebutuhan penampilan, seks, hiburan, gaya hidup merupakan kebutuhan yang seakan-akan harus dipuaskan dalam waktu secepat mungkin. Oleh sebab itu, manusia akan mengejar berbagai informasi yang mereka anggap layak untuk dikonsumsi tanpa ada pertimbangan dari berbagai sisi mengenai manfaat yang akan dimiliki. Terperosoknya manusia pada paradigma dan gaya hidup seperti itu akan menggeser kebutuhan spiritual yang merupakan aspek kehidupan yang justru harus dipenuhi.
Nuansa perfilman Indonesia yang sering ditayangkan di televisi saat ini justru merupakan legitimasi dari bentuk ekonomi dan budaya kapitalis yang menggeser spiritualitas budaya manusia terhadap agamanya. Film-film remaja yang sering mengambil latar di lingkungan pendidikan justru menjauhkan aspek pendidikan. Beberapa bintang film yang masih remaja merupakan aktor yang paling dibutuhkan dalam produksi film untuk memerankan sebagai pelajar. Aktor remaja tersebut sering memerankan pelajar dengan gaya gaul yang penuh aksesoris tubuh. Dengan ditampilkannya peran tersebut, secara halus film tersebut menyebarkan gaya terkini yang harus diikuti oleh para remaja. Tayangan seperti itu sebenarnya justru menjauhkan manusia dari realita. Pelajar berpenampilan seksi (rok mini dan baju mini), memegang ponsel terkini, dan tidak jarang, pelajar bersekolah dengan mobil mewah merupakan gambaran yang sering ditayangkan dalam perfilman remaja Indonesia.

Ekstasi-Ekstasi dan Tipisnya Batasan Maskulin-Feminin

Dalam pertempuran untuk mengatasi dirinya, sering manusia larut dalam ekstasi-ekstasi yang menyebabkan dirinya tak terkendali. Piliang (2006:106) menegaskan ekstasi merupakan suatu keadaan mental dan spiritual yang mencapai titik puncaknya, ketika jiwa secara tiba-tiba naik ke tingkat pengalaman yang jauh lebih dalam dibandingkan kesadaran sehari-hari. Ketika itu, muncul semacam puncak kemampuan diri dan kebahagiaan yang luar biasa serta trance yang kemudian diiringi oleh pencerahan. Ekstasi yang disebutkan di atas merupakan ekstasi yang mengarah pada dunia mistis ketuhanan. Hal itu disebabkan dalam kondisi yang melampaui kesadaran ada suatu titik pencerahan. Kondisi seperti ini dapat dicapai untuk mendekatkan diri dengan tuhan, seperti yang dilakukan oleh meditasi Bodhidharma, pengikut tasawuf, aliran kejawen, dan meditasi lainnya yang berusaha mendekatkan diri pada sang pencipta.
Akan tetapi, ekstasi yang sekarang dialami manusia justru sebaliknya. Manusia telah lepas kesadarannya dan larut dalam ekstasi-ekstasi yang dibentuk dari luar dirinya. Manusia justru semakin jauh dari sang pencipta. Larutnya manusia dalam ekstasi-ekstasi ini merupakan konsekuensi logis dari adanya budaya kapitalis yang berusaha membentuk manusia menjadi manusia konsumen. Keadaan seperti ini dapat dilihat dari meningkatnya manusia yang lebih mementingkan kecantikan daripada pemikiran. Manusia yang larut dalam dunia kecantikan akan selalu mengejar informasi dunia perawatan tubuh dan rela menghabiskan uang demi keanggunan, keindahan, dan keseksian tubuh.
Kecantikan kini merupakan bisnis berprofit tinggi bagi industri kecantikan dan tubuh dijadikan sebagai lahan komoditi yang bernilai jual tinggi (Adlin dan Kurniasih, 2006:234). Dalam hal ini, lahan yang paling berharga bagi kapitalis adalah tubuh. Tubuh digunakan untuk menjadikan lahan sebagai pemerkaya keuntungan. Segala perawatan tubuh diciptakan demi memperbanyak konsumen yang terjerat oleh slogan-slogan perawatan tubuh. Akibat dari kondisi seperti ini ialah banyak manusia-manusia yang berlomba-lomba ingin mempercantik tubuhnya dengan berbondong-bondong ke salon, ke mall-mall belanja pakaian, pijat kecantikan, dan perawatan tubuh lainnya.
Standar kecantikan yang dikejar-kejar manusia pada dasarnya tidak menentu. Orang mengejar-ngejar berbagai produk kecantikan untuk menjadikan dia cantik dalam standar yang justru bukan orang tersebut yang menentukannya. Semua dikendalikan oleh media massa yang telah dijadikan media kampanye oleh kapitalis. Standar kecantikan yang dikejar-kejar manusia tidak lain adalah strategi pemasaran untuk menciptakan manusia-manusia konsumen. Kulit putih, rambut hitam dan lurus, aroma tubuh wangi, tubuh seksi yang dimodelkan di iklan-iklan media massa dijadikan standar manusia untuk keidealan tubuh.
Budaya saat ini tampaknya tidak hanya membidik dunia perempuan untuk masalah kecantikan dan tidak hanya menjadikan perempuan sebagai konsumen. Dunia laki-laki saat ini juga dijadikan lahan untuk membentuk hasrat mengenai tubuh. Banyak beberapa pemikir ketika membahas mengenai politik tubuh sering merujuk pada tubuh perempuan. Pada hal, budaya sekarang secara tidak langsung mulai mengikis oposisi biner antara laki-laki dan perempuan. Tidak hanya perempuan yang harus cantik, laki-laki pun harus tampil secantik mungkin. Inilah yang sering dilewatkan oleh para pengkaji budaya maupun filsafat yang membahas mengenai hasrat untuk saat ini.
Budaya telah bergeser. Kapitalis telah melebarkan sayapnya untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, hingga kepentingan perawatan tubuh menjadi kebutuhan laki-laki yang seakan-akan tidak boleh dilupakan.
Hal itu dapat dicermati dalam media massa yang merupakan alat kampanye kapitalis. Dalam berbagai media massa, khususnya televisi, iklan mengenai perawatan tubuh saat ini juga dikhususkan untuk laki-laki. Gagasan-gagasan yang terdapat dalam iklan menganjurkan bahwa laki-laki harus sadar akan keindahan tubuhnya. Pewangi tubuh, perawat rambut, alat memperindah tubuh, dan bahkan laki-laki pun menjadi bintang iklan pewangi tubuh sebagai cheerleaders. Tim penyemangat dalam perlombaan biasanya dilakukan oleh perempuan, tetapi budaya sekarang tampaknya ingin menggeser kebiasan itu dengan menampilkan laki-laki dalam iklan pewangi tubuh di televisi. Mereka didandani layaknya perempuan yang mampu memberikan semangat pada pemain olah raga. Dengan penampilannya yang dipermanis, gambaran iklan tersebut menggeser pemikiran dari perempuan yang mampu menggairahkan berganti menjadi laki-laki yang menggairahkan. Tubuh laki-laki juga mampu menggairahkan bagi orang lain. Oleh sebab itu, laki-laki dianjurkan untuk memperhatikan kemanisan tubuhnya. Sekali lagi, iklan tersebut pada dasarnya ingin memropaganda kaum laki-laki untuk mempercantik diri. Hanya perempuan yang harus tampil cantik, sedangkan laki-laki harus bertubuh kekar, kuat, dan gagah adalah pemikiran yang akan digeser.
Melebarnya kampanye perawatan tubuh yang dilakukan kapitalis membentuk manusia misterius, yakni laki-laki metroseksual. Istilah laki-laki metroseksual dimunculkan kali pertama oleh Mark Simpson. Karakteristik laki-laki metroseksual ialah masih muda dengan banyak uang untuk dihabiskan, bisa untuk hidup atau dengan mudah mengunjungi kota-kota metropolitan, dan yang tidak ketinggalan bahwa mereka sangat tertarik dengan produk-produk perawatan pria, sehingga mereka selalu berpenampilan manis (Flocker, 2005:xv-xvi).
Michael Flocker pada dasarnya merupakan penulis yang dapat dikategorikan sebagai pengemban tugas untuk memopulerkan jenis manusia misterius ini. Dengan buku The Metrosexual Guide to Style: A Hand Book for the Modern Man yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tahun 2005, Flocker memperkenalkan bagaimana untuk menjadi laki-laki metroseksual. Buku tersebut merupakan buku panduan menjadi laki-laki metroseksual dan merupakan buku yang berpredikat international bestseller.
Pengonsumsi produk kecantikan tidak hanya perempuan, tetapi laki-laki pun juga dibentuk menjadi konsumen. Kampanye ini pada dasarnya ingin menarik laki-laki lebih memperhatikan tubuh. Tidak hanya gay, waria, atau biseksual saja yang memperhatikan perawatan tubuh agar kelihatan manis, tetapi laki-laki normal pun juga harus memperhatikan penampilan. Pengaruh kapitalis secara tidak langsung akan menipiskan kebutuhan oposisi biner, yakni maskulin-feminin. Maskulin tidak lagi berpenampilan gagah yang bertubuh kekar, tetapi sosok manusia yang bertubuh seksi dan manis.
Saat laki-laki sudah terserang penyakit ingin mempercantik diri, laki-laki akan menjadi manusia konsumsi. Mereka akan berpikir tentang tubuhnya dan penampilannya. Dalam kondisi seperti ini, kesadaran akan larut dalam hasrat untuk memperhatikan tubuh. Berbagai perawatan tubuh dan model pakaian terkini akan diikutinya. Berganti-ganti penampilan agar tampak tampil terkini merupakan hasrat yang akan muncul pada laki-laki metroseksual. Secara tidak sadar, dirinya tidak lagi dapat mengontrol kebutuhan, tetapi berbagai perawatan tubuh dan model pakaianlah yang telah mengontrol kebutuhannya.
Adanya kampanye-kampanye seperti itu menarik manusia pada ekstasi-ekstasi yang menyebabkan mereka menjadi manusia-manusia konsumen dan terperosok pada politik tubuh. Yang disebutkan di sini hanya sebagian dari potensi-potensi ekstasi. Mereka dibentuk menjadi manusia yang seakan-akan terkondisi oleh produk-produk kapitalis. Dalam kondisi seperti ini, manusia akan mengalami ketidaksadaran terhadap dirinya sendiri. Semua kebutuhan akan disingkirkan oleh hasrat konsumen. Baik dan buruk bagi dirinya tidak lagi dihiraukan. Mereka telah melayang-layang dalam realita semu. Yang ada hanya nafsu keindahan semu yang menempatkannya pada surga yang seakan-akan tanpa batas. Kondisi inilah yang menurut Piliang (2006:108) disebut sebagai dunia ekstasi yang diatur oleh hukum serba terbalik, yang amoral adalah yang membanggakan, yang ilusif adalah kebenaran, yang rahasia adalah selubung penutup. Manusia telah menemukan dunianya sendiri, yakni dunia kebenaran semu yang telah memfasilitasi segala hasrat yang diinginkan mereka.
Manusia melepaskan diri dari dunia realita. Mereka lebih nyaman dalam dunia baru itu yang menyebabkan dirinya tenang dari kegelisahan-kegelisahan yang selama ini dialaminya. Namun, dunia baru itu secara perlahan-lahan akan menjerumuskan pada kegelisahan selanjutnya yang justru menyebabkan mereka terperosok pada pemalsuan eksistensi dirinya. Mereka telah kehilangan kesadaran diri. Budaya yang di luar dirinya justru berperan dalam menentukan keberadaannya. Secara tidak langsung, manusia tidak lagi menguasai dirinya. Manusia telah terperangkap oleh sesuatu yang di luar dirinya. Hartono (2007:54) menegaskan terperangkapnya individu pada dunia eksterior (luar dirinya) dan diabaikannya dunia interior (dalam dirinya) sebagai penentu kesadaran adalah bukti dehumanisasi, dan alienasi (keterasingan). Hal itu disebabkan pembentukan kesadaran manusia dipercayakan kepada dimensi di luar dirinya, yaitu dunia kultur sosial yang berhukum serba terbalik.


