Senin, 28 April 2008

HERMENEUTIK

MULAINYA “PERSETUBUHAN”: SEBUAH KISAH NYATA

Oleh: Heru Susanto

Kisah nyata ini tampaknya memang harus saya ungkapkan dalam media yang cukup terbatas. Kisah ”persetubuhan” kali ini mulai teringat ketika salah satu mahasiswa mengajak saya dalam acara seminar proposal penelitian (skripsi). Salah satu proposal yang diajukan dalam seminar itu mengkaji salah satu kumpulan cerita pendek karya Gus Mus. Kajian yang digunakan untuk membedah cerpen tersebut ialah fenomenologi. Sekali lagi, kisah yang tertulis dalam tulisan ini merupakan kisah nyata yang sejauh ini masih dalam ingatan saya.

Yang menarik dari penelitian itu terlihat ketika penyaji mengungkapkan gagasannya mengenai fenomenologi yang juga didukung dengan kajian hermeneutik. Penyaji mengungkapkan bahwa untuk menggunakan kajian fenomenologi yang sarat dengan pandangan folosofis Hussrel, kajian tersebut juga didukung dengan pandangan hermeneutik. Penelitian ini secara umum memang menggunakan dua kajian yang berbeda, yakni kajian filosofis fenomenologi dan hermeneutik.
Karena meletakkan dua pandangan yang terkesan berbeda, tidak heran ada salah satu peserta dalam seminar tersebut yang menegaskan untuk menggunakan salah satu dari kedua kajian itu. Sebenarnya, untuk menjawab permasalahan yang diajukan oleh salah satu peserta tersebut, perlu adanya penjabaran yang komprehensif mengenai fenomenologi dan hermeneutik. Hal itu disebabkan penelitian yang diajukan oleh penyaji lebih menggunakan konsep fenomenologi yang dikembangkan oleh Heidegger. Ketika kajian fenomenologi melibatkan nama besar filosof eksistensialis, Heidegger, kajian fenomenologi tersebut tampaknya memang harus bersinggungan dengan pandangan hermeneutik yang digagasnya.

Tulisan ini bukan untuk menjawab pertanyaan peserta seminar secara komprehensif, tetapi lebih mengarah pada diskusi lebih lanjut mengenai pemahaman awal tentang fenomenologi dan hermeneutika yang muncul bersamaan.

Hermeneutik

Hermeneutik pada dasarnya merupakan kajian interpretasi (penafsiran) terhadap teks yang pada awalnya lebih diidentikkan sebagai kajian teologi untuk mendekati bibel dan kajian filologi. Dalam kajian filologis, Friedrich Ast dan Frederich August Wolf merupakan dua tokoh yang sangat berpengaruh. Friedrich Ast berpandangan bahwa hermeneutik merupakan teori yang membangkitkan makna geistige (spirit) teks yang sangat bermanfaat bagi studi filologi untuk menangkap spirit antiquitas (zaman atau barang-barang purbakala), sehingga dapat diterima dengan jelas. Bagi Friedrich August Wolf , hermeneutik merupakan kaidah-kaidah untuk menangkap pemikiran yang terdapat dalam teks yang sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pengarang. Dalam hal ini, hermeneutik lebih dipandang sebagai kaidah interpretasi dialog dengan pengarang. Kedua tokoh tersebut merupakan landasan pijak untuk lebih mengembangkan kajian hermeneutik oleh tokoh sesudahnya..

Schleiermacher lebih memandang hermeneutik sebagai ilmu pemahaman. Pemahaman merupakan hal yang paling awal untuk mendekati sebuah teks. Pada dasarnya pemahaman ini merupakan jembatan pembuka dialog antara pembaca dengan pengarang yang tidak sekadar didasarkan pada level linguistik. Ia memberikan dua langkah untuk melakukan pemahaman, yakni memahami bahasa dan psikologis. Pada taraf umum, pemahaman difokuskan pada gramatikal, sedangkan pemahaman psikologis lebih mengacu pada bagaimana individualitas pengarang. Wilayah psikologis ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang sesuai dengan pengarang.

Lama-kelamaan, hermeneutik mengalami perkembangan sebagai ilmu yang lebih luas mengkaji tentang ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Yang termasuk dalam Geisteswissenschaften ialah semua disiplin yang menafsirkan espresi-ekspresi ”kehidupan batin manusia”, baik dalam bentuk ekspresi isyarat (sikap), perilaku historis, kodifikasi hukum, karya seni dan sastra. Dilthey ialah salah satu pemikir yang meletakkan hermeneutik sebagai fondasi Geisteswissenschaften. Ia menegaskan landasan utama hermeneutik adalah makna. Makna inilah yang dijadikan wujud pencarian pemahaman hermeneutik. Dilthey meyakini bahwa manusia ialah makhluk historis. Konsep historislah yang menjadi pandangan utamanya. Oleh sebab itu, makna pun juga tidak dapat dilepaskan dari konteksnya atau bersifat historis. Makna tidak pernah terlepas dari keseluruhan bagian-bagian yang terlihat dari sudut pandang tertentu, saat tertentu, dan bagian-bagian tertentu.

Mengenai pandangan Heidegger tentang hermeneutik, hal itu dijabarkan pada bagian berikutnya. Tulisan ini memang tidak semuanya menjabarkan pemikiran tokoh hermeneutik secara keseluruhan.

Heidegger: Fenomenologi bersifat Hermeneutik

Membicarakan fenomenologi tentunya tidak dapat diabaikan begitusaja nama Edmund Hussrel. Baginya, fenomenologi merupakan pemunculan atau penampakan dari suatu peristiwa itu sendiri. Lebih jelasnya, fenomena diterima manusia bukan dari pemikiran manusia, tetapi fenomenalah yang memberikan pada manusia. Dalam permasalahan penggunaan bahasa, pengguna bahasa tidak memberikan kekuatan pada bahasa, tetapi kekuatan bahasa telah diberikan kepada pengguna bahasa tersebut.

Fenomenologi bermakna membiarkan sesuatu mewujudkan dirinya sendiri, memberikan kebebasan sesuatu peristiwa mengungkapkannya sendiri, tanpa kita memaksakan untuk memberikan kategori kepada sesuatu itu.

Bagi Heidegger, fenomenologi pada dasarnya bersifat hermeneutis. Ia mengembalikan makna fenomenologi pada akar kata Yunani, yakni phainomenon atau phainesthai, dan logos. Heidegger mengatakan phainomenon berarti memperlihatkan dirinya sendiri, sesuatu yang termanifestasikan, sedangkan kata pha sama dengan kata Yunani pho>s, yang berarti cahaya atau terang benderang, sesuatu yang dapat dimanifestasikan, dapat terlihat. Logos menurut Heidegger merupakan sesuatu yang dipahami dalam pembicaraan. Logos juga merupakan fungsi untuk mengungkap sesuatu yang tersembunyi sehingga membiarkan sesuatu itu sebagai sesuatu yang terlihat.

Dari permasalahan itu, fonomenologi pada dasarnya memiliki wujud yang mirip dengan hermeneutik. Hal itu pada dasarnya berkaitan dengan hermeneutik yang berusaha untuk membukakan sesuatu yang tersembunyi. Menurut Heidegger, makna fenomenologis adalah interpretasi, sehingga memiliki karakteristik hermeneutis.

Hermeneutik yang digagas Heidegger memang terkesan rumit. Akan tetapi, pada dasarnya hermeneutiknya merupakan teori pemahaman yang dimaknai secara ontologis, yakni kekuatan pemahaman dikembalikan kepada potensi keberadaan sesuatu itu sendiri. Oleh sebab itu, hermenetik yang digagas oleh Heidegger juga disebut pula sebagai hermeneutik-fenomenologis.

Bila kajian yang digunakan untuk membedah sebuah karya sastra adalah fenomenologi Heidegger, hal itu tidak dapat dilepaskan dari pandangan hermeneutik yang digagasnya. Hal itu disebabkan pemikiran filosofisnya dalam Being and Time sangat bernuansa hermeneutis. Heidegger memang berhutang budi kepada Husserl, tetapi keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Husserl memandang filsafat harus bersifat empiris yang kaku (kepastian dalam sains), sedangkan Heidegger memandang filsafat sebagai pemikiran historis, sebuah penemuan kreatif, dan suatu bentuk reinterpretasi.

Dari sinilah, fenomenologi dan hermeneutik tidak lagi dipandang sebagai disiplin ilmu yang secara absolut terpisah. Bagi Heidegger, fenomenologi adalah hermeneutik dalam makna kata yang oerisinal yang menunjukkan persoalan interpretasi. Inilah mulainya ”persetubuhan” terjadi. Baca Selanjutnya

MEMANDANG MISTERI HIDUP DAN MATI: DARI NIETZSCHE KE HEIDEGGER

MEMANDANG MISTERI HIDUP DAN MATI: DARI NIETZSCHE KE HEIDEGGER
Oleh: Heru Susanto

“Heru temanku berjanjilah bila nanti bertemu dg aq, heru mau menjawab sgala ttg ambang hidup dan mati.” 22:10:18, SMS dari Nova


Orang kadang larut dalam layar ponsel sambil terseyum, cemberut, dan tidak jarang orang tertawa terbahak-bahak ketika membaca SMS. Tidak jarang pula orang jatuh cinta dan putus cinta melalui SMS. Ketika menerima SMS dari orang yang tidak dikenal, perasaan penasaran, kesal, dan kadang justru tambah senang karena dapat kenalan baru merupakan pengalaman yang wajar.

Tulisan ini merupakan pengalaman yang saya anggap lebih dari sekadar wajar, sebut saja hiperwajar. Pengalaman ini bermula dari seorang teman yang mengenalkan saya dengan salah satu temannya yang kebetulan sangat menyukai puisi dengan memberikan nomor ponsel. Dengan bangga, saya langsung mengirimkan puisi layaknya seorang pujangga yang tak kenal permisi. Saya tertarik dengan cerita teman tentang dia, karena ternyata ada juga mahasiswa Akbid (Akademi Kebidanan) yang menaruh minat pada puisi. Dari situlah, pertemanan mulai berlangsung hingga saat ini. Hampir setahun pertemanan terjalin, tetapi tidak pernah di antara kami yang mengenal fisik masing-masing. Yang diketahui ialah saya laki-laki dan dia perempuan, itu pun juga dari cerita teman. Hubungan melalui ponsel sebenarnya tidak sering terjadi. Hanya beberapa puisi pendek dan beberapa pesan untuk saling menanyakan kabar, layaknya komunikasi basa-basi yang terjadi.

Suatu saat, keinginan untuk bertemu akhirnya muncul juga. Saat keinginan itu muncul, pengalaman yang lebih dari sekadar wajar itu terjadi. Pengalaman itu bermula dari SMS-nya yang tiba-tiba menanyakan tentang ambang hidup dan mati. Dia menginginkan saya untuk menjawab permasalahan tentang ambang hidup dan mati bila suatu saat kami bertemu. SMS itu terlihat sangat aneh. Sebelumnya tidak pernah kami membincangkan mengenai ambang hidup dan mati.

Saya merasa pesan itu memang tidak mungkin saya jawab melalui SMS. Walaupun singkat, pesan tersebut tidak akan terjawab melalui pesan yang singkat pula. Menurut saya, pesan tersebut membutuhkan jawaban yang mendalam, akan terkesan tergesa-gesa bila dijawab tanpa membutuhkan pemikiran yang mendalam. Saat itulah, kegelisahan mulai mengejar. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengingat-ingat permasalahan tentang hidup dan mati. Dalam zaman yang didominasi oleh teknologi, permasalahan tentang ambang hidup dan mati yang seakan-akan hilang dari hiruk-pikuk informasi tiba-tiba muncul dari layar ponsel tanpa ada yang menghendaki.

Dalam kegelisahan, pemikiran Nietzsche dan Heidegger mulai sedikit mempengaruhi saya. Kedua filosof tersebut memang pernah menyinggung masalah tentang kehidupan dan kematian. Dari pemikiran kedua filosof tersebut, tulisan ini merupakan uraian tentang ambang hidup dan mati, sekaligus menjawab pesan yang bernuansa filosofis dan membutuhkan jawaban filosofis pula. Tidak tertutup kemungkinan, tulisan ini juga tidak akan menjawab pesan tersebut secara komprehensif dan mendalam. Hal itu disebabkan terlalu berisiko sebenarnya menarik pemikiran kedua filosof yang dapat dikatakan pelik tersebut dalam bentuk yang ringkas. Akan tetapi, setidaknya tulisan ini merupakan hasil perenungan yang mencoba menghindari dari pemikiran yang terkesan tergesa-gesa dan mencoba mengaitkan dari pemikiran para filosof terkemuka.


Hidup dan Mati Versi Nietzsche

Nietzsche ialah folosof Jerman yang pemikirannya dapat dikatakan radikal. Dalam berbagai karyanya, ia memosisikan manusia yang unggul sebagai pusat dari kehidupan ini. Hanya manusia unggullah yang mampu membawa kehidupan lebih bermakna. Manusia-manusia unggul ini merupakan manusia yang memiliki kekuatan, kecerdasan, dan kebanggaan. Ketiga hal tersebut harus dimiliki oleh manusia dalam menjalani kehidupan. Ketika manusia tidak memiliki ketiga hal tersebut, mereka akan tenggelam dalam kerasnya kehidupan yang dijalaninya.

Dengan pemikirannya tentang manusia unggul, ia juga secara radikal mematikan eksistensi tuhan. Baginya tuhan adalah pusat yang menyebabkan manusia itu menjadi lemah. Manusia harus bebas dari segala sesuatu yang membelenggu kebebasannya. Manusia harus menjadi pencipta dalam kehidupan ini.

Kematian tuhan merupakan kritiknya yang keras terhadap manusia-manusia yang merasa dirinya terbebani dengan dosa. Dalam Aldus Sprach Zarathustra, Nietzsche berkata “aku ajarkan kepadamu manusia unggul. Dahulu dosa yang terbesar adalah dosa melawan tuhan, tetapi tuhan sudah mati, dan bersama dia matilah pula mereka yang berdosa”. Manusia unggul merupakan ajaran yang ditekankan oleh Nietzsche. Dengan mematikan eksistensi tuhan, ia berharap bahwa manusia akan bebas menjalani hidupnya tanpa merasa ada beban untuk memajukan dirinya. Manusia harus menjadi sosok yang berani untuk menghadapi kenyataan dalam kehidupan ini, tanpa harus berpaling dari penderitaan yang akan dihadapinya.

Menurut Nietzsche, hidup harus dihadapi dengan penuh keberanian. Tanpa adanya keberanian, manusia tidak akan pernah menemukan makna dari kehidupannya. Hanya manusia yang takut menghadapi dunialah yang nantinya akan tertindas oleh manusia yang lain. Hal itu desebabkan perdamaian tidak akan pernah dimenangkan tanpa adanya peperangan, seperti yang dikatakan Nietzsche “percayalah padaku: rahasia untuk memetik buah paling besar dan kenikmatan tertinggi dari manusia adalah hidup dengan bahaya (gefahrlichleben)! Dirikanlah kota-kotamu di lereng gunung Vesuvius. Kirimkanlah kapal-kapalmu ke samudera yang belum dipetakan! Hiduplah dalam perang melawan sesamamu dan dirimu sendiri!”. Pernyataan tersebut pada dasarnya menyeru kepada manusia untuk berani menghadapi bahaya dalam hidup ini. Dengan bahasa yang radikal, Nietzsche menghimbau manusia untuk untuk mengadakan peperangan dengan manusia lain serta dirinya sendiri. Apa yang dikatakannya pada dasarnya dapat diinterpretasi sebagai semangat untuk menjadi manusia yang berani menghadapi kekerasan dalam hidup dan berani menghadapi dirinya sendiri yang sering menyeret pada ketakutan dan kemalasan.

Kunci utama Nietzsche dalam memandang kehidupan ialah berpusat pada kehidupan itu sendiri. Baginya, manusia harus menghadapi segala yang ada dalam kehidupan ini tanpa berpaling darinya. Hal itu disebabkan manusia akan memperoleh makna kehidupan yang telah lama dicari dengan jalan menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang dialaminya ketika berada dalam kehidupan. Inilah yang disebut oleh Nietzsche sebagai Ubermensch. Menurut Sunardi, Ubermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling pada dunia dan menengok ke seberang dunia.

Nilai kehidupan manusia dapat ditemukan ketika manusia berani menghadapi segala penderitaan yang terjadi dalam kehidupan. Manusia tidak harus takut terhadap penderitaan, sebab penderitaan akan mengantarkannya pada kenikmatan kehidupan itu sendiri. Hidup adalah kenikmatan yang harus dihayati sedalam-dalamnya.

Nietzsche tampaknya juga menempatkan hal yang sama ketika memandang kehidupan dan kematian. Kehidupan harus dihadapi dengan penuh keberanian, begitu juga dengan kematian. Nietzsche berkata “kematianku kupujikan, maut yang bebas dan datang padaku oleh karena aku menghendakinya. Bebas untuk mati dan bebas dalam maut, mampu berkata ‘tidak’ dengan ikhlas bilamana saat untuk berkata ‘ya’ telah lewat…”.

Dengan demikian, kematian menurut Nietzsche juga harus dihadapi dengan penuh keberanian, seperti menghadapi kehidupan. Kematian tidak perlu ditakutkan, sebab kematian memang harus dihadapi. Ketika manusia bebas dalam kehidupan, manusia juga harus bebas dalam kematian.

Bila ditarik sebuah benang merah dari sudut kehidupan dan kematian, ambang hidup dan mati manusia harus dihadapi penuh dengan kebebasan dan keberanian. Ketika manusia berada dalam ambang hidup dan mati, manusia tidak akan mampu lari darinya, sebab itulah kenyataan yang harus dihadapi. Hal itu dapat dikembalikan pada saat manusia menghadapi kehidupan. Mereka tidak akan mampu berpaling dalam kehidupan. Salah satu jalan adalah menghadapi dengan keberanian.

Hidup dan Mati Versi Heidegger

Heidegger ialah salah satu pemikir terkemuka dalam kancah filsafat Barat yang pemikirannya dipengaruhi oleh Nietzsche. Ia sangat tertarik dengan pemikiran Nietzsche dan berusaha untuk membuat ulasan-ulasan mengenai pemikirannya yang dibukukan dalam judul: (1) Nietzsche: The Will to Power as Art, (2) Nietzsche: The Eternal Resurrence of the Same, (3) Nietzsche: The Will to Power as Knowledge and as Metaphysics, dan (4) Nietzsche: Nihilism.

Kehidupan bagi Heidegger merupakan kondisi di mana manusia memahami dirinya sendiri. Hidup adalah pusat dari makna yang harus diraih oleh manusia. Akan tetapi, untuk menemukan makna dalam kehidupan, manusia harus berhadapan dengan waktu. Bagi Heidegger, waktu adalah tempat beradanya manusia. Kehidupan ini adalah waktu. Hal itu disebabkan kehidupan ini tidak pernah terpisahkan oleh waktu. Waktu bukanlah sesuatu yang dapat dicandra. Waktu adalah segala sesuatu yang memenuhi dunia tempat manusia berada. Kehidupan berada pada medan waktu. Tidak satu pun kehidupan yang dapat melepaskan diri dari waktu.

Dalam menjalani hidup, manusia harus memperhatikan waktu dengan penuh kesadaran. Menurut Hardiman, Heidegger dapat disebut debagai sang penjinak waktu. Pemikiran Heidegger memang terpusat pada keberadaan manusia yang tidak pernah terlepas dari waktu. Waktu itu ‘liar’ jika manusia diseret dan didekte olehnya, sehingga manusia tidak lagi mampu menghayati hidup. Keliaran waktu dapat ditemukan ketika manusia telah larut dalam aktivitas keseharian. Aktivitas tersebut dapat ditemukan saat manusia bangun pagi, ke kantor, makan siang, ke mall untuk belanja, olah raga, pulang ke rumah, nonton televisi, tidur, dan seterusnya. Ketika manusia telah larut dalam aktivitas keseharian tersebut, manusia telah didekte oleh waktu. Tidak ada kesempatan manusia untuk merenungkan keberadaan dirinya. Yang ada hanya kesibukan yang memenuhi kehidupan manusia. Semua aktivitas seakan-akan telah terjadwal dengan ketat. Waktu telah mengambil alih kesadaran manusia. Saat itu, manusia telah kehilangan kesadarannya. Manusia tidak lagi berpikir siapa, dari mana, dan mau ke mana arah tujuannya.

Larutnya manusia dalam keseharian telah diperparah dengan adanya teknologi yang semakin pesat. Kebudayaan telah mengikat manusia untuk larut dalam aktivitas keseharian. Waktu telah digunakan dalam dunia layar (televise, ponsel, komputer, game). Ketika manusia telah larut dalam kondisi seperti itu, waktu telah mengambil alih kesadarannya. Saat itulah, waktu dapat dikatakan liar.

Waktu itu ‘jinak’ bukan berarti manusia mampu mengontrolnya, melainkan membuka diri terhadapnya dan menghayati sebagai dirinya sendiri. Manusia tidak akan pernah mampu mengontrol waktu. Hal itu disebabkan waktu terus mengalir selama kehidupan itu berjalan. Waktu tidak dapat dihentikan. Jadi, perlu direnungkan kembali bila ada yang mengatakan “kita harus mengontrol waktu”. Seperti yang telah dikatakan, waktu tidak dapat dikontrol, sebab waktu tetap mengalir dalam kehidupan ini. Bagi manusia, waktu akan berhenti jika manusia itu sendiri telah berhenti menjalani kehidupan, atau mati. Menurut Heidegger, waktu adalah manusia itu sendiri. Bila manusia itu mati, waktu juga akan berhenti ketika kehidupannya berakhir.

Dalam bahasan ini, kehidupan adalah proses manusia untuk membuka diri terhadap waktu. Ketika manusia larut terhadap aktivitas keseharian, manusia telah dikontrol oleh waktu dan mereka kehilangan makna kehidupan yang ia dapatkan. Akan tetapi, ketika manusia mengalami perenungan tentang keadaan dirinya, ia mulai sadar akan eksistensinya. Saat itulah, manusia berada pada kesadaran akan dirinya. Kadang kala, keadaan seperti itu dialamai oleh manusia ketika telah mengalami sesuatu yang mengarah pada kegagalan. Dalam kegagalan, manusia kadang baru sadar dan merenungkan tetang dirinya yang telah terperosok pada ranah kegelisahan. Dalam kegelisahan inilah, internalisasi (penghayatan) tentang kehidupan mulai berjalan. Dari hasil internalisasi, muncullah keputusan-keputusan untuk menghadapi kehidupan selanjutnya.

Ketika mengarahkan pemikiran Heidegger tentang keseharian, Hardiman menggambarkan kehidupan manusia seperti seseorang yang sedang berenang. Ketika manusia menenggelamkan kepalanya ke dalam air, saat itu, manusia larut ke dalam aktivitas keseharian, seperti makan pagi, kerja, makan siang, belanja di mall, pulang, istirahat, dan seterusnya. Pada saat manusia mengeluarkan kepala ke atas permukaan air, saat itu, manusia berada dalam perenungan eksistensinya. Manusia sadar bahwa dirinya berada dalam kehidupan ini dan akan mengambil keputusan untuk menjalani hidupnya. Akan tetapi, manusia cenderung berada di dalam air. Manusia sering terseret aktivitas keseharian. Tidak banyak manusia yang mampu berada dalam kesadaran. Manusia memiliki kecenderungan merenungkan keberadaannya atau eksistensinya ketika mengahadapi sebuah permasalahan yang membuat dirinya terpaksa untuk menyisihkan waktu untuk merenung.

Heidegger juga menegaskan untuk memahami kehidupan, manusia tidak dapat dipisahkan dari kematian. Bagi Hardiman, bahasan Ada-Menuju-Kematian yang diungkapkan Heidegger menjelaskan bahwa manusia harus merenungkan kematian. Kematian penting untuk kehidupan, sebab ketika manusia merenungkan kematian, manusia juga akan merenungkan kehidupan.

Eksistensi manusia dalam kehidupan, menurut Heidegger dapat digambarkan sebagai manusia yang terlempar di dunia ini, terbenam dalam keseharian, dan akhirnya mati. Manusia cenderung menghadapi dunia ini dengan larut dalam aktivitas keseharian yang tidak pernah mempertanyakan keberadaan dirinya. Secara jelas, manusia mengalami kehidupan ini apa adanya, mengalir begitu saja tanpa ada renungan-renungan yang mendalam.