Budaya Minimalis telah Membentuk Manusia

Larutnya manusia terhadap ekstasi-ekstasi budaya di luar dirinya menyebabkan manusia tidak lagi mampu mengendalikan dirinya sendiri. Kesadaran tidak lagi direnungkan. Ketertarikan segala sesuatu yang dilihat membentuknya menjadi manusia konsumen. Dalam kondisi seperti ini, manusia tidak lagi berpikir secara mendalam. Menguntungkan atau tidak menguntungkan bukan menjadi bahan yang perlu dipikirkan. Kenyataan seperti ini disebut sebagai kondisi minimalisme. Istilah minimalis dan minimalisme oleh Christopher Lasch (Piliang, 2006:13) digunakan untuk merujuk kondisi psikis individu yang memiliki hasrat yang kuat untut tetap survive dan eksis di dalam dunia kehidupan, yaitu mendapatkan kedudukan, status dan pengakuan sosial, meskipun mengetahui kondisi diri dan lingkungan tidak mendukung, sehingga memerangkapnya dalam kondisi minimalitas keterampilan, perspektif, dan pandangan. Istilah yang digunakan Cristopher Lash tersebut lebih mengarah pada fenomena kondisi psikis manusia. Istilah minimalisme dalam hal ini digunakan untuk merujuk kondisi manusia yang masih luas.
Minimalisme digunakan secara khusus oleh posmodernisme untuk menjelaskan kondisi manusia posmodern. Posmodernisme itu sendiri merupakan kritik terhadap modernisme. Posmodernisme menyatakan bahwa modernisme tidak lagi mampu menempatkan kondisi manusia pada kehidupan yang menyejahterakan. Dalam masa moderisme, dunia justru mengalami berbagai kerusakan dan keterbatasan pemikiran. Modernisme berambisi menyeret pemikiran manusia ke arah logosentrisme (kebenaran tunggal). Jadi, bila pemikiran sudah dikatakan benar, kebenaran tersebut harus diakui secara universal. Itulah satu-satunya kebenaran, tidak perlu dihadirkan kebenaran yang lain.
Dari kondisi seperti itulah, posmodernisme mengeluarkan kritik-kritik yang mendalam terhadap konsep modernisme. Pemikiran posmodernisme ini dipengaruhi oleh seorang filosof kelahiran Jerman yang pemikirannya membuat manusia gelisah, yaitu Friedrich Wilhelm Nietzsche. Ciri mendasar posmodernisme ada dua, yakni (1) pembunuhan terhadap logos (kebenaran tunggal) dan perayaan keberjamakan atau pluralitas, dan (2) penolakan terhadap pemujaan rasio yang diagung-agungkan Descartes (lihat Hartono, 2007:57).
Setelah melihat gambaran modernisme dan posmodernisme secara sekilas, bahasan kita fokuskan kembali pada minimalisme dalam pandangan posmodernisme. Minimalisme digunakan secara khusus untuk menjelaskan kondisi manusia posmodern yang berada dalam kondisi minimalis. Manusia seperti ini dibangun oleh fondasi, determinasi, kepastian, keberaturan, dan ketetapan yang minimal. Manusia ini tidak memiliki kepastian pengetahuan tentang benar-salah, baik-buruk, dan sebagainya (Piliang, 2006:13). Dalam kondisi budaya saat ini, minimalislah yang paling mendominasi. Manusia telah larut dalam perputaran ruang, waktu, dan percepatan. Manusia menginginkan sesuatu yang instan untuk mengatasi ruang dan waktu. Dengan kondisi seperti ini, kecepatanlah yang dijadikan “tuhan” bagi manusia-manusia minimalis. Manusia lebih dikontrol oleh televisi, ponsel, internet, komputer, dan berbagai produk kapitalis yang lain. Manusia tidak lagi mengondisikan berbagai produk di luar dirinya, melainkan manusia telah dikondisikan oleh produk. Ketika manusia mengagung-agungkan kondisi seperti itu, budaya baru telah terbentuk, yakni budaya minimalis. Dalam budaya minimalis, tidak hanya ruang dan waktu yang menjadi sempit, tetapi nurani dan pemikiran mulai dangkal.
Dalam budaya minimalis, manusia memiliki ciri-ciri yang dapat dikategorikan menjadi tiga, yakni manusia ironis (homo ironia), manusia skizofrenik, dan manusia fatalis (homo fatalis). Manusia ironi berpendapat baik dan buruk, benar dan salah, semata deskripsi kontingen dari kelompok tertentu, di tempat tertentu, dan waktu tertentu. Manusia ironi menempatkan berbagai norma dalam tempat tertentu. Dalam kondisi A, dia menggunakan kebenaran A. Dalam kondisi B, dia menggunakan kebenaran B. Keyakinan tidak lagi dijadikan panutan. Keyakinan yang ada hanya ketidakkonsistenan. Manusia-manusia seperti itu dapat digolongkan menjadi manusia yang suka kepalsuan. Mereka selalu menggunakan ”topeng”. ”Aktor” yang hebat ialah manusia ironi. Manusia ironi mengetahui secara rasional tindakannya akan membawakan pada tragedi. Akan tetapi, demi hasrat untuk tetap survive, ia mencampakkan rasionalitas itu dan menggantinya dengan berbagai kemasan ilusi, pretensi, kebohongan, dan mitos-mitos dirinya (Piliang, 2006:14). Demi menjaga eksistensinya, manusia ironi rela menghabiskan segala yang ia miliki. Semuanya demi memenuhi kebutuhan hasrat kepuasan. Gambaran ironi dapat merujuk pada kondisi seseorang yang larut dalam dunia maya (catting), waktunya dihabiskan di depan layar komputer. Dalam keadaan ini, ia melewatkan segalanya demi kepuasan dan kenikmatan yang sebenarnya juga bersifat maya atau ilusif. Hasrat seks pun juga dilakukan dalam dunia maya. Ketika manusia telah masuk dalam kondisi seperti ini, ia pun telah melewati kesadarannya hingga memasuki kondisi ekstasi.
Manusia skizofrenik ialah manusia yang ingin lepas dari segala sesuatu yang mengungkung dirinya atau yang menyebabkan dirinya tidak bebas dalam segala hal. Menurut Gilles Deleuze dan Felix Guattari (Piliang, 2006:14-15), skizofrenia merupakan sebuah gerakan pembebasan diri dari berbagai aturan keluarga, masyarakat, negara, bahkan agama, dalam rangka mengakui dan melepaskan segala dorongan purba manusia, dengan melampaui ego. Kebebasan yang absolut merupakan konsep dari manusia skizofrenik. Mereka tidak ingin terikat pada satu aturan yang menyebabkannya tidak bebas. Pemutar-balikan kode dalam suatu masyarakat merupakan ambisinya. Segala jenis aturan diterimanya. Yang paling dipentingkan adalah perpindahan dari aturan satu ke aturan lainnya. Tidak ada kekonsistenan dalam skizofrenik. Semuanya bebas. Tidak ada pemaksaan dalam sebuah pemikiran atau kepercayaan. Piliang (2006:15) menyebutnya manusia tanpa ego. Maksudnya ialah manusia yang tidak menolak, membatasi atau melarang apa pun, sehingga yang ada hanya kebabasan tanpa batas.
Bila dilihat dalam gambaran yang serba kapitalis, manusia skizofrenik merupakan manusia-manusia yang sering berganti gaya. Produk-produk terbaru akan dikonsumsi untuk menggantikan citra bagi dirinya yang menurutnya sesuai dengan arus zaman. Manusia seperti ini tidak dapat menentukan makna hidupnya dengan bereksistensi pada sesuatu yang pasti. Identitas diri dalam hal ini tidak lagi dibutuhkan. Identitas begitu cepat berganti. Hal itu disebabkan ada sesuatu di luar dirinya yang membangkitkan nafsu mengonsumsi yang sangat liar. Dick Hebdige (Piliang, 2003:151) mengemukakan tentang konsumen ”... konsumen skizofrenik yang terdisintegrasi ke dalam rangkaian kesesatan-kesesatan (instant) yang tak mampu mereka cerna, yang terperangkap ke dalam keberadaan di mana-mana dan seketika citraan dan informasi yang dikomodifikasi, dan hidup selama dan hidup selamanya di dalam chronos (ini-lalu-ini-lalu-ini-lalu-), tanpa pernah mampu menemukan jalan menuju tempat suci kairos (kehidupan siklus, mistis, dan bermakna)”.
Manusia fatalis ialah manusia yang terserap ke dalam logika objek (logika TV, fashion, komoditi, gaya hidup), yang tidak dapat melepaskan diri darinya, dan di dalamnya ia menjadi mayoritas yang diam, yang tak mampu melakukan kritik dan refleksi, dan –seperti sebuah busa spons—hanya dapat menyerap segala sesuatu, tanpa mampu menginternalisasikannya (Piliang, 2006:15). Manusia fatalis hanya bersifat reseptif. Mereka hanya mengonsumsi segala sesuatu yang ia tangkap melalui indra tanpa mempertimbangkan secara mendalam. Kehidupan yang dialami manusia fatalis berada dalam citraan-citraan yang dianggap sebagai dunia realita. Mereka terjebak dalam dunia layar yang setiap saat mereka kunjungi.
Manusia fatalis juga disebut sebagai manusia layar. Menurut Piliang, manusia layar (the screen man) ialah manusia yang sebagian ruang dan waktunya dihabiskan di depan layar (televisi, komputer, video, ponsel, film, ATM) dan terserap dalam logika layar, sehingga tidak mampu lagi membedakan antara dunia di dalam layar dengan dunia di luar layar (reality). Mereka menikmati petualangan dalam dunia layar, sehingga dunia layar tersebut merupakan kebenaran realita yang telah dipilihnya. Mereka terlalu nyaman dalam dunia tersebut. Dunia realita yang sebenarnya justru diabaikan oleh manusia fatalis.
Kondisi manusia fatalis merupakan kondisi yang serba fatal. Segala bentuk informasi yang diberikan oleh media massa, diserap begitu saja tanpa ada proses pemahaman lebih dalam. Kekritisan dalam berpikir telah larut dalam informasi-informasi yang belum tentu kebenarannya. Yang terpenting dalam dunia fatalis ialah kepuasan. Kepuasan untuk bergaya, kepuasan makan, kepuasan belanja di mall, kepuasan berias di salon, kepuasan main game, kepuasan seks maya (sciena sexualis) merupakan kepuasan yang dikejar-kejar dan seakan-akan mengejar aksistensi tuhan.
Dunia virtual juga merupakan dunia tempat manusia fatalis bereksistensi. Rheingold (Piliang, 2006:124) mengungkapkan bahwa orang-orang di dalam komunitas virtual menggunakan kata-kata dalam layar untuk saling bersenda gurau dan berdebat, terlibat dalam wacana intelektual, malakukan perdagangan, saling tukar pengetahuan, saling membagi dukungan emosional, membuat perencanaan, saling sumbang gagasan, gosip, rayuan, menciptakan karya seni, percakapan yang tak ada juntrungannya. Akan tetapi, kehidupan manusia fatalis di dalam dunia virtual lebih mengarah pada kegiatan yang tidak ada juntrungannya. Mereka cenderung larut dalam internet. Membincangkan gosip, berbincang dengan bahasa yang dapat menggairahkan libido, merupakan gaya yang lebih dekat dengan eksistensi manusia fatalis. Yang paling nyata dan hal itu semakin menjamur ialah larutnya manusia pada layar ponsel. Dari anak-anak, remaja, sampai orang tua, semuanya cenderung tidak pernah lepas dari layar ponsel. Kondisi seperti itu khususnya dialami oleh remaja. Mereka setiap hari larut dalam layar ponsel. Waktu untuk membaca buku dan menulis telah dialokasikan pada layar ponsel. Mereka terperangkap oleh hegemoni layar ponsel, yang secara tidak langsung terhegemoni oleh sistem kapitalis.
Dalam kondisi seperti ini, masalah finansial pelajar dan juga mahasiswa yang sebenarnya dapat digunakan untuk menunjang wawasan intelektual berubah menjadi energi untuk beraksi dalam dunia layar ponsel. Membaca buku kini beralis membaca sms. Menulis karangan ilmiah, artikel, esai, puisi, cerpen, atau novel telah beralih menjadi menulis sms yang tidak jelas tujuannya. Kondisi seperti ini merupakan kondisi keproduktivitasan yang fatal. Pemanfaatan fasilitas telekomunikasi kini berubah menjadi tempat untuk ”bunuh diri”. Dunia virtual kini tidak dapat mereka kendalikan, justru mereka telah dikendalikan oleh dunia virtual itu sendiri. Gambaran seperti ini merupakan gambaran untuk memperjelas sosok manusia fatalis.
Ketiga jenis manusia (ironis, skizofrenik, fatalis) merupakan bentukan budaya minimalis. Ketika manusia telah terseret dalam kenikmatan-kenikmatan televisi, game, ponsel, internet, shopping, life style dan sebagainya, mereka telah terperangkap dalam ekstasi-ekstasi budaya minimalis, sehingga mereka menganggap bahwa dunia maya tersebut merupakan dunia penuh dengan kenikmatan dan mereka telah menjauhi dunia realita. Saat itu pula, manusia akan sulit mengendalikan diri, ketika mereka telah terseret dalam budaya tersebut. Kesadaran dan rasionalitas telah lepas dari pemikiran manusia. Yang ada hanya pelepasan hawa nafsu secara liar. Semua dikemas secara cepat dan padat.