Seharusnya, manusia tidak hanya berkata bahwa semua manusia pasti akan mati jadi tidak perlu ditakuti. Ketika manusia berpikir seperti itu, manusia tidak lagi merenungkan kematian. Kematian hanya dianggap sesuatu yang pasti dialami dan tidak perlu ditakuti. Dalam memandang kematian, pemikiran Heidegger cenderung berbeda dengan pemikiran Nietzsche. Nietzsche lebih memandang kematian sebagai sesuatu yang tidak perlu ditakuti, sedangkan Heidegger memandang kematian merupakan suatu hal yang harus direnungkan untuk mendalami makna kehidupan. Bagi Heidegger, keberadaan manusia yang otentik justru ketika manusia mengalami kecemasan terhadap kematian, sedangkan keberadaan manusia inotentik justru ketika manusia menganggap kematian pasti menimpa setiap orang dan tidak perlu direnungkan.

Apa itu Ambang Hidup dan Mati?

Sebelumnya telah diuraiakan mengenai hidup dan mati dari pemikiran Nietzsche dan Heidegger. Kedua pemikiran tersebut pada dasarnya memang tidak pernah mengaitkan dengan ajaran agama. Bagi kedua pemikir tersebut, penjelasan mengenai hidup dan mati yang diajarkan oleh agama adalah suatu doktrin. Doktrin agama bagi kedua pemikir tersebut terlalu membatasi pemikiran manusia. Nietzsche menganggap bahwa dogma agama tidak ada bedanya dengan jeruji besi yang membelenggu pemikiran manusia. Manusia tidak mampu memberikan nilai pada kehidupannya. Dengan berpikir tentang dosa, manusia menjadi makhluk yang lemah. Oleh sebab itu, eksistensi tuhan dimatikan oleh Nietzsche. Dengan matinya tuhan, mati pula segala manusia yang berdosa. Tidak ada lagi ada manusia yang berdosa. Yang ada hanya manusia-manusia bebas. Pilihan hidup ada ditangan manusia, bukan diatur dari luar diri manusia. Menurut Foucault, sebenarnya yang terjadi adalah kematian manusia (la mort de l’homme) itu sendiri.

Dalam kehidupan yang serba cepat ini, manusia tidak lagi menanyakan tentang ambang hidup dan mati. Kecepatan yang dukung oleh teknologi menyebabkan manusia terlalu lama larut dalam rutinitas keseharian. Manusia cenderung menganggap kematian merupakan sesuatu yang pasti ada dan semuanya pasti akan mengalami. Tetapi, mereka tidak pernah menanyakan kedudukan manusia antara hidup dan mati. Heidegger pun hanya menghimbau manusia untuk merenungkan tentang kematian. Dengan merenung tentang kematian, manusia akan merasakan bahwa dirinya hidup.

Apa itu ambang hidup dan mati? Benarkah ambang hidup dan mati datang ketika manusia berada pada detik-detik kematian? Untuk memahami hakikat ambang hidup dan mati, pemikiran harus menyertakan posisi manusia dalam ambang hidup dan mati. Ambang hidup dan mati tidak sekadar ketika manusia berada pada detik-detik kematian. Bila ambang hidup dan mati dipahami sebagai kondisi manusia ketika tercerabutnya nyawa dari tubuh, hal itu justru mempersempit hakikat ambang hidup dan mati. Ketika dipahami seperti itu, manusia tidak akan memikirkan kedalaman hidup yang dilaluinya. Sampai saat ini, ambang hidup dan mati memang dipahami sebagai sakaratul maut. Tetapi, pada dasarnya, ketika manusia berada di mall, di kantor, di perjalanan, di masjid, di sekolah, di tempat pelacuran, dan di mana pun manusia berada, mereka semua pada posisi ambang hidup dan mati. Di mana pun mereka berada, mereka tetap pada ambang hidup dan mati.

Ambang hidup dan mati sebenarnya tidak lain adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan ini merupakan tempat manusia berada pada posisi hidup dan mati. Hal itu disebabkan manusia tidak akan pernah tahu kapan datangnnya kematian pada dirinya. Kehidupan yang dilaluinya bisa saja berhenti seketika ketika kematian tiba-tiba menjemputnya. Tidak ada yang tahu kapan datangnya kematian. Orang yang baru saja bersenang-senang di mall bisa saja tiba-tiba meninggal dalam perjalanan karena kecelakaan. Inilah ambang hidup dan mati. Untuk mengetahui posisi manusia berada pada ambang hidup dan mati, manusia tidak perlu harus berada terlebih dahulu dalam sakaratul maut, baru dapat dikatakan berada pada ambang hidup dan mati.

Manusia sebenarnya hidup di dunia adalah keterlemparan manusia pada ambang hidup dan mati. Manusia tidak memiliki pilihan untuk dihidupkan dan dimatikan. Tanpa pilihan, manusia terlahir di dunia dan menjalani kehidupan sekaligus menanti kematian. Kematian adalah penantian akhir kehidupan di dunia. Ketika dalam penantian kematian, manusia berada pada ambang hidup dan mati.

Ketika manusia menyadari akan keberadaannya dalam ambang hidup dan mati, manusia akan merenungkan makna kehidupan yang paling dalam. Keberadaannya dalam ambang hidup dan mati membuat manusia lebih mencari makna hidup yang dijalaninya. Kehidupan tidak ada bedanya dengan keberadaan manusia pada daerah yang berkabut tebal. Pandangan tidak mampu menembus terlalu jauh jarak dari hadapan. Dalam keadaan tersebut, manusia harus menggunakan perasaan dan pikiran untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan dilewati, sebab jurang dan pedang siap melemparkan dan menebas leher dalam kegelapan kehidupan.

Dalam agama pun, manusia dianjurkan untuk merenungkan bahwa kematian setiap saat akan datang. Oleh sebab itu, manusia harus memberikan makna pada kehidupannya, dengan jalan menjalankan ibadah yang telah ditetapkan. Pada dasarnya, agama pun juga tidak membatasi ambang hidup dan mati pada saat manusia dalam sakaratul maut. Agama juga mengajarkan untuk berada pada kesadaran tentang maut kapan saja akan datang bila sudah ditetapkan dan ketetapan itu tidak akan pernah terjamah oleh pemikiran manusia. Dalam hal ini, rasio telah tumbang. Agama pada dasarnya memberikan jejak berpikir bahwa manusia selalu dalam ambang hidup dan mati. Oleh sebab itu, manusia tidak harus terlalu lama tenggelam dalam aktivitas keseharian. Manusia harus memberikan makna pada kehidupannya.

Apa itu detik-detik kematian? Ketika ada korban kecelakaan, yang satu telah meninggal di tempat kejadian dan yang satunya lagi dalam keadaan kritis. Korban yang dalam kondisi kritis dengan nafas yang berat hingga dadanya naik turun, darahnya keluar dari mulut, telinga, hidung, karena benturan yang cukup keras tepat di kepalanya inilah detik-detik kematian. Saat membahas mengenai detik-detik kematian, kita boleh merujuk pada sakaratul maut. Salah satu contoh tersebut merupakan kondisi manusia dalam detik-detik kematian. Akhir kehidupan mulai menanjak pada klimaks kehidupan.

Dalam detik-detik kematian, puncak pengalaman kehidupan mulai dilalui manusia. Kenikmatan tertinggi dari kehidupan terletak dalam detik-detik kematian. Korban kecelakaan yang meninggal di tempat kejadian, sudah melewatkan puncak kenikmatan kehidupan, sedangkan korban yang dalam kondisi kritis dalam keadaan puncak kenikmatan kehidupan. Yang pasti ialah pengalaman hidup yang tertinggi adalah detik-detik kematian, karena manusia tidak mampu melewati detik-detik kematian untuk kedua kalinya. Dalam keadaan tersebut, evaluasi kehidupan benar-benar berjalan. Baca Selanjutnya

Selasa, 15 April 2008

CINTA DAN PEMBEBASAN DUNIA PEREMPUAN DALAM MELATI DI PAHAKU KARYA YUNIS KARTIKA

CINTA DAN PEMBEBASAN DUNIA PEREMPUAN DALAM MELATI DI PAHAKU KARYA YUNIS KARTIKA

Oleh: Heru Susanto*



Abstrak


Melati di Pahaku” merupakan kumpulan puisi Yunis Kartika yang didominasi nuansa cinta antara laki-laki dan perempuan. Dalam perjalan cinta, perempuan merupakan individu yang mengalami kesunyian akibat pengkhianatan seorang kekasih. Hal itu menyebabkan adanya pergeseran dari cinta menjadi kebencian yang mengarah terhadap seruan pembebasan perempuan. Puisi tersebut juga menyuarakan adanya penindasan yang disebabkan kondisi biologis perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Perlawanan juga mengarah pada wilayah politik yang berusaha melembagakan dominasi patriarki terhadap matriarki. Puisi-puisi Yunis Kartika yang terkumpul dalam “Melati di Pahaku” merupakan puisi yang bernuansa cinta serta mengandung semangat feminisme.


Kata Kunci: cinta, pembebasan, patriarki, matriarki, Feminisme



Pendahuluan


Proses penulisan kreatif tidak dapat dihindarkan dari penggunaan kemampuan perasaan dalam menciptakan karya yang bermakna. Kekuatan makna dalam sebuah karya sangat ditentukan oleh keberanian dan intensitas kontemplasi (perenungan) terhadap segala realita yang ada. Karya akan muncul bila pengalaman yang merupakan pusat kekuatan dituangkan dalam media, seperti goresan warna dalam seni rupa, keharmonisan nada dalam seni musik, dan khususnya rangkaian kata dalam seni sastra.


Puisi sebagai salah satu genre sastra memberikan pandangan yang luas melalui bahasa pilihan sebagai ekspresinya. Dalam puisi, pengalaman yang luas dan dalam dapat dinikmati dalam kata-kata yang sederhana dan terkesan pendek. Permasalahan yang kompleks sekalipun dibangun melalui kata-kata yang ringkas. Namun, kesederhanaan dan keringkasan kata tidak menyurutkan makna dalam mengungkapkan permasalahan. Kekayaan dan kedalaman kehidupan dapat diserap oleh penikmat puisi dengan cara menghayati secara mendalam. Kenyataan tersebut dapat dikatakan sebagai pemadatan bahasa yang penuh kedalaman elemen makna. Hal itulah yang tampaknya melatarbelakangi Nirwan Dewanto dalam pertemuan lima penyair pada Festival Seni Surabaya (FSS) 2007 mengatakan bahwa puisi merupakan penguasaan bahasa yang tertinggi.


Dalam kumpulan puisi Melati di Pahaku, Yunis Kartika (selanjutnya ditulis YK) berusaha membidik fenomena dalam kehidupan yang sangat kompleks dan merupakan salah satu misteri dalam kehidupan, yakni cinta dan dunia perempuan. Keberadaan cinta dalam kehidupan merupakan bahasan yang tidak pernah terselesaikan untuk didiskusikan. Banyak tokoh berusaha membedah hakikat cinta, hingga memunculkan berbagai teori cinta. Akan tetapi, cinta seakan-akan merupakan ruang yang tak berdinding pembatas, tak beralas, serta tak beratap. Manusia sepertinya tak pernah dapat menjangkau batas-batasnya. Plato (dalam Santas, 2002), filosof Athena (427-347 SM), mengemukakan bahwa cinta ada demi kebaikan yang harus dimiliki seseorang seumur hidup. Dengan cinta, manusia dapat memiliki kebaikan yang abadi untuk menjaga kebaikan dengan tujuan yang tertinggi.


Mohammad Iqbal (dalam Hawasi, 2003:42-43), sastrawan serta filosof eksistensialis pendiri negara Pakistan, menyatakan bahwa cinta merupakan kekuatan yang mampu memberikan keberanian manusia dalam menghadapi segala permasalahan. Hal itu diungkapkan dalam puisinya sebagai berikut.


Bila ego diperkuat dengan cinta

Tenaganya menguasai dunia semesta

Langit menguasai angkasa dengan bintang-bintang

Tangannya menjadi tangan Tuhan

Bulan pecah oleh jari-jemarinya

Dialah pelerai dalam semua sengketa dunia”



Cinta yang digagas oleh kedua pemikir tersebut merupakan sebagian kecil dari usaha untuk mendekati hakikat cinta. Usaha tersebut belum dapat dikatakan final. Hal itu disebabkan cinta tidak mengenal batas yang pasti. Oleh sebab itu, perlu dipertanyakan kembali pernyataan yang menyatakan cinta itu buta serta cinta itu indah. Dunia perempuan juga tidak dapat dipisahkan dalam kajian mengenai cinta. Hal itu disebabkan kajian mengenai cinta tidak dapat dilepaskan dari kajian gender. Permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini difokuskan pada cinta dan dunia perempuan yang penuh dengan perlawanan terhadap struktur patriarki. Bagaimana YK membidik cinta dan dunia perempuan dalam dunia estetika?


Cinta sebagai Legitimasi Dominasi Laki-laki terhadap Perempuan


Dalam penciptaan sebuah puisi, bahasa memiliki peran utama. Bahasa tersebut digunakan untuk membangun maksud yang akan diungkapkan oleh seorang penyair. Bahasa merupakan pembungkus gagasan yang menjadikan latar-belakang penciptaan karya. Gagasan yang diungkapkan YK dalam puisinya tidak terlepas dari cinta.

Seperti yang telah diungkapkan di depan, cinta tidak memiliki batas yang pasti. Oleh sebab itu, cinta memiliki makna yang dapat dikatakan tak terbatas, sehingga tidak jarang sastrawan sering mengangkat permasalahan cinta dalam karyanya. YK dalam puisinya menggambarkan cinta yang memang terkesan nakal, bebas, dan tanpa basa-basi. Hubungan cinta laki-laki dan perempuan, baik suka maupun luka, dapat ditemukan hamper di semua puisinya. Gambaran laki-laki dan perempuanlah yang memberikan kekuatan tersendiri dalam karyanya. Permasalahan cinta digambarkan dalam puisi berjudul Pemuaraan Rahasia.

Kau yang hadir tak bisa utuh

Nyatanya mampu menenggelamkan

Rangkaian merdu kalimat sakti

Meluluhlantahkan batu karang di hati


Terlalu gelap jalan yang kita susuri

Padahal tangan kita bergandengan

Atau sebab satu tanganmu

Masih menggenggam tapak di belakang

Hingga hanya satu tangan yang bisa kugapai



Puisi di atas tampaknya mengungkapkan kondisi jiwa yang penuh ketidakpastian. Ketidakpastian tersebut disebabkan adanya ketidakpercayaan mengenai cinta yang dijalani. Permasalahan yang terungkap merupakan permasalahan cinta yang bersifat mendua. Cinta yang diinginkan tidak dapat seutuhnya dimiliki. Ada cinta lain yang masih berpengaruh pada seseorang yang dicintainya. Hal itu dapat ditemukan pada baris atau sebab satu tanganmu/masih menggenggam tapak di belakang/hingga hanya satu tangan yang bisa kugapai. Melalui baris puisi tersebut gagasan yang tadinya abstrak lebih tampak konkrit. Seseorang yang dicintai dikisahkan masih memiliki seseorang yang lain yang tidak dapat dipisahkan dan dimetaforkan sebagai tangan yang masih menggenggam tapak di belakang. Masih menggenggam tapak di belakang dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang disembunyikan, yakni rasa cinta terhadap yang lain.


Cinta yang mendua tersebut sebenarnya disadari. Baris kau yang hadir tak bisa utuh/nyatanya mampu menenggelamkan merupakan pernyataan mengenai kekuatan cinta yang sebenarnya tidak dapat mencintai secara penuh, namun mampu membuat seseorang jatuh hati. Bila dicermati, ada kesadaran yang menegaskan bujuk rayu. Bujuk rayu inilah yang membuat perasaan cinta mampu tumbuh dalam setiap hati manusia. Bujuk rayu lebih dikonkritkan oleh pengarang melalui rangkaain merdu kalimat sakti. Dengan kalimat yang penuh rayu, cinta pun akhirnya muncul dari lubuk hati.


Kekuatan bahasa juga diakui oleh pengarang. Bahasa yang dimaksud ialah bahasa yang digunakan sebagai alat untuk menaklukkan hati seorang perempuan. Penaklukan dilakukan dengan menggunakan bahasa yang dikiaskan pengarang sebagai kalimat sakti. Diksi yang digunakan dalam puisi tersebut memang merupakan diksi yang sederhana, namun mampu mengungkapkan gagasan yang cukup segar mengenai cinta yang di dalamnya penuh rahasia seperti yang difregmentasikan dalam judul puisi tersebut. Inilah yang disebut pengarang sebagai pemuaraan rahasia. Pada dasarnya, cinta tetap menjadi rahasia bagi seseorang yang dicintai. Seberapa besar cinta yang diterima dari kekasihnya tidak akan pernah mampu ia ketahui secara pasti. Hal itu tampaknya dikemukakan oleh penyair sebagai dominasi laki-laki terhadap perempuan.


Kemisterian jalinan kasih tampak jelas pada puisi berjudul Labirin Rahasia. Kisah cinta diekspresikan berdasarkan rasa ketidakpastian. Hubungan yang tampak seperti mimpi indah yang pada saat mata terbuka telah menguap entah ke mana. Keindahan yang sementara tampak dalam kutipan puisi berikut.


seperti mimpi bersijingkat pergi

harapan yang juga hengkang

asa menguap selaksa asap

gulana menikam pasti

kita serupa misteri



Dalam puisi di atas, ada permainan diksi yang dapat dikatakan lincah. Penggunaan metafor yang menarik terlihat pada kata mimpi sebagai gambaran keindahan yang semu. Penggunaan metafora juga diperkuat lagi dengan personifikasi seperti pada baris mimpi bersijingkat pergi/harapan yang juga hengkang/asa menguap selaksa asap. Perpaduan metafor dan personifikasi memberikan gagasan yang abstrak lebih tampak konkret. Strategi tersebut merupakan keunggulan dalam puisi untuk menceritakan sesuatu yang tidak jelas menjadi jelas. Sesuatu yang tidak dapat ditangkap panca indra manusia, tidak jelas, dan tidak pasti dimunculkan sebagai sesuatu yang seakan dapat ditangkap oleh panca indra.


Puisi
Labirin Rahasia lebih menarik karena sesuatu yang abstrak dikonkritkan dengan permainan kata yang ditempatkan pada tempat yang sesuai. Asa menguap selaksa asap merupakan gambaran keputusasaan yang mengundang kekecewaan. Harapan digambarkan seperti asap yang keberadaannya sementara dan hilang ditiup angin. Kata yang berpengaruh untuk memperkuat gagasan terletak pada kata mimpi dan asap sebagai metafora. Keindahan yang didapat dalam memadu kasih dalam puisi tersebut digambarkan sebagai sesuatu yang sementara dan hanya meninggalkan kebingungan yang berujung pada rasa sakit seperti gulana menikam pasti. Fenomena seperti ini tidak pernah terlepas dari kisah cinta purba. Senang dan luka dalam bercinta seperti dua sisi mata uang yang tidak pernah terpisahkan. Hal itulah yang menyebabkan penyair menganggap fenomena tersebut seperti misteri tanpa henti.


Rasa kecewa dan sakit juga dibidik secara pasti oleh penyair dalam puisi yang berjudul Patah.


Cintaku patah

Dikulum patah senyummu


Puisi tersebut sangat pendek dan padat. Kekecewaan terhadap cinta membuat segala kesedihan tertuang dalam kealpaan. Puisi Patah bila dicermati akan menimbulkan efek yang sunyi. Kesunyian tersebut menghadirkan suasana kesedihan yang begitu dalam. Ada pilihan kata yang mengisyaratkan kesedihan dan kekecewaan. Kekuatan kata tersebut terdapat pada kata patah. Kata patah diulang dalam baris puisi sebanyak dua kali serta ditekankan pada judul puisi yang juga menggunakan kata tersebut. Patah mengisyaratkan sesuatu yang telah tidak utuh lagi. Hal itu dapat ditafsirkan sebagai kesedihan, kesengsaraan, kesunyian yang dalam, serta pisahnya hubungan dengan kekasih.


Kata patah lebih terasa kuat efek maknanya pada baris Dikulum patah senyummu. Baris tersebut menegaskan adanya rasa kekecewaan terhadap cinta yang sangat diinginkan. Kekecewaan tersebut muncul ketika seseorang yang dicintai mulai tidak menganggapnya lagi atau tidak memperhatikan cintanya lagi. Hal itu dimetaforkan sebagai Dikulum patah senyummu. Cintanya patah ketika rasa sayang sang kekasih yang diwakili kata senyummu mulai tidak terlihat lagi.


Fenomena cinta yang dituangkan dalam bait buisi tersebut lebih menekankan pada kesedihan yang dialami oleh seorang perempuan dalam menikmati cinta kasih. Tampaknya permasalahan esensial dalam hal ini diarahapah pada dominasi laki-laki terhadap perempuan. Hal itu merupakan aspek penyebab adanya rasa tertindas dari pihak perempuan. Ketertindasan digambarkan dalam kesedihan akibat hubungan laki-laki dan perempuan yang berakhir pada pengkhianatan. Pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut pada akhirnya membentuk sebuah semangat pembebasan yang lebih memberikan jalan keluar terhadap perempuan dalam kesunyian yang dikonstruksi sebagai ketertindasan.


Pembebasan sebagai Elemen Antagonis



Hubungan antara lelaki dan perempuan pada dasarnya merupakan hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Perempuan seakan-akan memiliki karakteristik yang bergantung pada eksistensi laki-laki dalam ranah seksualitas. Fromm (2007:130) menegaskan kecenderungan karakter tertentu muncul dari kecemasan utama laki-laki berupa kegagalan dan muncul juga pada diri perempuan berupa rasa frustrasi dan kebergantungan. Pernyataan Fromm tersebut mengacu pada karakteristik perempuan dan laki-laki pada hubungan seksual. Perempuan memiliki karakteristik sebagai manusia yang memiliki kebergantungan terhadap kaum patriarki. Kondisi seperti itu memengaruhi status sosial perempuan yang momosisikannya pada status inferior, sedangkan laki-laki secara tidak langsung memosisikan diri pada superior.


YK merupakan perempuan penulis yang tidak melepaskan diri dari dunianya sebagai seorang perempuan. Oleh sebab itu, puisi-puisi yang digarap olehnya juga tidak terlepas dari perjuangan terhadap kaum perempuan. Bila dicermati, pada puisi-puisi yang telah dikaji sebelumnya menunjukkan adanya rasa kesunyian seorang perempuan yang ditinggalkan laki-laki. Efek yang dimunculkan dari puisi-puisi sebelumnya mengacu pada perempuan yang seakan-akan termarginalkan akibat dominasi laki-laki yang telah mencampakkan cinta perempuan.


Kondisi yang dialami perempuan tersebut dapat menimbulkan rasa frustrasi seperti yang dimaksudkan oleh Fromm. Hal itu menimbulkan hubungan cinta dapat mengarah pada hubungan perlawanan. Fromm (2007:125) menyatakan dalam hubungan laki-laki dan perempuan mempunyai kemampuan untuk mencintai sekaligus kemampuan untuk menimbulkan kebencian. Kenyataan tersebut oleh Fromm disebut sebagai elemen antagonis, yakni suatu potensialitas yang mampu membangun elemen kecemasan, sehingga orang yang dicintai dapat berubah sebagai orang yang dimusihi.


Permusuhan yang muncul akibat hubungan laki-laki dan perempuan mengarah pada seruan perempuan untuk tidak takluk pada eksistensi laki-laki. Dalam puisinya, YK menekankan semangat untuk melepaskan diri dari dunia kuasa laki-laki yang sebelumnya dituangkan dalam puisi yang telah dikupas sebagai penyebab rasa sakit hati dengan adanya pengkhianatan cinta. Semangat kebebasan tersebut terdapat pada puisi Menarilah Perempuan.

langit sore pucat

adakah alam pernah berduka

untuknya yang kehilangan banyak gairah


nyatanya hidup hanya sekutu

tanpa kompromi


cukupkan!

tumpaskan airmata

tak perlu sesegukan

buangbuang waktu di ambang pintu

menarilah, rayakan kebebasan



Puisi tersebut memberikan semangat kebebasan bagi perempuan untuk tidak terlalu hanyut dalam kesedihan dan posisi tertekan. Tekanan-tekanan makna pembebasan sangat kuat pada bait terakhir. Penyair seakan-akan memberikan sugesti untuk bersikap tegas. Cukupkan!/tumpaskan airmata merupakan baris yang penuh penegasan dari penyair untuk membebaskan diri perempuan dari rasa kesedihan dan kekecewaan tentang cinta dan kasih sayang. Dalam hal ini, penyair ingin mereduksi adanya kebergantungan perempuan terhadap laki-laki. Semangat yang dimunculkan adalah semangat pembebasan perempuan terhadap kultur budaya yang memosisikan perempuan yang seakan-akan dikonstruksi sebagai makhluk yang berada pada posisi inferior. Baris menarilah, rayakan kebebasan merupakan kekuatan gagasan yang menyatukan elemen makna keseluruhan puisi yang bertendensi pada semangat kebebasan. Perempuan harus bebas dari penderitaan, ketertekanan, dan penindasan dari dominasi patriarki merupakan gagasan yang menjadikan puisi tersebut dapat menggerakkan semangat perlawanan perempuan terhadap laki-laki.