Matinya Kegelisahan Sang Pencipta

Saat budaya minimalis menyerang berbagai sudut kehidupan manusia, budaya berpikir kritis dan kreatif manusia mulai terancam. Bila manusia telah terseret dan tenggelam dalam budaya minimalis, kegelisahan manusia untuk menjadi sang pencipta telah larut pula dalam ekstasi-ekstasi menyesatkan. Yang ada hanya kegelisahan-kegelisahan yang justru dapat mematikan eksistensi manusia. Tidak ada penderitaan. Yang tersisa hanyalah kegelisahan-kegelisahan terhadap kenikmatan semu. Mereka justru lari dari penderitaan dan mereka justru mengejar kenikmatan yang pada dasarnya akan menjerumuskan pada kehilangan makna hidupnya.
Larinya manusia dari penderitaan dan berusaha mengejar kenikmatan yang semu akan mematikan eksistensi manusia yang menurut Nietzsche sebagai sang pencipta. Nietzsche (Hassan, 2005) mengatakan “kreasi—itulah pelunasan terhadap penderitaan dan cahaya yang kian terang dalam kehidupan. Namun, untuk menjadi pencipta diperlukan penderitaan dan banyak perubahan. Bagitulah kalian harus banyak kali menjalani kematian yang pahit dalam hidup kalian, hai pencipta.” Keinginan Nietzsche untuk menggugah manusia menjadi pencipta akan sia-sia jika manusia itu sendiri telah takut dengan penderitaan-penderitaan dan lari pada kenikmatan-kenikmatan yang pada dasarnya semu. Penderitaan yang dikatakan Nietzsche dapat ditempatkan pada budaya saat ini, sebagai perlawanan dari kondisi yang melarutkan manusia dari kenikmatan-kenikmatan semu. Untuk melawan kondisi seperti itu, manusia harus berani menghadapi kegelisahan terhadap budaya minimalis. Ketika manusia gelisah melihat kondisi yang dapat menenggelamkan manusia sebagai konsumen, saat itulah manusia telah menyadari eksistensinya berada dalam jurang yang mampu mematikan eksistensinya.
Kegelisahan terhadap budaya minimalis inilah yang akan mengantarkan manusia pada kedalaman hidup yang bermakna. Manusia dalam hal ini harus melawan semua serangan-serangan budaya minimalis yang sarat dengan kampenye-kampenye kenikmatan semu. Saat manusia menahan hasratnya untuk larut dalam kondisi minimalis, saat itu pula, manusia mengalami penderitaan. Hal itu disebabkan kondisi di luar diri kita penuh dengan rayuan yang penuh dengan kekuatan. Hanya manusia-manusia yang berani menghadapi penderitaanlah yang mampu ke luar dari medan bujuk rayu tersebut.
Kenapa kita harus gelisah? Hal itu disebabkan kegelisahanlah yang menyebabkan manusia untuk melakukan perpindahan. Dengan kegelisahan, manusia dapat mulai berpikir tentang keberadaannya. Kegelisahan pula yang mengantarkan manusia pada kontemplasi (perenungan) terhadap makna hidup yang dalam. Akan tetapi, bila dalam kegelisahan manusia tidak memiliki keberanian untuk menghadapi segala sesuatu di luar dirinya, manusia akan tenggelam dalam rayuan kenikmatan yang semu. Ketika manusia telah larut, nafsulah yang akan memegang kendali kesadaran. Tidak ada lagi kegelisahan untuk menjadi sang pencipta. Yang ada hanya pelepasan hasrat sebagai konsumen yang justru akan membawanya pada tragedi. Dalam kondisi saat itu, manusia telah mati. Tidak ada lagi pemikiran kritis sertas kreatif dalam diri manusia. Manusia telah menjadi makhluk konsumen semata dan kesadarnnya telah diambil alih oleh benda-benda yang mereka anggap sebagai pemuas kebutuhan. Benda-benda tersebut (televisi, ponsel, game, mall, komputer) merupakan berhala-berhala yang mereka puja.
Untuk melawan produk-produk kapitalis, manusia dapat mengendalikan dirinya dan tetap berada dalam kesadaran. Tidak ada jalan untuk menghindar dari budaya yang dibentuk kapitalis. Jalan yang harus ditempuh adalah menghadapi dengan keberanian. Budaya minimalis adalah budaya yang dapat membahayakan bagi keberlangsungan hidup manusia. Bila manusia tenggelam dalam budaya minimalis, mereka hanya akan memperoleh kenikmatan semu atau ilusif tanpa ada makna kehidupan yang mendalam.
Nietzsche (Sunardi, 2006:74) mengatakan ”percayalah padaku: rahasia untuk memetik buah paling besar dan kenikmatan tertinggi dari manusia adalah hidup yang berbahaya (gefahrlich)”. Perkataan Nietzsche di atas mengacu pada keberanian dalam menghadapi kehidupan, tanpa larut akan kenikmatan-kenikmatan yang dapat mempersempit makna hidup. Manusia tidak harus mengambil jalan pintas dalam kehidupan atau lari dari dunia relita, hingga melarutkan diri dari kenikmatan semu. Kehidupan yang berbahaya dapat dilakukan dengan menghadapi budaya minimalis yang sarat dengan derasnya produk-produk kapitalis yang penuh bujuk rayu. Buah yang paling besar dan kenikmatan tertinggi ialah pemerolehan makna kehidupan ini. Itu semua dapat diraih ketika manusia selalu dalam kondisi sadar dan selalu kritis terhadap sesuatu di luar dirinya tanpa larut ke dalamnya. Ketika manusia mampu mengatasi kesadarannya, kegelisahan untuk menjadi sang pencipta akan muncul dalam kesadaran. Sang pencipta itu sendiri adalah manusia-manusia yang kritis dan kreatif. Sang pencipta juga selalu gelisah terhadap semua yang dihadapinya. Dalam kondisi gelisah, sang pencipta akan berpikir kritis terhadap kepincangan-kepincangan kehidupan, hingga menjelmakan bentuk kreativitas. Dari tangan sang pencipta, muncullah teori-teori baru, karya-karya baru, pemimpin-pemimpin baru yang penuh dengan jiwa perubahan ke arah kebenaran.
Akan tetapi, lain ceritanya, bila manusia-manusia, khususnya mahasiswa yang bergerak dalam dunia intelektual, sekarang tidak lagi berani menghadapi kenyataan yang penuh keilusifan. Tidak banyak manusia yang berhasil menghadapi bahaya budaya minimalis yang dibentuk oleh produk-produk kapitalis. Manusia yang tidak berani menghadapi kenyataan dan tenggelam dalam kenikmatan semu akan menjadi salah satu dari tiga manusia minimalis, yakni manusia ironis, manusia skizofrenik, dan manusia fatalis. Dalam kondisi larut terhadap kenikmatan semu, kegelisahan untuk menjadi sang pencipta telah mati. Pemikiran kritis dan kreatif manusia tidak pernah ada. Yang ada hanya manusia-manusia konsumen semata. Sang pencipta telah mati. Produk-produk kapitalis telah menenggelamkan pemikiran kritis dan kreatif manusia. Manusia telah dilanda krisis kesadaran, sehingga mereka melarikan diri dari dunia realita menuju dunia kenikmatan semu.
Tenggelamnya manusia dalam kenikmatan semu inilah yang kiranya mematikan intelektualitas pemikir generasi bangsa, sehingga yang tersisa hanya manusia ironis, skizofrenik, dan fatalis. Tidak ada lagi kegelisahan manusia untuk menjadi sang pencipta. Bila manusia terperosok menjadi manusia minimalis, bagaimana dengan kehidupan manusia selanjutnya? Semoga kita tidak tenggelam dalam kenikmatan semu, sehingga kita tetap dalam kesadaran dan kekritisan dan menjadi sang pencipta. Amin!

*Disampaikan di Mimbar Ilmiah Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Unesa, 2007

Daftar Rujukan


Adlin, Alfathri dan Kurniawan. 2006. Hasrat Tubuh, Kosmetik, Kecantikan: Perempuan sebagai Kosmos dan Konsumen Citraan. Dalam Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra

Flocker, Michael. 2005. The Metrosexual Guide to Style: Saatnya Pria Tampil Seksi. Terjemahan Ayu Perwitasari. Bandung: B-first

Hartono, Agustinus. 2007. Skizoanalisis Deleuze & Guattari: Sebuah Pengantar Geneologi Hasrat. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra

Hassan, Fuad. 2005. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra

Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogayakarta dan Bandung: Jalasutra

Piliang, Yasraf Amir. 2006. Antara Minimalisme dan Pluralisme: Manusia Indonesia dalam Serangan Posmodernisme. Dalam Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra

Sunardi, St. 2006. Nietzsche. Yogyakarta: LKiS
Baca Selanjutnya

Senin, 28 April 2008

HERMENEUTIK

MULAINYA “PERSETUBUHAN”: SEBUAH KISAH NYATA

Oleh: Heru Susanto

Kisah nyata ini tampaknya memang harus saya ungkapkan dalam media yang cukup terbatas. Kisah ”persetubuhan” kali ini mulai teringat ketika salah satu mahasiswa mengajak saya dalam acara seminar proposal penelitian (skripsi). Salah satu proposal yang diajukan dalam seminar itu mengkaji salah satu kumpulan cerita pendek karya Gus Mus. Kajian yang digunakan untuk membedah cerpen tersebut ialah fenomenologi. Sekali lagi, kisah yang tertulis dalam tulisan ini merupakan kisah nyata yang sejauh ini masih dalam ingatan saya.

Yang menarik dari penelitian itu terlihat ketika penyaji mengungkapkan gagasannya mengenai fenomenologi yang juga didukung dengan kajian hermeneutik. Penyaji mengungkapkan bahwa untuk menggunakan kajian fenomenologi yang sarat dengan pandangan folosofis Hussrel, kajian tersebut juga didukung dengan pandangan hermeneutik. Penelitian ini secara umum memang menggunakan dua kajian yang berbeda, yakni kajian filosofis fenomenologi dan hermeneutik.
Karena meletakkan dua pandangan yang terkesan berbeda, tidak heran ada salah satu peserta dalam seminar tersebut yang menegaskan untuk menggunakan salah satu dari kedua kajian itu. Sebenarnya, untuk menjawab permasalahan yang diajukan oleh salah satu peserta tersebut, perlu adanya penjabaran yang komprehensif mengenai fenomenologi dan hermeneutik. Hal itu disebabkan penelitian yang diajukan oleh penyaji lebih menggunakan konsep fenomenologi yang dikembangkan oleh Heidegger. Ketika kajian fenomenologi melibatkan nama besar filosof eksistensialis, Heidegger, kajian fenomenologi tersebut tampaknya memang harus bersinggungan dengan pandangan hermeneutik yang digagasnya.

Tulisan ini bukan untuk menjawab pertanyaan peserta seminar secara komprehensif, tetapi lebih mengarah pada diskusi lebih lanjut mengenai pemahaman awal tentang fenomenologi dan hermeneutika yang muncul bersamaan.