Semangat Feminis


Feminisme dikatakan sebagai sebuah ide yang di antaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Ratna (2005) memandang feminisme dan emansipasi adalah bentuk yang sama. Hakikat keduanya adalah persamaan hak perempuan terhadap hak laki-laki. Menurut Sofia dan Sugiharti (2003:24), feminisme beda dengan emansipasi. Emansipasi cenderung menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan ketidakadilan gender, sedangkan feminisme sudah mempersoalkan hak serta kepentingan perempuan yang selama ini dinilai tidak adil.


Semangat feminis dapat digambarkan sebagai gerakan yang menyuarakan ketertindasan kaum perempuan akibat adanya dominasi dari budaya patriarki yang bertendensi sebagai pembebasan perempuan dari struktur budaya yang mengkonstruksinya sebagai manusia inferior. Kenyataan tersebut membuat posisi perempuan berada pada status individu yang mengalami ketidakbebasan dalam menentukan status sosial.


Berdasarkan hasil penelitian Bechofen (Fromm, 2007:4) mengenai hak ibu (Mother Right), struktur kultur masyarakat pada masa lalu mengacu pada perempuan. Penelitian Bechofen didasarkan analisis terhadap mitos-mitos dan simbol-simbol bangsa Romawi, Yunani, dan Mesir. Dari penilitian tersebut dihasilkan gambaran yang mengacu pada kultur matriarki, bukan patriarki. Jadi, budaya patriarki merupakan budaya yang dapat dikatakan sebagai struktur budaya yang relatif baru. Jauh sebelumnya, struktur matriarki merupakan pusat sentral dari kehidupan sosial.


Akan tetapi, dalam perkembangannya, struktur matriarki bergeser pada struktur patriarki. Dalam pergeseran struktur sosial tersebut, kaum perempuan mulai mengalami ketidaksetaraan dalam menentukan status sosial. Perempuan merupakan manusia kedua setelah laki-laki. Pusat struktur kebudayaan tidak lagi pada struktur matriarki, tetapi mulai bergeser ke struktur patriarki. Perempuan yang tadinya merupakan pusat struktur dalam kehidupan sosial telah beralih menjadi struktur di bawah laki-laki. Inilah yang menyebabkan kondisi perempuan dimarginalkan dalam status sosial masyarakat.


Struktur masyarakat dalam kenyataannya sering menempatkan perbedaan anatara laki-laki dan perempuan. Arba’in (2007:15) menegaskan adanya perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat mengakibatkan posisi perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak menguntungkan.


Dalam dunia sastra, perlawanan terhadap kuasa patriarki tampaknya semakin gencar. Para perempuan penulis, khususnya YK melakukan perlawanan terhadap struktur sosial yang menempatkan posisi perempuan dalam ranah inferior. Puisi-puisi YK memang bernuansa semangat feminisme. Hal itu disebabkan beberapa puisinya menyimpan gagasan-gagasan yang sejalan dengan semangat perjuangan feminisme, walaupun tidak semuanya digambarkan secara eksplisit. Menurut Djajanegara (2003:48), perempuan penulis, penulis feminin, maupun penulis feminis, sejak dulu hingga sekarang harus selalu berjuang melawan kekuatan-kekuatan kultural dan historis yang menilai rendah pengalaman perempuan dan karya mereka. Oleh sebab itu, puisi-puisi YK memang selayaknya dikaji dalam pandangan semangat yang memperjuangkan kondisi sosial perempuan.


Puisi YK mencoba membongkar ketidakadilan dalam struktur masyarakat. Hal ini merupakan strategi tersendiri untuk menyerukan kondisi perempuan yang mengalami ketertindasan dalam menjalankan kehidupan sebagai makhluk sosial yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Perlawanan itu terdapat pada puisi yang berjudul Tuntut Saja Tuhan!.


Jika karena kelamin

dan payudara yang mengembang

kita dinistakan


kenapa tak kita tuntut saja tuhan!



Puisi tersebut menekankan pada aspek tubuh yang menyebabkan perempuan menjadi objek dari laki-laki. Perempuan dengan tubuhnya merupakan aspek yang memunculkan hasrat birahi laki-laki terhadap perempuan. Peristiwa perkosaan sering terjadi dan hal itu juga diinformasikan dalam berbagai media massa. Hal itu menunjukkan adanya penindasan yang diterima kaum perempuan terhadap dominasi laki-laki. Tidak jarang perempuan menjadi korban dari pelecehan seksual. Pelecehen seksual tersebut tidak sekadar pada perempuan dewasa, tetapi kadang juga dialami oleh perempuan yang masih di bawah umur (belia). Kondisi seperti itu yang menjadikan puisi tersebut merupakan seruan ketertindasan kaum perempuan.


Semangat pemberontakan secara esensial dipertanyakan dengan penciptaan perempuan yang berbeda dengan laki-laki, khususnya kondisi fisik. Perempuan seakan-akan merupakan makhluk yang dijadikan objek pelampiasan hasrat seksual laki-laki. Hal itu tergambar pada Jika karena kelamin/dan payudara yang mengembang/kita dinistakan. Baris puisi menekankan pada penindasan yang dialami oleh perempuan yang diakibatkan pada kondisi fisiknya yang seakan-akan merupakan “makanan” bagi pembangkit nafsu seksual laki-laki. Hal itu juga dapat ditafsirkan bahwa puisi tersebut merupakan refleksi dari pelemparan kesalahan terhadap perempuan bila ada kasus pelecehan seksual. Masyarakat tidak jarang selalu mengacu pada kaum perempuan bila terdapat pelecehan seksual dengan dalih bentuk tubuh yang sering dipertontonkan pada umum. Hal itu menyebabkan perempuanlah yang menjadi korban dan pihak bersalah jika terdapat peristiwa pelecehan seksual. Kondisi seperti itu juga ditekankan Andrea Dworkin (dalam Cavallaro, 2004:199) dalam sistem laki-laki perempuan adalah seks; seks adalah pelacur (whore). Pelacur adalah pelacur yang terendah, pelacur yang dimiliki oleh semua penduduk laki-laki. Pernyataan itu seakan-akan merupakan titik terendah pandangan patriarki dalam memandang eksistensi perempuan.


Peristiwa tersebut juga sempat disinggung oleh Ibrahim (2006:276) mengenai perkosaan yang dilakukan oleh seorang bajingan terhadap perempuan yang dirasa terlalu merangsang dan menggiurkan. Peristiwa penganiayaan tersebut justru diberitakan dalam media massa sebagai menggagahi. Penggunaan bahasa dalam pemberitaan penindasan perempuan tersebut pada dasarnya merupakan rekronstruksi yang tidak berpihak pada perempuan. Penindasan, penganiayaan terhadap perempuan dibahasakan sebagai kegagahan. Hal itulah yang menurut Ibarahim disebut sebagai pendistorsian dan pemanipulasian bahasa.


Logika pembedaan seks/gender dalam masyarakat menghasilkan konstruk yang menyituasikan bahwa perempuan adalah perempuan secara biologis. Seolah-olah laki-lakilah yang lebih berhak atas tubuh perempuan, dia harus patuh kepada laki-laki. Menurut Beavoir (dalam Prabasmoro, 2006:59) menjadi perempuan adalah lebih dari sekadar fakta biologis, tentu saja perempuan seperti laki-laki adalah makluk hidup, tetapi pernyataan seperti ini adalah abstrak. Perempuan pada kenyataannya dibedakan atas dasar kondisi biologis yang berbeda dengan laki-laki.


Puisi Kartika juga merupakan puisi yang menyuarakan kritik yang tajam pada ranah politik, khususnya undang-undang tentang porno aksi dan porno grafi. Penyair memandang bahwa dengan adanya undang-undang tersebut justru mempertajam dominasi laki-laki terhadap perempuan. Perempuan seakan-akan berada pada posisi yang dipersulit, sedangkan kebebasan hanya untuk laki-laki. Hal itu tergambar dalam puisi yang berjudul Kebiri.


aku tak hendak jadi perempuan

jika karenanya ruu anti pornoaksi dan pornografi

disahkan

mari beramai-ramai operasi kelamin

biar tinggal penis yang berkuasa!


Penolakan terhadap undang-undang tersebut disuarakan dengan menyerukan pilihan untuk tidak menjadi perempuan. Hal itu merupakan sebuah penolakan yang merupakan sindiran bagi penguasa yang lebih mengutamakan kepentingan atau kebebasan kaum laki-laki daripada perempuan. Seruan dalam puisi tersebut tidak sekadar mengacu pada satu perempuan (penyair) melainkan ajakan kepada seluruh perempuan untuk serempak melakukan operasi kelamin, dari perempuan menjadi laki-laki. Kebiri dapat dikatakan sebuah satire untuk pemerintah yang katakanlah berusaha melembagakan dominasi laki-laki, hingga dimetaforkan sebagai penis yang berkuasa. Tong (2006:266) menegaskan pembebasan perempuan membutuhkan, paling tidak, penghapusan lembaga laki-laki untuk menguasai perempuan. Perlawanan dalam puisi Kebiri merupakan penyeruan sebagai penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap sebagai pelegitimasi kekuasaan laki-laki yang sarat memberikan kebebasan dan mempersempit kebebasan perempuan. Ruh yang terdapat dalam puisi itu ialah perjuangan untuk menghapuskan benih lembaga untuk menguasai dan mempersempit ruang lingkup kebebasan perempuan.


Pemberontakan terhadap adanya pembedaan gender laki-laki dan perempuan, baik bersifat biologis maupun pemberontakan kebijakan politis merupakan karakteristik yang dapat digolongkan sebagai semangat feminisme. Karakteristik tersebut sangat terasa dalam puisi YKdalam kumpulan puisi Melati di Pahaku.


Penutup


Cinta yang terfregmentasi dalam puisi-puisi YK merupakan cinta yang menempatkan perempuan dalam ranah kesunyian. Posisi perempuan dalam kesunyian akibat pengkhianatan cinta dari sang kekasih memicu adanya kebencian antara laki-laki dan perempuan yang semula saling mencintai. Bergesernya dari rasa cinta ke rasa benci antara laki-laki dan perempuan menurut Fromm disebut sebagai elemen antagonis yang memicu kecemasan, hingga berubah menjadi kebencian.


Selain itu, puisi-puisi YK merupakan usaha pembebasan perempuan dari dominasi patriarki. Seruan-seruan yang terkandung dalam puisi-puisinya merupakan seruan terhadap perempuan untuk tidak selamanya menerima kondisi yang memosisikan dirinya pada inferior, sedangkan laki-laki menempati popsisi sebagai makhluk superior.


YK juga mempermasalahkan perbedaan tubuh (biologis) perempuan dengan laki-laki yang menyebabkan adanya penindasan pada pihak perempuan. Penindasan yang dialami perempuan dapat dirujuk pada pemerkosaan yang seakan-akan memosisikan perempuan sebagai pihak yang sekadar “dinikmati” laki-laki, sedangkan laki-laki seakan-akan berkuasa atas tubuh perempuan. Dalam puisi Kebiri, YK mulai mengadakan perlawanan dalam ranah politik yang dianggap berusaha melembagakan dominasi patriarki.


Dari berbagai puisi YK yang dikaji dalam tulisan ini, puisi-puisi tersebut dapat dijadikan rujukan sebagai karya sastra yang menjadikan objek cinta, seksualitas, serta upaya pembebasan dunia perempuan terhadap dominasi laki-laki. Kajian mengenai puisi-puisi YK yang terkumpul dalam Melati di Pahaku semoga dapat memperluas kajian terhadap perempuan penulis yang memperjuangkan dunia perempuan.







Daftar Rujukan


Arba’in, Armini. 2007. Citra Wanita Pekerja dalam Novel-novel Indonesia: Analisis Kritik Feminis. Padang: Lustrum V Fakultas Sastra Universitas Andalas


Cavallaro, Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya. terjemahan Laily Rahmawati. Yogyakarta: Niagara


Djajanegara, Soenarjati. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama


Fromm, Erich. 2007. Cinta, Seksualitas, Matriarki: Kajian Komprehensif tentang Gender. Terjemahan Pipiet Maizier. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra


Hawasi. 2003. Eksistensialisme Mohammad Iqbal. Jakarta: Wedatama Widya Sastra


Ibrahim, Idy Subandi. Imaji Perempuan di Media: Representasi dan Resistansi di Balik Idealisme Wacana Tubuh. Dalam Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra


Kartika, Yunis. 2007. Melati di Pahaku. Bandung: Chibi

Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra


­­Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Santas, Gerasimos. 2002. Plato dan Freud: Dua Teori tentang Cinta. Terjemahan Kornad Kebung. Maumere: LPBAJ


Sofia, Adib dan Sugihastuti. 2003. Feminisme dan Sastra: Menguak Citra Perempuan dalam Layar Terkembang. Bandung: Katarsis


Tong, Rosemaria Putman. 2006. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Terjemahan Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra




Baca Selanjutnya

FRUSTRASI TOKOH UTAMA DALAM CERPEN PEREMPUAN ITU CANTIK KARYA RATNA INDRASWARI IBRAHIM DAN CERPEN WENING KARYA YANUSA NUGROHO

FRUSTRASI TOKOH UTAMA DALAM CERPEN PEREMPUAN ITU CANTIK KARYA RATNA INDRASWARI IBRAHIM DAN CERPEN WENING KARYA YANUSA NUGROHO


Oleh: Heru Susanto




A. Pendahuluan

Hakekat karya sastra ialah estetis dan imajinatif. Untuk mencapai tataran estetis, karya seni tidak harus tenggelam dalam kubangan estetis yang dangkal. Estetis memiliki pengertian yang lebih luas. Kengerian, kebencian, kealpaan, keserakahan, kematian, dan kekerasan juga merupakan keindahan dalam karya sastra.


Untuk mencapai keestetisan, karya sastra tidak pernah terlepas dari peranan imajinatif. Menurut Ratna (2007:44), imajinasi adalah salah satu kekuatan yang dapat menangkap sekaligus menghubungkan aspek-aspek estetis yang sedang diamati dengan memori pengalaman terdahulu. Melalui imajinasi, karya sastra memiliki kekuatan besar yang nantinya membuat karya tersebut menjadi sublim. Dari sanalah, estetis sebuah karya mulai terbangun.


Karya sastra lahir dari suatu masyarakat melalui pengarang: pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat (Arba’in, 2007:19). Pengarang memiliki kekuatan untuk menuangkan internalisasi pengalaman hidupnya yang dalam ke dalam karya sastra. Lebih jauh, Hudson (Sitanggang, 2003:81) mengatakan kesusastraan berbicara tentang pengalaman perseorangan sebagai individu, pengalaman manusia sebagai manusia, pengalamannya dengan dosa, dengan nasib, dengan Tuhan, dengan harapan bangsa, termasuk hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat dalam segi aktivitas dan persoalannya. Oleh sebab itu, karya sastra memiliki aspek yang bersifat kompleks.


Dalam menciptakan karya sastra, pengarang juga tidak dapat melepaskan diri dari teks-teks sastra yang lain. Menurut Sitanggang (2003:81) kelahiran suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah diserap oleh sastrawan. Pengarang pada dasarnya tidak hanya sebagai produktor, namun pengarang terlebih dahulu juga sebagai reseptor. Dari proses resepsi, pengarang memiliki langkah pijak untuk mereproduksi karya yang baru. Jadi, pengarang tidak berangkat dari kekosongan. Melalui karya terdahulu, ia menggulumi konvesi sastranya, konvensi estetiknya, gagasan yang tertuang dalam karya itu, kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karangan, karyanya sendiri (Sitanggang, 2003:81).


Dari proses resepsi karya sastra terdahulu, pengarang kemudian mengonstruksi ke dalam karya sastra yang baru. Dalam hal ini, pengarang tidak serta-merta mengalihkan karya sastra yang dulu ke dalam karya sastra yang baru. Akan tetapi, karya sastra yang baru tersebut telah mengalami internalisasi pengarang melalui kekuatan imajinatifnya, sehingga karya yang berikutnya lebih memiliki kreativitas berkembang. Oleh sebab itu, bila karya tersebut dibaca, pembaca akan merasakan sesuatu yang baru.


Untuk mengetahui kedalaman estetis suatu karya sastra, pembaca memiliki peran yang dominan. Pembaca harus dapat merasakan kekuatan-kekuatan yang terkandung dari berbagai karya sastra. Menurut Riffaterre (Endraswara, 2003:133), karya sastra (sajak) biasanya baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain, baik dalam hal persamaannya maupun pertentangannya. Pernyataan tersebut lebih menegaskan bahwa karya sastra tidak pernah terlepas dari karya yang lain. Oleh sebab itu, pembaca harus memiliki wawasan yang luas untuk mencapai kedalaman suatu karya yang disandingkan dengan karya sastra yang lain. Hal itu bertujuan untuk mengetahui sejauh mana nilai estetis yang berkembang dari karya satu ke karya sastra yang lain.


Tulisan ini mengupas frustasi tokoh utama dalam cerpen Perempuan itu Cantik karya Ratna Indraswari Ibrahim dan cerpen Wening karya Yanusa Nugroho dengan menggunakan kajian intertekstual. Perempuan itu cantik merupakan cerpen pilihan Kompas tahun 1992, sedangkan Wening merupakan cerpen yang dimuat Komas, Minggu, 14 Mei 2006.


Analisis ini juga melibatkan interdisipliner antara disiplin ilmus sastra dengan disiplin ilmu psikologi. Hal itu disebabkan sastra tidak pernah terlepas dari gejolak psikologi. Menurut Siswantoro (2005:29), novel atau cerpen sebagai bentuk sastra merupakan jagad realita yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia (tokoh). Secara spesifik realita psikologis terdapat pada fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh (dalam hal ini tokoh utama) ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkungan.


Interteks dalam kedua cerpen tersebut menitikberatkan pada gejolak frustrasi yang dialami oleh kedua tokoh utama dalam cerpen tersebut.


B. Kajian Intertekstual


Teeuw (1988:145) menegaskan prinsip interteks berarti setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa teks sastra tidak berdiri sendiri. Teks sastra merupakan bentukan dari teks yang lain. Ada jalinan antara teks yang satu dengan teks yang lain.


Nurgiantoro (1995:50) menjelaskan kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya sastra sebelumnya dan muncul pada karya sesudahnya. Aspek-aspek yang akan ditemukan murapakan aspek yang terdapat pada kedua karya tersebut. Akan tetapi, aspek tersebut tidak sekadar persamaan semata, malainkan perbedaan keduanya pun harus diidentifikasi demi menunjukkan sejauh mana perubahan teks. Menurut Frow (Endraswara, 2003:131), interteks berdasarkan pada asumsi kritis. Asumsi tersebut yakni:

1. konsep interteks menuntut peneliti untuk memahami teks tak hanya sebagai isi, melainkan aspek perbedaan sejarah teks,

2. teks tak hanya struktur yang ada, tetapi satu sama lain juga saling memburu, sehingga terjadi perulangan atau transformasi teks,

3. ketidakhadiran struktur teks dalam rentang teks yang lain namun hadir juga dalam teks tertentu yang ditentukan oleh proses waktu,

4. bentuk kehadiran struktur teks merupakan rentangan dari yang eksplisit sampai implisit,

5. hubungan teks satu dengan teks yang lain boleh dalam rentang waktu lama, hubungan tersebut dapat secara abstrak dan juga sering terdapat penghilangan-penghilangan bagian tertentu,

6. pengaruh mediasi dalam interteks sering berpengaruh terhadap penghilangan gaya maupun norma-norma sastra,

7. dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan proses interpretasi, dan

8. analisis interteks berbeda dengan melakukan kritik, melainkan lebih terfokus pada pengaruh.

Kajian interteks juga mengenal adanya hipogram. Riffaterre (Ratna, 2005:222) mendifinisikan hipogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika lebih lanjut, Hutomo (Sudikan, 2001:118) merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian teks sastra yang dipengaruhinya. Hipogram dalam hal ini merupakan spirit yang terdapat dari teks terdahulu yang bila ditarik garis penghubung dalam karya yang setelahnya terdapat spirit yang senada. Spirit tersebut dapat pula bersifat kasar maupun halus. Yang jelas, karya kedua lebih memiliki “warna” yang mirip dengan karya pertama.


Ratna (2004:174) menyatakan secara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara, yakni a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama, b) hanya membaca sebuah teks, tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya.


Interteks frustrasi tokoh utama dalam cerpen Perempuan itu Cantik karya Ratna Indraswati Ibrahim dan Wening karya Yanusa Nugroho juga merupakan kajian interteks yang dilakukan dengan pembacaan teks yang dilatarbelakangi dengan teks yang lain. Pembacaan kedua cerpen tersebut bertujuan untuk menemukan aspek frustrasi yang dialami tokoh utama.


C. Teori Frustrasi


Frustrasi merupakan keadaan saat individu mengalami hambatan-hambatan dalam pemenuhan kebutuhannnya, terutama bila hambatan tersebut muncul dari dirinya sendiri. Konsekuensi frustrasi dapat menimbulkan perasaan rendah diri ). Seseorang akan mengalami frustrasi bila kebutuhan yang mereka inginkan tidak dapat tersalurkan. Keadaan seperti itu memiliki pengaruh besar terhadap keadaan psikis seseorang. Orang akan mengalami ketidaknormalan jiwa juga dapat disebabkan keinginan atau kebutuhannya tidak terpenuhi.


Seseorang mengalami frustrasi karena hasrat keinginannya terhalang, sehingga tidak dapat terwujud. Halangan tersebut dapat berasal dari keterbatasan fisik atau psikis (Siswantoro, 2005:100). Hal serupa juga dikemukakan Mu’tadin (10 Juni 2002), frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu.


Konsekuensi logis dari frustrasi ialah bagaimana seseorang mengalihkan tekanan batin yang ditimbulkan frustrasi. Siswantoro (2005:100) menjelaskan seseorang yang mengalami frustrasi akan bereaksi secara tidak sadar untuk mengurangi tekanan batin yang menimbulkan rasa sakit atau stress. Reaksi pengalihan tekanan batin tersebut disebut dengan defense mechanism.


Defense mechanism merupakan reaksi terhadap frustrasi yang dialami secara tidak sadar lewat tiga kategori, yakni agresif, menghindar, dan melakukan kompromi (Siswantoro, 2005:101).


D. Intertekstual Frustrasi Tokoh Utama dalam Cerpen Perempuan itu Cantik Karya Ratna Indraswari Ibrahim dan Wening Karya Yanusa Nugroho


Menurut Najid (2003:23), tokoh utama merupakan tokoh yang memiliki peran penting. Penentuan tersebut didasarkan pada hal sebagai berikut.

  1. Frekuensi muncul, tokoh utama umumnya sering atau bahkan selalu muncul dalam setiap episode.

  2. Komentar pengarang, tokoh utama umunya adalah tokoh yang sering dikomentari dan dibicarakan oleh pengarang cerita.

  3. Judul cerita, tokoh utama biasanya dijadikan sebagai judul cerita.


Dari ketiga aspek penentu tokoh utama di atas, maka dapat ditentukan, tokoh utama dalam cerpen Perempuan itu Cantik ialah Nikita dan tokoh utama dalam cerpen Wening ialah Wening yang secara tegas dijadikan judul cerpen.


Kedua tokoh memiliki problematik psikologis masing-masing. Berbagai probema yang dialami kedua tokoh membuat mereka mengalami sejenis ganguan kejiawaan, yakni frustrasi. Seperti yang sudah dijelaskan di depan, frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Analisis ini menekankan pada ketiga aspek ketidaksadaran terhadap reaksi frustrasi, yakni a) agresif, b) menghindar, dan c) melakukan kompromi. Akan tetapi, sebelum melangkah pada ketiga reaksi frustrasi, terlebih dahulu kedua cerpen tersebut memiliki persamaan dalam aspek penyebab timbulnya frustrasi.


Penyebab Frustrasi


Dalam cerpen Perempuan itu Cantik Karya Ratna Indraswari Ibrahim, tokoh Nikata digambarkan sebagai tokoh yang cantik, walaupun ia sudah beranak dan bersuami, Nikita tetap merasakan bahwa dirinya itu cantik. Banyak pria yang mengakui bahwa diri tetap cantik. Dengan kecantikan yang ia miliki, Nikita ingin menggali potensinya sebagai bintang film. Akan tetapi, kecantikannya tidak diakui oleh suaminya. Suaminya justru ingin ia membuka depot makanan di depan rumahnya. Kenyataan tersebut tampaknya tidak dapat diterima oleh Nikita. Ia beranggapan bahwa perempuan secantik dirinya tidak cocok bekerja di depot makanan. Ia lebih yakin dirinya cocok sebagai bintang film karena kecantikannya.