Hermeneutik

Hermeneutik pada dasarnya merupakan kajian interpretasi (penafsiran) terhadap teks yang pada awalnya lebih diidentikkan sebagai kajian teologi untuk mendekati bibel dan kajian filologi. Dalam kajian filologis, Friedrich Ast dan Frederich August Wolf merupakan dua tokoh yang sangat berpengaruh. Friedrich Ast berpandangan bahwa hermeneutik merupakan teori yang membangkitkan makna geistige (spirit) teks yang sangat bermanfaat bagi studi filologi untuk menangkap spirit antiquitas (zaman atau barang-barang purbakala), sehingga dapat diterima dengan jelas. Bagi Friedrich August Wolf , hermeneutik merupakan kaidah-kaidah untuk menangkap pemikiran yang terdapat dalam teks yang sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pengarang. Dalam hal ini, hermeneutik lebih dipandang sebagai kaidah interpretasi dialog dengan pengarang. Kedua tokoh tersebut merupakan landasan pijak untuk lebih mengembangkan kajian hermeneutik oleh tokoh sesudahnya..

Schleiermacher lebih memandang hermeneutik sebagai ilmu pemahaman. Pemahaman merupakan hal yang paling awal untuk mendekati sebuah teks. Pada dasarnya pemahaman ini merupakan jembatan pembuka dialog antara pembaca dengan pengarang yang tidak sekadar didasarkan pada level linguistik. Ia memberikan dua langkah untuk melakukan pemahaman, yakni memahami bahasa dan psikologis. Pada taraf umum, pemahaman difokuskan pada gramatikal, sedangkan pemahaman psikologis lebih mengacu pada bagaimana individualitas pengarang. Wilayah psikologis ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang sesuai dengan pengarang.

Lama-kelamaan, hermeneutik mengalami perkembangan sebagai ilmu yang lebih luas mengkaji tentang ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Yang termasuk dalam Geisteswissenschaften ialah semua disiplin yang menafsirkan espresi-ekspresi ”kehidupan batin manusia”, baik dalam bentuk ekspresi isyarat (sikap), perilaku historis, kodifikasi hukum, karya seni dan sastra. Dilthey ialah salah satu pemikir yang meletakkan hermeneutik sebagai fondasi Geisteswissenschaften. Ia menegaskan landasan utama hermeneutik adalah makna. Makna inilah yang dijadikan wujud pencarian pemahaman hermeneutik. Dilthey meyakini bahwa manusia ialah makhluk historis. Konsep historislah yang menjadi pandangan utamanya. Oleh sebab itu, makna pun juga tidak dapat dilepaskan dari konteksnya atau bersifat historis. Makna tidak pernah terlepas dari keseluruhan bagian-bagian yang terlihat dari sudut pandang tertentu, saat tertentu, dan bagian-bagian tertentu.

Mengenai pandangan Heidegger tentang hermeneutik, hal itu dijabarkan pada bagian berikutnya. Tulisan ini memang tidak semuanya menjabarkan pemikiran tokoh hermeneutik secara keseluruhan.

Heidegger: Fenomenologi bersifat Hermeneutik

Membicarakan fenomenologi tentunya tidak dapat diabaikan begitusaja nama Edmund Hussrel. Baginya, fenomenologi merupakan pemunculan atau penampakan dari suatu peristiwa itu sendiri. Lebih jelasnya, fenomena diterima manusia bukan dari pemikiran manusia, tetapi fenomenalah yang memberikan pada manusia. Dalam permasalahan penggunaan bahasa, pengguna bahasa tidak memberikan kekuatan pada bahasa, tetapi kekuatan bahasa telah diberikan kepada pengguna bahasa tersebut.

Fenomenologi bermakna membiarkan sesuatu mewujudkan dirinya sendiri, memberikan kebebasan sesuatu peristiwa mengungkapkannya sendiri, tanpa kita memaksakan untuk memberikan kategori kepada sesuatu itu.

Bagi Heidegger, fenomenologi pada dasarnya bersifat hermeneutis. Ia mengembalikan makna fenomenologi pada akar kata Yunani, yakni phainomenon atau phainesthai, dan logos. Heidegger mengatakan phainomenon berarti memperlihatkan dirinya sendiri, sesuatu yang termanifestasikan, sedangkan kata pha sama dengan kata Yunani pho>s, yang berarti cahaya atau terang benderang, sesuatu yang dapat dimanifestasikan, dapat terlihat. Logos menurut Heidegger merupakan sesuatu yang dipahami dalam pembicaraan. Logos juga merupakan fungsi untuk mengungkap sesuatu yang tersembunyi sehingga membiarkan sesuatu itu sebagai sesuatu yang terlihat.

Dari permasalahan itu, fonomenologi pada dasarnya memiliki wujud yang mirip dengan hermeneutik. Hal itu pada dasarnya berkaitan dengan hermeneutik yang berusaha untuk membukakan sesuatu yang tersembunyi. Menurut Heidegger, makna fenomenologis adalah interpretasi, sehingga memiliki karakteristik hermeneutis.

Hermeneutik yang digagas Heidegger memang terkesan rumit. Akan tetapi, pada dasarnya hermeneutiknya merupakan teori pemahaman yang dimaknai secara ontologis, yakni kekuatan pemahaman dikembalikan kepada potensi keberadaan sesuatu itu sendiri. Oleh sebab itu, hermenetik yang digagas oleh Heidegger juga disebut pula sebagai hermeneutik-fenomenologis.

Bila kajian yang digunakan untuk membedah sebuah karya sastra adalah fenomenologi Heidegger, hal itu tidak dapat dilepaskan dari pandangan hermeneutik yang digagasnya. Hal itu disebabkan pemikiran filosofisnya dalam Being and Time sangat bernuansa hermeneutis. Heidegger memang berhutang budi kepada Husserl, tetapi keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Husserl memandang filsafat harus bersifat empiris yang kaku (kepastian dalam sains), sedangkan Heidegger memandang filsafat sebagai pemikiran historis, sebuah penemuan kreatif, dan suatu bentuk reinterpretasi.

Dari sinilah, fenomenologi dan hermeneutik tidak lagi dipandang sebagai disiplin ilmu yang secara absolut terpisah. Bagi Heidegger, fenomenologi adalah hermeneutik dalam makna kata yang oerisinal yang menunjukkan persoalan interpretasi. Inilah mulainya ”persetubuhan” terjadi. Baca Selanjutnya

MEMANDANG MISTERI HIDUP DAN MATI: DARI NIETZSCHE KE HEIDEGGER

MEMANDANG MISTERI HIDUP DAN MATI: DARI NIETZSCHE KE HEIDEGGER
Oleh: Heru Susanto

“Heru temanku berjanjilah bila nanti bertemu dg aq, heru mau menjawab sgala ttg ambang hidup dan mati.” 22:10:18, SMS dari Nova


Orang kadang larut dalam layar ponsel sambil terseyum, cemberut, dan tidak jarang orang tertawa terbahak-bahak ketika membaca SMS. Tidak jarang pula orang jatuh cinta dan putus cinta melalui SMS. Ketika menerima SMS dari orang yang tidak dikenal, perasaan penasaran, kesal, dan kadang justru tambah senang karena dapat kenalan baru merupakan pengalaman yang wajar.

Tulisan ini merupakan pengalaman yang saya anggap lebih dari sekadar wajar, sebut saja hiperwajar. Pengalaman ini bermula dari seorang teman yang mengenalkan saya dengan salah satu temannya yang kebetulan sangat menyukai puisi dengan memberikan nomor ponsel. Dengan bangga, saya langsung mengirimkan puisi layaknya seorang pujangga yang tak kenal permisi. Saya tertarik dengan cerita teman tentang dia, karena ternyata ada juga mahasiswa Akbid (Akademi Kebidanan) yang menaruh minat pada puisi. Dari situlah, pertemanan mulai berlangsung hingga saat ini. Hampir setahun pertemanan terjalin, tetapi tidak pernah di antara kami yang mengenal fisik masing-masing. Yang diketahui ialah saya laki-laki dan dia perempuan, itu pun juga dari cerita teman. Hubungan melalui ponsel sebenarnya tidak sering terjadi. Hanya beberapa puisi pendek dan beberapa pesan untuk saling menanyakan kabar, layaknya komunikasi basa-basi yang terjadi.

Suatu saat, keinginan untuk bertemu akhirnya muncul juga. Saat keinginan itu muncul, pengalaman yang lebih dari sekadar wajar itu terjadi. Pengalaman itu bermula dari SMS-nya yang tiba-tiba menanyakan tentang ambang hidup dan mati. Dia menginginkan saya untuk menjawab permasalahan tentang ambang hidup dan mati bila suatu saat kami bertemu. SMS itu terlihat sangat aneh. Sebelumnya tidak pernah kami membincangkan mengenai ambang hidup dan mati.

Saya merasa pesan itu memang tidak mungkin saya jawab melalui SMS. Walaupun singkat, pesan tersebut tidak akan terjawab melalui pesan yang singkat pula. Menurut saya, pesan tersebut membutuhkan jawaban yang mendalam, akan terkesan tergesa-gesa bila dijawab tanpa membutuhkan pemikiran yang mendalam. Saat itulah, kegelisahan mulai mengejar. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengingat-ingat permasalahan tentang hidup dan mati. Dalam zaman yang didominasi oleh teknologi, permasalahan tentang ambang hidup dan mati yang seakan-akan hilang dari hiruk-pikuk informasi tiba-tiba muncul dari layar ponsel tanpa ada yang menghendaki.

Dalam kegelisahan, pemikiran Nietzsche dan Heidegger mulai sedikit mempengaruhi saya. Kedua filosof tersebut memang pernah menyinggung masalah tentang kehidupan dan kematian. Dari pemikiran kedua filosof tersebut, tulisan ini merupakan uraian tentang ambang hidup dan mati, sekaligus menjawab pesan yang bernuansa filosofis dan membutuhkan jawaban filosofis pula. Tidak tertutup kemungkinan, tulisan ini juga tidak akan menjawab pesan tersebut secara komprehensif dan mendalam. Hal itu disebabkan terlalu berisiko sebenarnya menarik pemikiran kedua filosof yang dapat dikatakan pelik tersebut dalam bentuk yang ringkas. Akan tetapi, setidaknya tulisan ini merupakan hasil perenungan yang mencoba menghindari dari pemikiran yang terkesan tergesa-gesa dan mencoba mengaitkan dari pemikiran para filosof terkemuka.


Hidup dan Mati Versi Nietzsche

Nietzsche ialah folosof Jerman yang pemikirannya dapat dikatakan radikal. Dalam berbagai karyanya, ia memosisikan manusia yang unggul sebagai pusat dari kehidupan ini. Hanya manusia unggullah yang mampu membawa kehidupan lebih bermakna. Manusia-manusia unggul ini merupakan manusia yang memiliki kekuatan, kecerdasan, dan kebanggaan. Ketiga hal tersebut harus dimiliki oleh manusia dalam menjalani kehidupan. Ketika manusia tidak memiliki ketiga hal tersebut, mereka akan tenggelam dalam kerasnya kehidupan yang dijalaninya.

Dengan pemikirannya tentang manusia unggul, ia juga secara radikal mematikan eksistensi tuhan. Baginya tuhan adalah pusat yang menyebabkan manusia itu menjadi lemah. Manusia harus bebas dari segala sesuatu yang membelenggu kebebasannya. Manusia harus menjadi pencipta dalam kehidupan ini.

Kematian tuhan merupakan kritiknya yang keras terhadap manusia-manusia yang merasa dirinya terbebani dengan dosa. Dalam Aldus Sprach Zarathustra, Nietzsche berkata “aku ajarkan kepadamu manusia unggul. Dahulu dosa yang terbesar adalah dosa melawan tuhan, tetapi tuhan sudah mati, dan bersama dia matilah pula mereka yang berdosa”. Manusia unggul merupakan ajaran yang ditekankan oleh Nietzsche. Dengan mematikan eksistensi tuhan, ia berharap bahwa manusia akan bebas menjalani hidupnya tanpa merasa ada beban untuk memajukan dirinya. Manusia harus menjadi sosok yang berani untuk menghadapi kenyataan dalam kehidupan ini, tanpa harus berpaling dari penderitaan yang akan dihadapinya.