Nikita merasa dicubiti. Dia sudah banyak berkorban, untuk menjadi istri yang baik sekali. Tetapi tega-teganya mas tadi bilang, “Nik, anak-anak sudah bisa bermain sendiri. Bagaimana kalau kau buka depot makanan di muka rumah, ‘kan sekarang banyak mahasiswa akan kuliah di kampus barunya, yang tak jauh dari sini ‘kan? Yah agar kau punya kesibukan, dan ada tambahan pendapatan dari kita” (Ibrahim, 2000:62).



Nikita tidak dapat menerima kenyataan tersebut. Ia sangat ingin menjadi bintang film. Ia yakin bahwa kecantikannya bila digali dengan sungguh-sungguh akan menjadi bintang film yang profesional.


Mas, saya akan masak yang sedap lagi... Mas, apakah kau melihat saya cuma dari kepintaran saya memasak yang sangat meringankan beban ekonomi keluarga. Dan apakah di mata mas, saya bukan perempuan cantik yang sebenarnya bisa menjadi bintang film yang handal, kalau kesempatan itu, saya gali dengan dukunganmu.” (Ibrahim, 2000:69)


Kejadian serupa juga dialami oleh tokoh Wening dalam cerpen Wening. Wening merupakan perempuan yang telah beranak dua dan bersuami. Sebelum bersuami, saat itu ia berumur delapan belas tahun, ia merupkan penari yang handal. Ia mementaskan “Drupadi Mulat” salah satu koreografi karya guru tarinya. Saat itu, banyak penonton yang memusatkan pandangan ke arahnya. Ia menjadi bintang yang anggun, yang penuh keindahan.


Namun, kemampuannya untuk menari hilang begitu saja ketika ia telah menikah. Dulu ia bercita-cita kelak suaminya akan memanjakannya dengan membolehkan ia menari. Akan tetapi sebaliknya, suaminya justru sangat melarang keras ia menari.


Cobalah kau mengerti. Aku memberimu semuanya, segalanya, dan hanya memintamu untuk tidak malakukan satu hal: menari. Itu saja. Apa susahnya?” Ucap bang Irfan entah kapan.

Kenapa, Bang?”

Tidak boleh.”

Aku hanya ingin menunjukkan keindahan..” (Nugroho, Kompas 14 Mei 2006)



Kedua cerpen tersebut memiliki latar belakang yang sama. Nikita merasa suaminya tidak mengakui kecantikannya yang berpotensi sebagai bintang film yang handal dan menyuruh ia untuk membukan depot makan di depan rumahnya. Wening juga mengalami hal yang serupa. Ia tidak diperbolekan untuk menari lagi. Suaminya tidak mengakui bahwa kemampuannya sebagai penari akan menunjukkan keindahan. Keinginannya dimanjakan suami dengan membolehkannya menari tidak dapat diraihnya.


Kedua permasalahan yang dialami tokoh tersebut merupakan penyebab timbulnya frustrasi. Keduanya terhalang untuk mencapai tujuan atau harapan yang diinginkan. Setelah mengetahui penyebab frustrasi kedua tokoh cerpen tersebut, ketiga aspek ketidaksadaran terhadap reaksi frustrasi, yakni a) agresif, reaksi menyerang (Aggressive Reactions), b) menghindar (Withdrawal Reactions), dan c) melakukan kompromi (Compromise Reactions) dapat diuraikan sebagai berikut.


  1. Agresi, Menyerang, Menyakiti (Aggressive Reactions)


Agresi merupakan salah satu cara merespon frustrasi. Seseorang yang mengalami frustrasi dapat melakukan tindakan menyerang, baik terhadap objek penghalang penyebab frustrasi atau terhadap oebjek pengganti (Siswantoro, 2005:102).


Agresi dibagi ke dalam tiga aspek, yakni (1) mencari kambing hitam (scapegoating), (2) marah tanpa pandang bulu (free-floating anger), dan (3) menyalahkan diri atau bunuh diri (suicedi) (Siswantoro, 2005:102). Mencari kambing hitam dapat dilakukan oleh seseorang yang frustrasi karena dirinya tidak berani menyerang secara langsung objek yang membuat ia sakit hati. Penyerangan tersebut biasanya dilakukan pada objek yang lebih lemah. Marah tanpa padang bulu dilakukan oleh seseorang yang mengalami agresi berat. Ia memiliki kecenderungan untuk menyerang apapun yang ada di sekitarnya. Menyalahkan diri sendiri dapat dialami oleh orang frustrasi dengan jalan menyerang diri sendiri karena merasa dirinya tidak mampu melampiaskan kepada orang lain, sehingga dapat menjuruh ke usaha bunuh diri.


Sadarjoen (6 Mei 2007) menegaskan orang agresif, motif agresinya mendominasi kehidupan psikisnya, sehingga segala keinginnya dipuaskan dengan cara menyerang lingkungan.


Dalam cerpen Perempuan itu Cantik dan Wening, aspek agresif dilakukan dengan menyerang terhadap objek penghalang yang menyebabkan frustrasi. Dalam Perempuan itu Cantik, Nikita menyerang suaminya yang merupakan objek penghalang keinginannya untuk menjadi bintang film. Akan tetapi, penyerangan tersebut tidak dilakukan secara kekerasan atau fisik, melainkan secara verbal, yakni perdebatan. Hal itu dapat ditemukan pada kutipan berikut.


Mas, saya akan masak yang sedap lagi... Mas, apakah kau melihat saya cuma dari kepintaran saya memasak yang sangat meringankan beban ekonomi keluarga. Dan apakah di mata mas, saya bukan perempuan cantik yang sebenarnya bisa menjadi bintang film yang handal, kalau kesempatan itu, saya gali dengan dukunganmu.” (Ibrahim, 2000:69)


Setelah beberapa saat Nikita hanya memendam perasaan, akhirnya ia mengungkapkan dengan melawan kepada suaminya. Ia berusaha meyakinkan kepada suaminya bahwa ia merupakan perempuan yang cantik yang layak menjadi bintang film handal. Akan tetapi, perlawanan balik juga diterimanya.


Kamu kok genit benar tanya soal kecantikan, dan mimpi jadi bintang film,. Nik kita sudah tua, yang penting bagaimana menambah tabungan untuk biaya anak-anak agar bisa sekolah sampai perguruan tinggi. Untuk hal ini kau harus mau bekerja sama denganku, beban ini ‘kan berat bila dipikul sendiri. Saya kira setiap perempuan memang lebih suka mandiri, daripada tergantung pada suami. Kita jangan melupakan sejarah Nik. Kau sendiri bilang, orang tuamu tidak bisa menyekolahkan kau dan adik-adikmu, karena hidupnya santai, boros, tidak punya rencana untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Apakah kau ingin anak-anak senasib denganmu, pasti tidak, iya ‘kan?” (Ibrahim, 2000:69).



Tindakan agresi yang dilakukan Nikita mendapat perlawanan dari suaminya. Dari perlawan tersebut, ia tampaknya tidak dapat menyangkal lagi. Agresifnya direpresei (ditekan) dari perlawanan balik suaminya. Hal yang serupa juga terdapat pada agresif tokoh Wening. Wening juga melakukan perlawanan terhadap objek penghalang keinginannya, yakni suaminya.


Cobalah kau mengerti. Aku memberimu semuanya, segalanya, dan hanya memintamu untuk tidak malakukan satu hal: menari. Itu saja. Apa susahnya?” Ucap bang Irfan entah kapan.

Kenapa, Bang?”

Tidak boleh.”

Aku hanya ingin menunjukkan keindahan..” (Nugroho, Kompas 14 Mei 2006)



Tindakan agresif dari Wening juga mendapat serangan balik dari suaminya. Suaminya tetap tidak mengizinkan dia menari. Akan tetapi, perlawanan Wening sedikit berbeda dengan perlawanan Nikita. Wening lebih berani melawanan suaminya. Ia merasa bahwa kasih sayang serta harapan terhadap suaminya sia-sia.


Belum lagi Wening duduk, Irfan keluar dengan langkah besar. Bagai kesetanan dia cengkeram Wening. Ucapan kasar, runcing dan berbisa berhamburan dari mulut suaminya. “Kapan kau mau mendengar ucapanku. Jangan menari dan jangan pernah lagi berpikir kamu bisa menari lagi. Aku tidak suka. Aku suamimu, mengapa kau tak mau mendengar suamimu?”

Apa salahku punya keinginan menari?”

Itu kesalahanmu!”

Baik.... Lakukan keinginan abang. Silakan larang aku, tapi kali ini, maaf aku akan jadi mimpi buruk abang.” Berkata demikian, Wening masuk kamar. (Nugroho, Kompas 14 Mei 2006)



Perlawanan Wening terhadap suaminya terus dilakukan, walau pun ia harus menanggung risiko dengan melawan suaminya sepenuhnya. Ia menyatakan dengan tegas bahwa ia akan menjadi mimpi buruk bagi suaminya.


Perlawanan Wening berbeda dengan perlawanan Nikita. Perlawanan Nikita melemah ketika suaminya berbalik melakukan perlawanan. Nikita tetap ingin berada pada posisinya demi suaminya, walaupun hal itu sangat menyiksa batinnya.

Nikita tetap bersetia selalu pada mas! (Ibrahim, 2000:70)


b) Reaksi Menghindar (Withdrawal Reactions)


Reaksi menghindar merupakan reaksi dari frustrasi. Reaksi menghindar dapat berupa tindakan fisik maupun psikis. Reaksi menghindar dibagi menjadi tiga, yakni (1) penekanan (repression), (2) berkhayal (fantasy), dan (3) kembali ke masa lalu (regression) (Siswantoro, 2005:103-107).


Penekanan (repression) merupakan proses peminggiran dari kesadaran, pikiran ataupun perasaan yang menimbulkan sakit, rasa malu dan rasa bersalah. Berkhayal (fantasy) menunjukkan ketika hasrat keinginan seseorang terganjal oleh realita, orang itu boleh jadi lari ke dunia khayal yang dapat memuaskan keinginan yang terhalang. Kembali ke masa lalu (regression) dilakukan secara tanpa sadar oleh individu yang frustrasi dengan cara kembali ke masa lalu kanak-kanaknya yang dianggap lebih aman tanpa konflik (Siswantoro, 2005:103-107).


Tokoh Nikita dan Wening sama-sama mengalami reaksi menghindar. Reaksi mengihidar kedua tokoh tersebut meliputi berkhayal dan kembali ke masa lalu.


Nikita mengalami khayalan ketika ia merasa kepanasan tinggal di dalam kamar yang baru saja dibuatkan oleh suaminya. Ia merasa kepanasan karena tidak ada kipas angin. Suaminya menolok membeli kipas angin karena uangnya lebih baik dibelikan kompor gas demi keperluan depot makannya. Suaminya menganjurkan untuk membuka lebar-lebar jendela kamar bila kepanasan. Akan tetapi, Nikita tetap merasa kepanasan dan akhirnya ia pun membuka bajunya. Saat itulah, ia mengalami khayalan (fantasy).


Kali ini sesuai dengan anjuran mas. Dia membuka jendela lebar-lebar, yang terjadi hawa panas mengaliri kamarnya. Nikita merasa ada ganjalan di hatinya, dia kepanasan, tak mungkin bisa tidur siang dengan udara panas. Nikita kemudian membuka seluruh bajunya. Beberapa menit kemudian, dia bermimpi, tidur di hutan yang segar udaranya.

Setiap kali tidur siang, Nikita membuka bajunya. Pada suatu hari dia bermimpi tidur di hutan di mana waktu itu, bunga-bunga mekar bersama. Nikita merasa ingin bernyanyi-nyanyi. Namun, dia merasa dilihat oleh anak muda yang jadi langganannya. Nikita rikuh, dia berteriak-teriak kala anak muda itu, ingin lebih dekat melihat kemolekan tubuhnya. (Ibrahim, 2000:67).



Berkhayal juga dialami oleh Wening. Wening yang dilarang keras oleh suaminya untuk menari tiba-tiba masuk ke kamar, telanjang dan memakai pakaian tari saat ia dulu mementaskan “Drupadi Mulat”.


Pintu rusak, terbuka dengan paksa. Sunyi. Wening melepas bajunya, telanjang. Mengurai rambutnya yang masih panjang melebihi pinggang, yang selama ini disembunyikan atas perintah suaminya. Dikenakannya kemben kain panjang, yang dulu dikenaknnya waktu ketika “Drupadi Mulat”. Dibiarkannya sebagian kain itu menebar di lantai.

Iringan rebab menyayat malam, Wening bergerak sangat lambat. Sepasang telinganya menangkap gumaman jender; mengapa harus gadhung mlati? Wening menari dengan keheningannya. Dia merasa membawa lampu minyak kecil yang apinya berkebit oleh kepedihan...... (Nugroho, Kompas 14 Mei 2006)



Wening mengalami khayalan. Hal itu dapat dilihat saat Wening menari dengan lambat dan kedua telingnnya mendengar jender gadhung mlati, sebuah gending sakral. Khayalan kedua tokoh tersebut sama-sama dimulai dengan membuka baju. Hal itu menunjukkan bahwa aktivitas pra khayalan sampai dengan berkhayal mengindikasikan adanya persamaan linier.


Persamaan menghindar kedua tokoh tersebut juga mengalami persamaan yang serupa, yakni kedua tokoh mengalami kembali ke masa lalu (regression). Dalam tokoh Nikita, kembali ke masa lalu (regression) dialaminya ketika ia ingin berpenampilan cantik di depan pelanggan-pelanggannya, seperti ketika ia yang dulu masih cantik jelita.


Beberapa hari kemudian, beberapa tukang mengerjakan kamar itu. Tiba-tiba, Nikita ingin selalu tampil cantik di muka langganannya. Sementara itu, mas tidak perduli kala dia muncul seperti Nikita yang dulu: perempuan jelita yang berbakat menjadi bintang film. (Ibrahim, 2000:66)




Nikita kembali ke masa lalu dengan cara berpenampilan cantik di depan pelanggannya walau suaminya tidak memberikan respons terhadapnya. Kenyataan seperti itu juga terjadi pada tokoh Wening. Wening mengalami kembali ke masa lalu pada saat ia membuka album foto kenangan waktu ia menari di pentas terakhirnya.


Dibukanya album kecil yang masih disimpannya. Album foto pentas terakhirnya. Saat itu ia bersama teman-temannya memang mementaskan “Drupadi Mulat” sebuah koreografi indah karya Mbak Yudi—sahabat sekaligus guru tarinya. Dialah drupadi berambut panjang itu. Dialah dengan kain panjang putih—yang terlalu panjang untuk sebuah samparan—dengan lampu minyak tanah kecil di tangan kanannya, berjalan dari pelataran GKJ, menaiki tangga, membelah kerumunan penonton yang masih di luar, memasuki pintu, membiarkan dengung gong pertama bergema, melintas perlahan di karpet merah, membiarkan berpuluh, mungkin beratus pasang mata menatapnya kagum (Nugroho, Kompas 14 Mei 2006).




Kembalinya ke masa lalu kedua tokoh tersebut dimaksudkan untuk ke luar pada zona psikis yang semakin menekan. Bila ke luar dari zona tersebut dengan khayalan, hal itu dapat memberikan represei dari tekanan-tekanan batin yang mengikat psikis kedua tokoh tersebut.


Jadi, kedua tokoh tersebut sama-sama mengalami reaksi menghindar, yakni dengan kembali berkhayal (fantasy) serta kembalai ke masa lalu (regression).


c) Melakukan Kompromi (Compromise Reactions)


Pada aspek melakukan kompromi, individu harus menyerah kepada suasana yang mengancam atau tidak mengenakkan sebagai akibat frustrasi, tetapi tanpa harus menyerah total, sehingga tujuan yang diimpikan tetap dapat terealisasi (Siswantoro, 2005:107). Dalam aspek melakukan kompromi, ada tiga reaksi yang tergolong pada aspek melakukan kompromi, yakni (1) sublimation, (2) menyalahkan (projection), (3) pembenaran (rationalization).


Sublimation adalah penggantian kepuasan atas apa yang diinginkannya tidak terpenuhi. Kepuasan yang didapat merupakan kepuasan lain yang mampu menggantikan kepuasan yang tidak terlaksanakan. Menyalahkan (projection) merupakan reaksi yang membenarkan dirinya sendiri dengan cara mengalihkan kesalahan terhadap orang lain. Pembenaran (rationalization) merupakan pembenaran dengan memberikan alasan terhadap diri individu agar terlihat logis dan dapat diterima.


Kedua tokoh dalam cerpen Perempuan itu Cantik dan Wening mengalami reaksi melakukan kompromi. Reaksi melakukan kompromi tersebut cenderung pada aspek sublimation.


Pada tokoh Nikita, sublimation diarahkan pada hal yang terkesan eksibisionisme. Hal itu terjadi ketika keinginannya untuk menjadi bintang film ditolak oleh suaminya dan akhirnya ia pun selalu membuka bajunya setiap istirahat siang. Ia membiarkan beberapa lelaki muda melihat kemolekan dan keseksian tubuhnya.


Siang itu, dan siang selanjutnya, Nikita kalau istirahat siang membuka baju. Membiarkan beberapa lelaki muda mengintai kemolekan dari tubuhnya. Kelakuan lelaki muda itu macam-macam, ada yang melihat kemolekan dengan rakus, ada yang rikuh, dan ada yang membelalakkan mata.

Nikita tidak perduli dengan pandangan lelaki itu. Sesungguhnya mas tidak akan bisa melihat kecantikannya. Itu memangharus didapatkannya dari orang lain. Jadi, kebiasaannya untuk telanjang, dirasa cukup bijak. Dengan caranya itu, Nikita tak perlu mencari lelaki lain.

Nikita tetap bersetia selalu pada mas! (Ibrahim, 2000:69-70).



Penggantian kepuasan dilakukan Nikita dengan bertenlanjang dan membiarkan tubuhnya dilihat para pemuda. Hal itu merupakan gejala eksibisionisme yang merupakan pengalihan terhadap keinginan yang tak terealisasikan.


Hal serupa juga dialami oleh tokoh Wening. Wening mengalihkan kepuasannya dengan memakai kemben kain panjang putih. Ia terus menari tanpa henti, hingga anak-anaknya, sanak saudaranya, ibu dan bapaknya, mertuanya, kerabat jauh, dan bahkan tetangganya membisu melihatnya.


Langkahnya terus mengalir, entah sudah berapa lama. Wening hanya melihat, anak-anaknya berdatangan dalam bisu, kemudian sanak saudaranya, ibu dan ayahnya yang renta, juga mertua, bahkan kerabat jauh dan para tetanggnya. Mereka semua membisu. Mereka berubah menjadi batu. Hanya Wening di dunia ini yang mengalir, berenang dalam cahaya keindahan geraknya.


Mama....please..” bisik Neny setengah menangis, mencoba mengingatkan ibunya. Tetapi wening telah menari, dan tak ada yang bisa menghentikannya. Kain samparannya terlalu panjang. Seakan ingin mengatakan bahwa penderitaan Wening jauh lebih panjang dari kain yang bisa disaksikan berpasang-pasang mata itu (Nugroho, Kompas 14 Mei 2006).




Penggantian kepuasan yang dilakukan Wening tersebut merupakan kompensasi dari represi yang diterapkan suaminya terhadap Wening. Paksaan yang mengharuskan Wening untuk meninggalkan keinginannya untuk menari membuat dirinya terkena gangguan kejiwaan. Ia terus menari untuk menggantikan keinginannya menari yang tidak pernah terealisasikan, hingga ia menari tanpa henti. Namun, tariannya membawanya untuk lepas dari kesadarannya.


Persamaan sublimation dari tokoh Nikita dan Wening terlihat bahwa keduanya merupakan objek yang dilihat banyak subjek (tontonan). Akan tetapi, keduanya terdapat perbedaan, yakni pada tokoh Nikita sublimatioan lebih mengarah pada eksibisionisme, sedangkan Wening mengarah pada gangguan jiwa yang lebih, hingga tidak sadar atau gila. Jadi, Nikita dan Wening dalam aspek siblimatioan mengalami gangguan psikis.


E. Simpulan


Intertekstual frustrasi tokoh utama dalam cerpen Perempuan itu Cantik karya Ratna Indraswara Ibrahim dan cerpen Wening karya Yanusa Nugroho menunjukkan persamaan dalam kondisi psikis tokoh utama tersebut. Kedua tokoh, Nikita dan Wening, memiliki latar belakang permasalahan yang serupa, yakni tekanan suami yang menghalangi keingnan istri. Nikita tidak dapat merealisasikan kecantikannya untuk menjadi bintang film terkenal, sedangkan Wening tidak dapat melanjutkan keinginannya untuk menari lagi.


Kedua tokoh utama tersebut juga mengalami agresi terhadap tokoh yang menghambat keinginannya. Agresi yang dilakukan bersifat verbal bukan fisik. Perbedaannya terletak pada tokoh Wening yang lebih berani melakukan agresi terhadap suaminya bila dibandingkan dengan Nikita, yakni mengancam suami.


Reaksi menghindar juga dialami oleh tooh Nikita dan Wening. Keduanya mengalami reaksi menghindar pada aspek berkhayal dan kembali ke masa lalu.

Reaksi melakukan kompromi tokoh Nikita dan Wening mengambil jalan sublimation. Pengalihan kepuasan pada tokoh Nikita cenderung ke eksibisionisme, sedangkan tokoh Wening cenderung pada tidak terkontrolnya diri atau dapat dikatakan gila.


Frustrasi yang dialami tokoh utama dalam cerpen Perempuan itu Cantik dan Wening selain terdapat persamaan juga terdapat perbedaan. Persamaan tersebut mengarah pada gagasan atau inti dari gejolak psikis yang dialami kedua tokoh utama.


Hipogram karya sastra meliputi: (1) ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya karya. Ekspansi tak sekadar repetisi, tetapi termasuk perubahan garamatikal dan perubahan jenis kata; (2) konversi adalah pemutarbalikan hipogram atau matriknya; (3) modifikasi adalah perubahan tataran linguistik, manipulasi urutan kata dan kalimat; (4) ekserp adalah semacam intisari dari unsur atau episode dalam hipogram yang diresepsi pengarang (Endraswara, 2003:132). Dari jenis hipogram di atas, tampaknya kedua cerpen tersebut, salah satunya merupakan hipogram yang mempengaruhi pengarang. Akan tetapi, resepsi tersebut merupakan pengaruh dari hipogram yang bersifat ekserp, yakni bersifat halus.


Perbedaan yang terdapat dari kedua cerpen tersebut dapat ditarik simpulan bahwa teks yang sesudahnya mengalami perkembangan, yakni bagaimana kegua tokoh dalam menanggapi permasalhannya. Ada spirit perlawanan dalam cerpen Wening. Tokoh utama lebih berani dan memberikan perlawanan yang cukup jelas terhadap sang suami, sedangkan dalam Perempuan itu Cantik, tokoh utama lebih memiliki spirit menerima tekanan-tekanan dan memberikan perlawanan yang pada akhirnya penerimaan. Mungkinkah, hal itu dipengaruhi oleh psikis pengarangnya? Mungkinkah dalam Perempuan itu Cantik sang pengarang larut dalam jiwa keperempuannya, sedangkan dalam Wening pengarang lebih menggunakan perasaan kelelakiannya yang lebih mengarah pada “kekakuan”? Itulah perbedaan yang menjadikan karya tersebut memiliki keunikannya tersendiri.


Hal itu menunjukkan bahwa ada kreativitas pengarang yang memberikan warna baru pada teks karya sastra yang berikutnya. Ratna (2005:220-221) menegaskan bahwa proses peniruan bukan berarti plagiat. Peniruan pada teori kontemporer bukan berarti tanpa kreativitas sama sekali, tetapi penurian lebih memberikan muatan, arti, gaya, dan makna yang baru. Peniruan dalam interteks adalah proses identifikasi objek ke dalam level yang lebih tinggi, sehingga karya yang dihasilkan menjadi baru, seolah-olah dilihat untuk kali pertamanya.











Daftar Rujukan


Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama


Ibrahim, Ratna Indraswari. 2000. Perempuan itu Cantik. Dalam Kado Istimewa: Cerpen Pilihan Kompas 1992. Jakarta: Kompas

Kamis, 17 Juni 2004. Pengendalian Emosi Itu Penting, Lho! http://www.indomedia.com/bpost/062004/17/ragam/art-4.htm


Mu’tadin, Zainun. Jakarta, 10 Juni 2002. Faktor Penyebab Perilaku Agresi. http://www.e-psikologi.com/remaja/100602.htm


Nugroho, Yanusa. 14 Mei 2006. Wening. Jakarta: Kompas


Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press


Pradopo, Rachmad Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Sadarjoen, Sawitri Supardi. 14 Mei 2007. Mekanisme Peningkatan Perilaku Agresi. Jakarta: Kompas


Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta: Muhammadiyah University Press



Sitanggang, S.R.H. 2003. Novel Roro Mendut Versi Ajip Rosidi dan Mangunwijaya. Dalam Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia


Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana


Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Girimukti Pustaka


Baca Selanjutnya