Menurut Nietzsche, hidup harus dihadapi dengan penuh keberanian. Tanpa adanya keberanian, manusia tidak akan pernah menemukan makna dari kehidupannya. Hanya manusia yang takut menghadapi dunialah yang nantinya akan tertindas oleh manusia yang lain. Hal itu desebabkan perdamaian tidak akan pernah dimenangkan tanpa adanya peperangan, seperti yang dikatakan Nietzsche “percayalah padaku: rahasia untuk memetik buah paling besar dan kenikmatan tertinggi dari manusia adalah hidup dengan bahaya (gefahrlichleben)! Dirikanlah kota-kotamu di lereng gunung Vesuvius. Kirimkanlah kapal-kapalmu ke samudera yang belum dipetakan! Hiduplah dalam perang melawan sesamamu dan dirimu sendiri!”. Pernyataan tersebut pada dasarnya menyeru kepada manusia untuk berani menghadapi bahaya dalam hidup ini. Dengan bahasa yang radikal, Nietzsche menghimbau manusia untuk untuk mengadakan peperangan dengan manusia lain serta dirinya sendiri. Apa yang dikatakannya pada dasarnya dapat diinterpretasi sebagai semangat untuk menjadi manusia yang berani menghadapi kekerasan dalam hidup dan berani menghadapi dirinya sendiri yang sering menyeret pada ketakutan dan kemalasan.

Kunci utama Nietzsche dalam memandang kehidupan ialah berpusat pada kehidupan itu sendiri. Baginya, manusia harus menghadapi segala yang ada dalam kehidupan ini tanpa berpaling darinya. Hal itu disebabkan manusia akan memperoleh makna kehidupan yang telah lama dicari dengan jalan menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang dialaminya ketika berada dalam kehidupan. Inilah yang disebut oleh Nietzsche sebagai Ubermensch. Menurut Sunardi, Ubermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling pada dunia dan menengok ke seberang dunia.

Nilai kehidupan manusia dapat ditemukan ketika manusia berani menghadapi segala penderitaan yang terjadi dalam kehidupan. Manusia tidak harus takut terhadap penderitaan, sebab penderitaan akan mengantarkannya pada kenikmatan kehidupan itu sendiri. Hidup adalah kenikmatan yang harus dihayati sedalam-dalamnya.

Nietzsche tampaknya juga menempatkan hal yang sama ketika memandang kehidupan dan kematian. Kehidupan harus dihadapi dengan penuh keberanian, begitu juga dengan kematian. Nietzsche berkata “kematianku kupujikan, maut yang bebas dan datang padaku oleh karena aku menghendakinya. Bebas untuk mati dan bebas dalam maut, mampu berkata ‘tidak’ dengan ikhlas bilamana saat untuk berkata ‘ya’ telah lewat…”.

Dengan demikian, kematian menurut Nietzsche juga harus dihadapi dengan penuh keberanian, seperti menghadapi kehidupan. Kematian tidak perlu ditakutkan, sebab kematian memang harus dihadapi. Ketika manusia bebas dalam kehidupan, manusia juga harus bebas dalam kematian.

Bila ditarik sebuah benang merah dari sudut kehidupan dan kematian, ambang hidup dan mati manusia harus dihadapi penuh dengan kebebasan dan keberanian. Ketika manusia berada dalam ambang hidup dan mati, manusia tidak akan mampu lari darinya, sebab itulah kenyataan yang harus dihadapi. Hal itu dapat dikembalikan pada saat manusia menghadapi kehidupan. Mereka tidak akan mampu berpaling dalam kehidupan. Salah satu jalan adalah menghadapi dengan keberanian.

Hidup dan Mati Versi Heidegger

Heidegger ialah salah satu pemikir terkemuka dalam kancah filsafat Barat yang pemikirannya dipengaruhi oleh Nietzsche. Ia sangat tertarik dengan pemikiran Nietzsche dan berusaha untuk membuat ulasan-ulasan mengenai pemikirannya yang dibukukan dalam judul: (1) Nietzsche: The Will to Power as Art, (2) Nietzsche: The Eternal Resurrence of the Same, (3) Nietzsche: The Will to Power as Knowledge and as Metaphysics, dan (4) Nietzsche: Nihilism.

Kehidupan bagi Heidegger merupakan kondisi di mana manusia memahami dirinya sendiri. Hidup adalah pusat dari makna yang harus diraih oleh manusia. Akan tetapi, untuk menemukan makna dalam kehidupan, manusia harus berhadapan dengan waktu. Bagi Heidegger, waktu adalah tempat beradanya manusia. Kehidupan ini adalah waktu. Hal itu disebabkan kehidupan ini tidak pernah terpisahkan oleh waktu. Waktu bukanlah sesuatu yang dapat dicandra. Waktu adalah segala sesuatu yang memenuhi dunia tempat manusia berada. Kehidupan berada pada medan waktu. Tidak satu pun kehidupan yang dapat melepaskan diri dari waktu.

Dalam menjalani hidup, manusia harus memperhatikan waktu dengan penuh kesadaran. Menurut Hardiman, Heidegger dapat disebut debagai sang penjinak waktu. Pemikiran Heidegger memang terpusat pada keberadaan manusia yang tidak pernah terlepas dari waktu. Waktu itu ‘liar’ jika manusia diseret dan didekte olehnya, sehingga manusia tidak lagi mampu menghayati hidup. Keliaran waktu dapat ditemukan ketika manusia telah larut dalam aktivitas keseharian. Aktivitas tersebut dapat ditemukan saat manusia bangun pagi, ke kantor, makan siang, ke mall untuk belanja, olah raga, pulang ke rumah, nonton televisi, tidur, dan seterusnya. Ketika manusia telah larut dalam aktivitas keseharian tersebut, manusia telah didekte oleh waktu. Tidak ada kesempatan manusia untuk merenungkan keberadaan dirinya. Yang ada hanya kesibukan yang memenuhi kehidupan manusia. Semua aktivitas seakan-akan telah terjadwal dengan ketat. Waktu telah mengambil alih kesadaran manusia. Saat itu, manusia telah kehilangan kesadarannya. Manusia tidak lagi berpikir siapa, dari mana, dan mau ke mana arah tujuannya.

Larutnya manusia dalam keseharian telah diperparah dengan adanya teknologi yang semakin pesat. Kebudayaan telah mengikat manusia untuk larut dalam aktivitas keseharian. Waktu telah digunakan dalam dunia layar (televise, ponsel, komputer, game). Ketika manusia telah larut dalam kondisi seperti itu, waktu telah mengambil alih kesadarannya. Saat itulah, waktu dapat dikatakan liar.

Waktu itu ‘jinak’ bukan berarti manusia mampu mengontrolnya, melainkan membuka diri terhadapnya dan menghayati sebagai dirinya sendiri. Manusia tidak akan pernah mampu mengontrol waktu. Hal itu disebabkan waktu terus mengalir selama kehidupan itu berjalan. Waktu tidak dapat dihentikan. Jadi, perlu direnungkan kembali bila ada yang mengatakan “kita harus mengontrol waktu”. Seperti yang telah dikatakan, waktu tidak dapat dikontrol, sebab waktu tetap mengalir dalam kehidupan ini. Bagi manusia, waktu akan berhenti jika manusia itu sendiri telah berhenti menjalani kehidupan, atau mati. Menurut Heidegger, waktu adalah manusia itu sendiri. Bila manusia itu mati, waktu juga akan berhenti ketika kehidupannya berakhir.

Dalam bahasan ini, kehidupan adalah proses manusia untuk membuka diri terhadap waktu. Ketika manusia larut terhadap aktivitas keseharian, manusia telah dikontrol oleh waktu dan mereka kehilangan makna kehidupan yang ia dapatkan. Akan tetapi, ketika manusia mengalami perenungan tentang keadaan dirinya, ia mulai sadar akan eksistensinya. Saat itulah, manusia berada pada kesadaran akan dirinya. Kadang kala, keadaan seperti itu dialamai oleh manusia ketika telah mengalami sesuatu yang mengarah pada kegagalan. Dalam kegagalan, manusia kadang baru sadar dan merenungkan tetang dirinya yang telah terperosok pada ranah kegelisahan. Dalam kegelisahan inilah, internalisasi (penghayatan) tentang kehidupan mulai berjalan. Dari hasil internalisasi, muncullah keputusan-keputusan untuk menghadapi kehidupan selanjutnya.

Ketika mengarahkan pemikiran Heidegger tentang keseharian, Hardiman menggambarkan kehidupan manusia seperti seseorang yang sedang berenang. Ketika manusia menenggelamkan kepalanya ke dalam air, saat itu, manusia larut ke dalam aktivitas keseharian, seperti makan pagi, kerja, makan siang, belanja di mall, pulang, istirahat, dan seterusnya. Pada saat manusia mengeluarkan kepala ke atas permukaan air, saat itu, manusia berada dalam perenungan eksistensinya. Manusia sadar bahwa dirinya berada dalam kehidupan ini dan akan mengambil keputusan untuk menjalani hidupnya. Akan tetapi, manusia cenderung berada di dalam air. Manusia sering terseret aktivitas keseharian. Tidak banyak manusia yang mampu berada dalam kesadaran. Manusia memiliki kecenderungan merenungkan keberadaannya atau eksistensinya ketika mengahadapi sebuah permasalahan yang membuat dirinya terpaksa untuk menyisihkan waktu untuk merenung.

Heidegger juga menegaskan untuk memahami kehidupan, manusia tidak dapat dipisahkan dari kematian. Bagi Hardiman, bahasan Ada-Menuju-Kematian yang diungkapkan Heidegger menjelaskan bahwa manusia harus merenungkan kematian. Kematian penting untuk kehidupan, sebab ketika manusia merenungkan kematian, manusia juga akan merenungkan kehidupan.

Eksistensi manusia dalam kehidupan, menurut Heidegger dapat digambarkan sebagai manusia yang terlempar di dunia ini, terbenam dalam keseharian, dan akhirnya mati. Manusia cenderung menghadapi dunia ini dengan larut dalam aktivitas keseharian yang tidak pernah mempertanyakan keberadaan dirinya. Secara jelas, manusia mengalami kehidupan ini apa adanya, mengalir begitu saja tanpa ada renungan-renungan yang mendalam.

Seharusnya, manusia tidak hanya berkata bahwa semua manusia pasti akan mati jadi tidak perlu ditakuti. Ketika manusia berpikir seperti itu, manusia tidak lagi merenungkan kematian. Kematian hanya dianggap sesuatu yang pasti dialami dan tidak perlu ditakuti. Dalam memandang kematian, pemikiran Heidegger cenderung berbeda dengan pemikiran Nietzsche. Nietzsche lebih memandang kematian sebagai sesuatu yang tidak perlu ditakuti, sedangkan Heidegger memandang kematian merupakan suatu hal yang harus direnungkan untuk mendalami makna kehidupan. Bagi Heidegger, keberadaan manusia yang otentik justru ketika manusia mengalami kecemasan terhadap kematian, sedangkan keberadaan manusia inotentik justru ketika manusia menganggap kematian pasti menimpa setiap orang dan tidak perlu direnungkan.

Apa itu Ambang Hidup dan Mati?

Sebelumnya telah diuraiakan mengenai hidup dan mati dari pemikiran Nietzsche dan Heidegger. Kedua pemikiran tersebut pada dasarnya memang tidak pernah mengaitkan dengan ajaran agama. Bagi kedua pemikir tersebut, penjelasan mengenai hidup dan mati yang diajarkan oleh agama adalah suatu doktrin. Doktrin agama bagi kedua pemikir tersebut terlalu membatasi pemikiran manusia. Nietzsche menganggap bahwa dogma agama tidak ada bedanya dengan jeruji besi yang membelenggu pemikiran manusia. Manusia tidak mampu memberikan nilai pada kehidupannya. Dengan berpikir tentang dosa, manusia menjadi makhluk yang lemah. Oleh sebab itu, eksistensi tuhan dimatikan oleh Nietzsche. Dengan matinya tuhan, mati pula segala manusia yang berdosa. Tidak ada lagi ada manusia yang berdosa. Yang ada hanya manusia-manusia bebas. Pilihan hidup ada ditangan manusia, bukan diatur dari luar diri manusia. Menurut Foucault, sebenarnya yang terjadi adalah kematian manusia (la mort de l’homme) itu sendiri.

Dalam kehidupan yang serba cepat ini, manusia tidak lagi menanyakan tentang ambang hidup dan mati. Kecepatan yang dukung oleh teknologi menyebabkan manusia terlalu lama larut dalam rutinitas keseharian. Manusia cenderung menganggap kematian merupakan sesuatu yang pasti ada dan semuanya pasti akan mengalami. Tetapi, mereka tidak pernah menanyakan kedudukan manusia antara hidup dan mati. Heidegger pun hanya menghimbau manusia untuk merenungkan tentang kematian. Dengan merenung tentang kematian, manusia akan merasakan bahwa dirinya hidup.

Apa itu ambang hidup dan mati? Benarkah ambang hidup dan mati datang ketika manusia berada pada detik-detik kematian? Untuk memahami hakikat ambang hidup dan mati, pemikiran harus menyertakan posisi manusia dalam ambang hidup dan mati. Ambang hidup dan mati tidak sekadar ketika manusia berada pada detik-detik kematian. Bila ambang hidup dan mati dipahami sebagai kondisi manusia ketika tercerabutnya nyawa dari tubuh, hal itu justru mempersempit hakikat ambang hidup dan mati. Ketika dipahami seperti itu, manusia tidak akan memikirkan kedalaman hidup yang dilaluinya. Sampai saat ini, ambang hidup dan mati memang dipahami sebagai sakaratul maut. Tetapi, pada dasarnya, ketika manusia berada di mall, di kantor, di perjalanan, di masjid, di sekolah, di tempat pelacuran, dan di mana pun manusia berada, mereka semua pada posisi ambang hidup dan mati. Di mana pun mereka berada, mereka tetap pada ambang hidup dan mati.

Ambang hidup dan mati sebenarnya tidak lain adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan ini merupakan tempat manusia berada pada posisi hidup dan mati. Hal itu disebabkan manusia tidak akan pernah tahu kapan datangnnya kematian pada dirinya. Kehidupan yang dilaluinya bisa saja berhenti seketika ketika kematian tiba-tiba menjemputnya. Tidak ada yang tahu kapan datangnya kematian. Orang yang baru saja bersenang-senang di mall bisa saja tiba-tiba meninggal dalam perjalanan karena kecelakaan. Inilah ambang hidup dan mati. Untuk mengetahui posisi manusia berada pada ambang hidup dan mati, manusia tidak perlu harus berada terlebih dahulu dalam sakaratul maut, baru dapat dikatakan berada pada ambang hidup dan mati.

Manusia sebenarnya hidup di dunia adalah keterlemparan manusia pada ambang hidup dan mati. Manusia tidak memiliki pilihan untuk dihidupkan dan dimatikan. Tanpa pilihan, manusia terlahir di dunia dan menjalani kehidupan sekaligus menanti kematian. Kematian adalah penantian akhir kehidupan di dunia. Ketika dalam penantian kematian, manusia berada pada ambang hidup dan mati.

Ketika manusia menyadari akan keberadaannya dalam ambang hidup dan mati, manusia akan merenungkan makna kehidupan yang paling dalam. Keberadaannya dalam ambang hidup dan mati membuat manusia lebih mencari makna hidup yang dijalaninya. Kehidupan tidak ada bedanya dengan keberadaan manusia pada daerah yang berkabut tebal. Pandangan tidak mampu menembus terlalu jauh jarak dari hadapan. Dalam keadaan tersebut, manusia harus menggunakan perasaan dan pikiran untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan dilewati, sebab jurang dan pedang siap melemparkan dan menebas leher dalam kegelapan kehidupan.

Dalam agama pun, manusia dianjurkan untuk merenungkan bahwa kematian setiap saat akan datang. Oleh sebab itu, manusia harus memberikan makna pada kehidupannya, dengan jalan menjalankan ibadah yang telah ditetapkan. Pada dasarnya, agama pun juga tidak membatasi ambang hidup dan mati pada saat manusia dalam sakaratul maut. Agama juga mengajarkan untuk berada pada kesadaran tentang maut kapan saja akan datang bila sudah ditetapkan dan ketetapan itu tidak akan pernah terjamah oleh pemikiran manusia. Dalam hal ini, rasio telah tumbang. Agama pada dasarnya memberikan jejak berpikir bahwa manusia selalu dalam ambang hidup dan mati. Oleh sebab itu, manusia tidak harus terlalu lama tenggelam dalam aktivitas keseharian. Manusia harus memberikan makna pada kehidupannya.

Apa itu detik-detik kematian? Ketika ada korban kecelakaan, yang satu telah meninggal di tempat kejadian dan yang satunya lagi dalam keadaan kritis. Korban yang dalam kondisi kritis dengan nafas yang berat hingga dadanya naik turun, darahnya keluar dari mulut, telinga, hidung, karena benturan yang cukup keras tepat di kepalanya inilah detik-detik kematian. Saat membahas mengenai detik-detik kematian, kita boleh merujuk pada sakaratul maut. Salah satu contoh tersebut merupakan kondisi manusia dalam detik-detik kematian. Akhir kehidupan mulai menanjak pada klimaks kehidupan.

Dalam detik-detik kematian, puncak pengalaman kehidupan mulai dilalui manusia. Kenikmatan tertinggi dari kehidupan terletak dalam detik-detik kematian. Korban kecelakaan yang meninggal di tempat kejadian, sudah melewatkan puncak kenikmatan kehidupan, sedangkan korban yang dalam kondisi kritis dalam keadaan puncak kenikmatan kehidupan. Yang pasti ialah pengalaman hidup yang tertinggi adalah detik-detik kematian, karena manusia tidak mampu melewati detik-detik kematian untuk kedua kalinya. Dalam keadaan tersebut, evaluasi kehidupan benar-benar berjalan. Baca Selanjutnya

Selasa, 15 April 2008

CINTA DAN PEMBEBASAN DUNIA PEREMPUAN DALAM MELATI DI PAHAKU KARYA YUNIS KARTIKA

CINTA DAN PEMBEBASAN DUNIA PEREMPUAN DALAM MELATI DI PAHAKU KARYA YUNIS KARTIKA

Oleh: Heru Susanto*



Abstrak


Melati di Pahaku” merupakan kumpulan puisi Yunis Kartika yang didominasi nuansa cinta antara laki-laki dan perempuan. Dalam perjalan cinta, perempuan merupakan individu yang mengalami kesunyian akibat pengkhianatan seorang kekasih. Hal itu menyebabkan adanya pergeseran dari cinta menjadi kebencian yang mengarah terhadap seruan pembebasan perempuan. Puisi tersebut juga menyuarakan adanya penindasan yang disebabkan kondisi biologis perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Perlawanan juga mengarah pada wilayah politik yang berusaha melembagakan dominasi patriarki terhadap matriarki. Puisi-puisi Yunis Kartika yang terkumpul dalam “Melati di Pahaku” merupakan puisi yang bernuansa cinta serta mengandung semangat feminisme.


Kata Kunci: cinta, pembebasan, patriarki, matriarki, Feminisme



Pendahuluan


Proses penulisan kreatif tidak dapat dihindarkan dari penggunaan kemampuan perasaan dalam menciptakan karya yang bermakna. Kekuatan makna dalam sebuah karya sangat ditentukan oleh keberanian dan intensitas kontemplasi (perenungan) terhadap segala realita yang ada. Karya akan muncul bila pengalaman yang merupakan pusat kekuatan dituangkan dalam media, seperti goresan warna dalam seni rupa, keharmonisan nada dalam seni musik, dan khususnya rangkaian kata dalam seni sastra.


Puisi sebagai salah satu genre sastra memberikan pandangan yang luas melalui bahasa pilihan sebagai ekspresinya. Dalam puisi, pengalaman yang luas dan dalam dapat dinikmati dalam kata-kata yang sederhana dan terkesan pendek. Permasalahan yang kompleks sekalipun dibangun melalui kata-kata yang ringkas. Namun, kesederhanaan dan keringkasan kata tidak menyurutkan makna dalam mengungkapkan permasalahan. Kekayaan dan kedalaman kehidupan dapat diserap oleh penikmat puisi dengan cara menghayati secara mendalam. Kenyataan tersebut dapat dikatakan sebagai pemadatan bahasa yang penuh kedalaman elemen makna. Hal itulah yang tampaknya melatarbelakangi Nirwan Dewanto dalam pertemuan lima penyair pada Festival Seni Surabaya (FSS) 2007 mengatakan bahwa puisi merupakan penguasaan bahasa yang tertinggi.


Dalam kumpulan puisi Melati di Pahaku, Yunis Kartika (selanjutnya ditulis YK) berusaha membidik fenomena dalam kehidupan yang sangat kompleks dan merupakan salah satu misteri dalam kehidupan, yakni cinta dan dunia perempuan. Keberadaan cinta dalam kehidupan merupakan bahasan yang tidak pernah terselesaikan untuk didiskusikan. Banyak tokoh berusaha membedah hakikat cinta, hingga memunculkan berbagai teori cinta. Akan tetapi, cinta seakan-akan merupakan ruang yang tak berdinding pembatas, tak beralas, serta tak beratap. Manusia sepertinya tak pernah dapat menjangkau batas-batasnya. Plato (dalam Santas, 2002), filosof Athena (427-347 SM), mengemukakan bahwa cinta ada demi kebaikan yang harus dimiliki seseorang seumur hidup. Dengan cinta, manusia dapat memiliki kebaikan yang abadi untuk menjaga kebaikan dengan tujuan yang tertinggi.


Mohammad Iqbal (dalam Hawasi, 2003:42-43), sastrawan serta filosof eksistensialis pendiri negara Pakistan, menyatakan bahwa cinta merupakan kekuatan yang mampu memberikan keberanian manusia dalam menghadapi segala permasalahan. Hal itu diungkapkan dalam puisinya sebagai berikut.


Bila ego diperkuat dengan cinta

Tenaganya menguasai dunia semesta

Langit menguasai angkasa dengan bintang-bintang

Tangannya menjadi tangan Tuhan

Bulan pecah oleh jari-jemarinya

Dialah pelerai dalam semua sengketa dunia”



Cinta yang digagas oleh kedua pemikir tersebut merupakan sebagian kecil dari usaha untuk mendekati hakikat cinta. Usaha tersebut belum dapat dikatakan final. Hal itu disebabkan cinta tidak mengenal batas yang pasti. Oleh sebab itu, perlu dipertanyakan kembali pernyataan yang menyatakan cinta itu buta serta cinta itu indah. Dunia perempuan juga tidak dapat dipisahkan dalam kajian mengenai cinta. Hal itu disebabkan kajian mengenai cinta tidak dapat dilepaskan dari kajian gender. Permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini difokuskan pada cinta dan dunia perempuan yang penuh dengan perlawanan terhadap struktur patriarki. Bagaimana YK membidik cinta dan dunia perempuan dalam dunia estetika?


Cinta sebagai Legitimasi Dominasi Laki-laki terhadap Perempuan


Dalam penciptaan sebuah puisi, bahasa memiliki peran utama. Bahasa tersebut digunakan untuk membangun maksud yang akan diungkapkan oleh seorang penyair. Bahasa merupakan pembungkus gagasan yang menjadikan latar-belakang penciptaan karya. Gagasan yang diungkapkan YK dalam puisinya tidak terlepas dari cinta.

Seperti yang telah diungkapkan di depan, cinta tidak memiliki batas yang pasti. Oleh sebab itu, cinta memiliki makna yang dapat dikatakan tak terbatas, sehingga tidak jarang sastrawan sering mengangkat permasalahan cinta dalam karyanya. YK dalam puisinya menggambarkan cinta yang memang terkesan nakal, bebas, dan tanpa basa-basi. Hubungan cinta laki-laki dan perempuan, baik suka maupun luka, dapat ditemukan hamper di semua puisinya. Gambaran laki-laki dan perempuanlah yang memberikan kekuatan tersendiri dalam karyanya. Permasalahan cinta digambarkan dalam puisi berjudul Pemuaraan Rahasia.

Kau yang hadir tak bisa utuh

Nyatanya mampu menenggelamkan

Rangkaian merdu kalimat sakti

Meluluhlantahkan batu karang di hati


Terlalu gelap jalan yang kita susuri

Padahal tangan kita bergandengan

Atau sebab satu tanganmu

Masih menggenggam tapak di belakang

Hingga hanya satu tangan yang bisa kugapai



Puisi di atas tampaknya mengungkapkan kondisi jiwa yang penuh ketidakpastian. Ketidakpastian tersebut disebabkan adanya ketidakpercayaan mengenai cinta yang dijalani. Permasalahan yang terungkap merupakan permasalahan cinta yang bersifat mendua. Cinta yang diinginkan tidak dapat seutuhnya dimiliki. Ada cinta lain yang masih berpengaruh pada seseorang yang dicintainya. Hal itu dapat ditemukan pada baris atau sebab satu tanganmu/masih menggenggam tapak di belakang/hingga hanya satu tangan yang bisa kugapai. Melalui baris puisi tersebut gagasan yang tadinya abstrak lebih tampak konkrit. Seseorang yang dicintai dikisahkan masih memiliki seseorang yang lain yang tidak dapat dipisahkan dan dimetaforkan sebagai tangan yang masih menggenggam tapak di belakang. Masih menggenggam tapak di belakang dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang disembunyikan, yakni rasa cinta terhadap yang lain.


Cinta yang mendua tersebut sebenarnya disadari. Baris kau yang hadir tak bisa utuh/nyatanya mampu menenggelamkan merupakan pernyataan mengenai kekuatan cinta yang sebenarnya tidak dapat mencintai secara penuh, namun mampu membuat seseorang jatuh hati. Bila dicermati, ada kesadaran yang menegaskan bujuk rayu. Bujuk rayu inilah yang membuat perasaan cinta mampu tumbuh dalam setiap hati manusia. Bujuk rayu lebih dikonkritkan oleh pengarang melalui rangkaain merdu kalimat sakti. Dengan kalimat yang penuh rayu, cinta pun akhirnya muncul dari lubuk hati.


Kekuatan bahasa juga diakui oleh pengarang. Bahasa yang dimaksud ialah bahasa yang digunakan sebagai alat untuk menaklukkan hati seorang perempuan. Penaklukan dilakukan dengan menggunakan bahasa yang dikiaskan pengarang sebagai kalimat sakti. Diksi yang digunakan dalam puisi tersebut memang merupakan diksi yang sederhana, namun mampu mengungkapkan gagasan yang cukup segar mengenai cinta yang di dalamnya penuh rahasia seperti yang difregmentasikan dalam judul puisi tersebut. Inilah yang disebut pengarang sebagai pemuaraan rahasia. Pada dasarnya, cinta tetap menjadi rahasia bagi seseorang yang dicintai. Seberapa besar cinta yang diterima dari kekasihnya tidak akan pernah mampu ia ketahui secara pasti. Hal itu tampaknya dikemukakan oleh penyair sebagai dominasi laki-laki terhadap perempuan.


Kemisterian jalinan kasih tampak jelas pada puisi berjudul Labirin Rahasia. Kisah cinta diekspresikan berdasarkan rasa ketidakpastian. Hubungan yang tampak seperti mimpi indah yang pada saat mata terbuka telah menguap entah ke mana. Keindahan yang sementara tampak dalam kutipan puisi berikut.


seperti mimpi bersijingkat pergi

harapan yang juga hengkang

asa menguap selaksa asap

gulana menikam pasti

kita serupa misteri



Dalam puisi di atas, ada permainan diksi yang dapat dikatakan lincah. Penggunaan metafor yang menarik terlihat pada kata mimpi sebagai gambaran keindahan yang semu. Penggunaan metafora juga diperkuat lagi dengan personifikasi seperti pada baris mimpi bersijingkat pergi/harapan yang juga hengkang/asa menguap selaksa asap. Perpaduan metafor dan personifikasi memberikan gagasan yang abstrak lebih tampak konkret. Strategi tersebut merupakan keunggulan dalam puisi untuk menceritakan sesuatu yang tidak jelas menjadi jelas. Sesuatu yang tidak dapat ditangkap panca indra manusia, tidak jelas, dan tidak pasti dimunculkan sebagai sesuatu yang seakan dapat ditangkap oleh panca indra.


Puisi
Labirin Rahasia lebih menarik karena sesuatu yang abstrak dikonkritkan dengan permainan kata yang ditempatkan pada tempat yang sesuai. Asa menguap selaksa asap merupakan gambaran keputusasaan yang mengundang kekecewaan. Harapan digambarkan seperti asap yang keberadaannya sementara dan hilang ditiup angin. Kata yang berpengaruh untuk memperkuat gagasan terletak pada kata mimpi dan asap sebagai metafora. Keindahan yang didapat dalam memadu kasih dalam puisi tersebut digambarkan sebagai sesuatu yang sementara dan hanya meninggalkan kebingungan yang berujung pada rasa sakit seperti gulana menikam pasti. Fenomena seperti ini tidak pernah terlepas dari kisah cinta purba. Senang dan luka dalam bercinta seperti dua sisi mata uang yang tidak pernah terpisahkan. Hal itulah yang menyebabkan penyair menganggap fenomena tersebut seperti misteri tanpa henti.


Rasa kecewa dan sakit juga dibidik secara pasti oleh penyair dalam puisi yang berjudul Patah.


Cintaku patah

Dikulum patah senyummu


Puisi tersebut sangat pendek dan padat. Kekecewaan terhadap cinta membuat segala kesedihan tertuang dalam kealpaan. Puisi Patah bila dicermati akan menimbulkan efek yang sunyi. Kesunyian tersebut menghadirkan suasana kesedihan yang begitu dalam. Ada pilihan kata yang mengisyaratkan kesedihan dan kekecewaan. Kekuatan kata tersebut terdapat pada kata patah. Kata patah diulang dalam baris puisi sebanyak dua kali serta ditekankan pada judul puisi yang juga menggunakan kata tersebut. Patah mengisyaratkan sesuatu yang telah tidak utuh lagi. Hal itu dapat ditafsirkan sebagai kesedihan, kesengsaraan, kesunyian yang dalam, serta pisahnya hubungan dengan kekasih.


Kata patah lebih terasa kuat efek maknanya pada baris Dikulum patah senyummu. Baris tersebut menegaskan adanya rasa kekecewaan terhadap cinta yang sangat diinginkan. Kekecewaan tersebut muncul ketika seseorang yang dicintai mulai tidak menganggapnya lagi atau tidak memperhatikan cintanya lagi. Hal itu dimetaforkan sebagai Dikulum patah senyummu. Cintanya patah ketika rasa sayang sang kekasih yang diwakili kata senyummu mulai tidak terlihat lagi.


Fenomena cinta yang dituangkan dalam bait buisi tersebut lebih menekankan pada kesedihan yang dialami oleh seorang perempuan dalam menikmati cinta kasih. Tampaknya permasalahan esensial dalam hal ini diarahapah pada dominasi laki-laki terhadap perempuan. Hal itu merupakan aspek penyebab adanya rasa tertindas dari pihak perempuan. Ketertindasan digambarkan dalam kesedihan akibat hubungan laki-laki dan perempuan yang berakhir pada pengkhianatan. Pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut pada akhirnya membentuk sebuah semangat pembebasan yang lebih memberikan jalan keluar terhadap perempuan dalam kesunyian yang dikonstruksi sebagai ketertindasan.


Pembebasan sebagai Elemen Antagonis



Hubungan antara lelaki dan perempuan pada dasarnya merupakan hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Perempuan seakan-akan memiliki karakteristik yang bergantung pada eksistensi laki-laki dalam ranah seksualitas. Fromm (2007:130) menegaskan kecenderungan karakter tertentu muncul dari kecemasan utama laki-laki berupa kegagalan dan muncul juga pada diri perempuan berupa rasa frustrasi dan kebergantungan. Pernyataan Fromm tersebut mengacu pada karakteristik perempuan dan laki-laki pada hubungan seksual. Perempuan memiliki karakteristik sebagai manusia yang memiliki kebergantungan terhadap kaum patriarki. Kondisi seperti itu memengaruhi status sosial perempuan yang momosisikannya pada status inferior, sedangkan laki-laki secara tidak langsung memosisikan diri pada superior.


YK merupakan perempuan penulis yang tidak melepaskan diri dari dunianya sebagai seorang perempuan. Oleh sebab itu, puisi-puisi yang digarap olehnya juga tidak terlepas dari perjuangan terhadap kaum perempuan. Bila dicermati, pada puisi-puisi yang telah dikaji sebelumnya menunjukkan adanya rasa kesunyian seorang perempuan yang ditinggalkan laki-laki. Efek yang dimunculkan dari puisi-puisi sebelumnya mengacu pada perempuan yang seakan-akan termarginalkan akibat dominasi laki-laki yang telah mencampakkan cinta perempuan.


Kondisi yang dialami perempuan tersebut dapat menimbulkan rasa frustrasi seperti yang dimaksudkan oleh Fromm. Hal itu menimbulkan hubungan cinta dapat mengarah pada hubungan perlawanan. Fromm (2007:125) menyatakan dalam hubungan laki-laki dan perempuan mempunyai kemampuan untuk mencintai sekaligus kemampuan untuk menimbulkan kebencian. Kenyataan tersebut oleh Fromm disebut sebagai elemen antagonis, yakni suatu potensialitas yang mampu membangun elemen kecemasan, sehingga orang yang dicintai dapat berubah sebagai orang yang dimusihi.


Permusuhan yang muncul akibat hubungan laki-laki dan perempuan mengarah pada seruan perempuan untuk tidak takluk pada eksistensi laki-laki. Dalam puisinya, YK menekankan semangat untuk melepaskan diri dari dunia kuasa laki-laki yang sebelumnya dituangkan dalam puisi yang telah dikupas sebagai penyebab rasa sakit hati dengan adanya pengkhianatan cinta. Semangat kebebasan tersebut terdapat pada puisi Menarilah Perempuan.

langit sore pucat

adakah alam pernah berduka

untuknya yang kehilangan banyak gairah


nyatanya hidup hanya sekutu

tanpa kompromi


cukupkan!

tumpaskan airmata

tak perlu sesegukan

buangbuang waktu di ambang pintu

menarilah, rayakan kebebasan



Puisi tersebut memberikan semangat kebebasan bagi perempuan untuk tidak terlalu hanyut dalam kesedihan dan posisi tertekan. Tekanan-tekanan makna pembebasan sangat kuat pada bait terakhir. Penyair seakan-akan memberikan sugesti untuk bersikap tegas. Cukupkan!/tumpaskan airmata merupakan baris yang penuh penegasan dari penyair untuk membebaskan diri perempuan dari rasa kesedihan dan kekecewaan tentang cinta dan kasih sayang. Dalam hal ini, penyair ingin mereduksi adanya kebergantungan perempuan terhadap laki-laki. Semangat yang dimunculkan adalah semangat pembebasan perempuan terhadap kultur budaya yang memosisikan perempuan yang seakan-akan dikonstruksi sebagai makhluk yang berada pada posisi inferior. Baris menarilah, rayakan kebebasan merupakan kekuatan gagasan yang menyatukan elemen makna keseluruhan puisi yang bertendensi pada semangat kebebasan. Perempuan harus bebas dari penderitaan, ketertekanan, dan penindasan dari dominasi patriarki merupakan gagasan yang menjadikan puisi tersebut dapat menggerakkan semangat perlawanan perempuan terhadap laki-laki.


Semangat Feminis


Feminisme dikatakan sebagai sebuah ide yang di antaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Ratna (2005) memandang feminisme dan emansipasi adalah bentuk yang sama. Hakikat keduanya adalah persamaan hak perempuan terhadap hak laki-laki. Menurut Sofia dan Sugiharti (2003:24), feminisme beda dengan emansipasi. Emansipasi cenderung menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan ketidakadilan gender, sedangkan feminisme sudah mempersoalkan hak serta kepentingan perempuan yang selama ini dinilai tidak adil.


Semangat feminis dapat digambarkan sebagai gerakan yang menyuarakan ketertindasan kaum perempuan akibat adanya dominasi dari budaya patriarki yang bertendensi sebagai pembebasan perempuan dari struktur budaya yang mengkonstruksinya sebagai manusia inferior. Kenyataan tersebut membuat posisi perempuan berada pada status individu yang mengalami ketidakbebasan dalam menentukan status sosial.


Berdasarkan hasil penelitian Bechofen (Fromm, 2007:4) mengenai hak ibu (Mother Right), struktur kultur masyarakat pada masa lalu mengacu pada perempuan. Penelitian Bechofen didasarkan analisis terhadap mitos-mitos dan simbol-simbol bangsa Romawi, Yunani, dan Mesir. Dari penilitian tersebut dihasilkan gambaran yang mengacu pada kultur matriarki, bukan patriarki. Jadi, budaya patriarki merupakan budaya yang dapat dikatakan sebagai struktur budaya yang relatif baru. Jauh sebelumnya, struktur matriarki merupakan pusat sentral dari kehidupan sosial.


Akan tetapi, dalam perkembangannya, struktur matriarki bergeser pada struktur patriarki. Dalam pergeseran struktur sosial tersebut, kaum perempuan mulai mengalami ketidaksetaraan dalam menentukan status sosial. Perempuan merupakan manusia kedua setelah laki-laki. Pusat struktur kebudayaan tidak lagi pada struktur matriarki, tetapi mulai bergeser ke struktur patriarki. Perempuan yang tadinya merupakan pusat struktur dalam kehidupan sosial telah beralih menjadi struktur di bawah laki-laki. Inilah yang menyebabkan kondisi perempuan dimarginalkan dalam status sosial masyarakat.


Struktur masyarakat dalam kenyataannya sering menempatkan perbedaan anatara laki-laki dan perempuan. Arba’in (2007:15) menegaskan adanya perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat mengakibatkan posisi perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak menguntungkan.


Dalam dunia sastra, perlawanan terhadap kuasa patriarki tampaknya semakin gencar. Para perempuan penulis, khususnya YK melakukan perlawanan terhadap struktur sosial yang menempatkan posisi perempuan dalam ranah inferior. Puisi-puisi YK memang bernuansa semangat feminisme. Hal itu disebabkan beberapa puisinya menyimpan gagasan-gagasan yang sejalan dengan semangat perjuangan feminisme, walaupun tidak semuanya digambarkan secara eksplisit. Menurut Djajanegara (2003:48), perempuan penulis, penulis feminin, maupun penulis feminis, sejak dulu hingga sekarang harus selalu berjuang melawan kekuatan-kekuatan kultural dan historis yang menilai rendah pengalaman perempuan dan karya mereka. Oleh sebab itu, puisi-puisi YK memang selayaknya dikaji dalam pandangan semangat yang memperjuangkan kondisi sosial perempuan.


Puisi YK mencoba membongkar ketidakadilan dalam struktur masyarakat. Hal ini merupakan strategi tersendiri untuk menyerukan kondisi perempuan yang mengalami ketertindasan dalam menjalankan kehidupan sebagai makhluk sosial yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Perlawanan itu terdapat pada puisi yang berjudul Tuntut Saja Tuhan!.


Jika karena kelamin

dan payudara yang mengembang

kita dinistakan


kenapa tak kita tuntut saja tuhan!



Puisi tersebut menekankan pada aspek tubuh yang menyebabkan perempuan menjadi objek dari laki-laki. Perempuan dengan tubuhnya merupakan aspek yang memunculkan hasrat birahi laki-laki terhadap perempuan. Peristiwa perkosaan sering terjadi dan hal itu juga diinformasikan dalam berbagai media massa. Hal itu menunjukkan adanya penindasan yang diterima kaum perempuan terhadap dominasi laki-laki. Tidak jarang perempuan menjadi korban dari pelecehan seksual. Pelecehen seksual tersebut tidak sekadar pada perempuan dewasa, tetapi kadang juga dialami oleh perempuan yang masih di bawah umur (belia). Kondisi seperti itu yang menjadikan puisi tersebut merupakan seruan ketertindasan kaum perempuan.


Semangat pemberontakan secara esensial dipertanyakan dengan penciptaan perempuan yang berbeda dengan laki-laki, khususnya kondisi fisik. Perempuan seakan-akan merupakan makhluk yang dijadikan objek pelampiasan hasrat seksual laki-laki. Hal itu tergambar pada Jika karena kelamin/dan payudara yang mengembang/kita dinistakan. Baris puisi menekankan pada penindasan yang dialami oleh perempuan yang diakibatkan pada kondisi fisiknya yang seakan-akan merupakan “makanan” bagi pembangkit nafsu seksual laki-laki. Hal itu juga dapat ditafsirkan bahwa puisi tersebut merupakan refleksi dari pelemparan kesalahan terhadap perempuan bila ada kasus pelecehan seksual. Masyarakat tidak jarang selalu mengacu pada kaum perempuan bila terdapat pelecehan seksual dengan dalih bentuk tubuh yang sering dipertontonkan pada umum. Hal itu menyebabkan perempuanlah yang menjadi korban dan pihak bersalah jika terdapat peristiwa pelecehan seksual. Kondisi seperti itu juga ditekankan Andrea Dworkin (dalam Cavallaro, 2004:199) dalam sistem laki-laki perempuan adalah seks; seks adalah pelacur (whore). Pelacur adalah pelacur yang terendah, pelacur yang dimiliki oleh semua penduduk laki-laki. Pernyataan itu seakan-akan merupakan titik terendah pandangan patriarki dalam memandang eksistensi perempuan.


Peristiwa tersebut juga sempat disinggung oleh Ibrahim (2006:276) mengenai perkosaan yang dilakukan oleh seorang bajingan terhadap perempuan yang dirasa terlalu merangsang dan menggiurkan. Peristiwa penganiayaan tersebut justru diberitakan dalam media massa sebagai menggagahi. Penggunaan bahasa dalam pemberitaan penindasan perempuan tersebut pada dasarnya merupakan rekronstruksi yang tidak berpihak pada perempuan. Penindasan, penganiayaan terhadap perempuan dibahasakan sebagai kegagahan. Hal itulah yang menurut Ibarahim disebut sebagai pendistorsian dan pemanipulasian bahasa.


Logika pembedaan seks/gender dalam masyarakat menghasilkan konstruk yang menyituasikan bahwa perempuan adalah perempuan secara biologis. Seolah-olah laki-lakilah yang lebih berhak atas tubuh perempuan, dia harus patuh kepada laki-laki. Menurut Beavoir (dalam Prabasmoro, 2006:59) menjadi perempuan adalah lebih dari sekadar fakta biologis, tentu saja perempuan seperti laki-laki adalah makluk hidup, tetapi pernyataan seperti ini adalah abstrak. Perempuan pada kenyataannya dibedakan atas dasar kondisi biologis yang berbeda dengan laki-laki.


Puisi Kartika juga merupakan puisi yang menyuarakan kritik yang tajam pada ranah politik, khususnya undang-undang tentang porno aksi dan porno grafi. Penyair memandang bahwa dengan adanya undang-undang tersebut justru mempertajam dominasi laki-laki terhadap perempuan. Perempuan seakan-akan berada pada posisi yang dipersulit, sedangkan kebebasan hanya untuk laki-laki. Hal itu tergambar dalam puisi yang berjudul Kebiri.


aku tak hendak jadi perempuan

jika karenanya ruu anti pornoaksi dan pornografi

disahkan

mari beramai-ramai operasi kelamin

biar tinggal penis yang berkuasa!


Penolakan terhadap undang-undang tersebut disuarakan dengan menyerukan pilihan untuk tidak menjadi perempuan. Hal itu merupakan sebuah penolakan yang merupakan sindiran bagi penguasa yang lebih mengutamakan kepentingan atau kebebasan kaum laki-laki daripada perempuan. Seruan dalam puisi tersebut tidak sekadar mengacu pada satu perempuan (penyair) melainkan ajakan kepada seluruh perempuan untuk serempak melakukan operasi kelamin, dari perempuan menjadi laki-laki. Kebiri dapat dikatakan sebuah satire untuk pemerintah yang katakanlah berusaha melembagakan dominasi laki-laki, hingga dimetaforkan sebagai penis yang berkuasa. Tong (2006:266) menegaskan pembebasan perempuan membutuhkan, paling tidak, penghapusan lembaga laki-laki untuk menguasai perempuan. Perlawanan dalam puisi Kebiri merupakan penyeruan sebagai penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap sebagai pelegitimasi kekuasaan laki-laki yang sarat memberikan kebebasan dan mempersempit kebebasan perempuan. Ruh yang terdapat dalam puisi itu ialah perjuangan untuk menghapuskan benih lembaga untuk menguasai dan mempersempit ruang lingkup kebebasan perempuan.


Pemberontakan terhadap adanya pembedaan gender laki-laki dan perempuan, baik bersifat biologis maupun pemberontakan kebijakan politis merupakan karakteristik yang dapat digolongkan sebagai semangat feminisme. Karakteristik tersebut sangat terasa dalam puisi YKdalam kumpulan puisi Melati di Pahaku.


Penutup


Cinta yang terfregmentasi dalam puisi-puisi YK merupakan cinta yang menempatkan perempuan dalam ranah kesunyian. Posisi perempuan dalam kesunyian akibat pengkhianatan cinta dari sang kekasih memicu adanya kebencian antara laki-laki dan perempuan yang semula saling mencintai. Bergesernya dari rasa cinta ke rasa benci antara laki-laki dan perempuan menurut Fromm disebut sebagai elemen antagonis yang memicu kecemasan, hingga berubah menjadi kebencian.


Selain itu, puisi-puisi YK merupakan usaha pembebasan perempuan dari dominasi patriarki. Seruan-seruan yang terkandung dalam puisi-puisinya merupakan seruan terhadap perempuan untuk tidak selamanya menerima kondisi yang memosisikan dirinya pada inferior, sedangkan laki-laki menempati popsisi sebagai makhluk superior.


YK juga mempermasalahkan perbedaan tubuh (biologis) perempuan dengan laki-laki yang menyebabkan adanya penindasan pada pihak perempuan. Penindasan yang dialami perempuan dapat dirujuk pada pemerkosaan yang seakan-akan memosisikan perempuan sebagai pihak yang sekadar “dinikmati” laki-laki, sedangkan laki-laki seakan-akan berkuasa atas tubuh perempuan. Dalam puisi Kebiri, YK mulai mengadakan perlawanan dalam ranah politik yang dianggap berusaha melembagakan dominasi patriarki.


Dari berbagai puisi YK yang dikaji dalam tulisan ini, puisi-puisi tersebut dapat dijadikan rujukan sebagai karya sastra yang menjadikan objek cinta, seksualitas, serta upaya pembebasan dunia perempuan terhadap dominasi laki-laki. Kajian mengenai puisi-puisi YK yang terkumpul dalam Melati di Pahaku semoga dapat memperluas kajian terhadap perempuan penulis yang memperjuangkan dunia perempuan.







Daftar Rujukan


Arba’in, Armini. 2007. Citra Wanita Pekerja dalam Novel-novel Indonesia: Analisis Kritik Feminis. Padang: Lustrum V Fakultas Sastra Universitas Andalas


Cavallaro, Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya. terjemahan Laily Rahmawati. Yogyakarta: Niagara


Djajanegara, Soenarjati. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama


Fromm, Erich. 2007. Cinta, Seksualitas, Matriarki: Kajian Komprehensif tentang Gender. Terjemahan Pipiet Maizier. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra


Hawasi. 2003. Eksistensialisme Mohammad Iqbal. Jakarta: Wedatama Widya Sastra


Ibrahim, Idy Subandi. Imaji Perempuan di Media: Representasi dan Resistansi di Balik Idealisme Wacana Tubuh. Dalam Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra


Kartika, Yunis. 2007. Melati di Pahaku. Bandung: Chibi

Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra


­­Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Santas, Gerasimos. 2002. Plato dan Freud: Dua Teori tentang Cinta. Terjemahan Kornad Kebung. Maumere: LPBAJ


Sofia, Adib dan Sugihastuti. 2003. Feminisme dan Sastra: Menguak Citra Perempuan dalam Layar Terkembang. Bandung: Katarsis


Tong, Rosemaria Putman. 2006. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Terjemahan Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra




Baca Selanjutnya