Senin, 28 April 2008

HERMENEUTIK

MULAINYA “PERSETUBUHAN”: SEBUAH KISAH NYATA

Oleh: Heru Susanto

Kisah nyata ini tampaknya memang harus saya ungkapkan dalam media yang cukup terbatas. Kisah ”persetubuhan” kali ini mulai teringat ketika salah satu mahasiswa mengajak saya dalam acara seminar proposal penelitian (skripsi). Salah satu proposal yang diajukan dalam seminar itu mengkaji salah satu kumpulan cerita pendek karya Gus Mus. Kajian yang digunakan untuk membedah cerpen tersebut ialah fenomenologi. Sekali lagi, kisah yang tertulis dalam tulisan ini merupakan kisah nyata yang sejauh ini masih dalam ingatan saya.

Yang menarik dari penelitian itu terlihat ketika penyaji mengungkapkan gagasannya mengenai fenomenologi yang juga didukung dengan kajian hermeneutik. Penyaji mengungkapkan bahwa untuk menggunakan kajian fenomenologi yang sarat dengan pandangan folosofis Hussrel, kajian tersebut juga didukung dengan pandangan hermeneutik. Penelitian ini secara umum memang menggunakan dua kajian yang berbeda, yakni kajian filosofis fenomenologi dan hermeneutik.
Karena meletakkan dua pandangan yang terkesan berbeda, tidak heran ada salah satu peserta dalam seminar tersebut yang menegaskan untuk menggunakan salah satu dari kedua kajian itu. Sebenarnya, untuk menjawab permasalahan yang diajukan oleh salah satu peserta tersebut, perlu adanya penjabaran yang komprehensif mengenai fenomenologi dan hermeneutik. Hal itu disebabkan penelitian yang diajukan oleh penyaji lebih menggunakan konsep fenomenologi yang dikembangkan oleh Heidegger. Ketika kajian fenomenologi melibatkan nama besar filosof eksistensialis, Heidegger, kajian fenomenologi tersebut tampaknya memang harus bersinggungan dengan pandangan hermeneutik yang digagasnya.

Tulisan ini bukan untuk menjawab pertanyaan peserta seminar secara komprehensif, tetapi lebih mengarah pada diskusi lebih lanjut mengenai pemahaman awal tentang fenomenologi dan hermeneutika yang muncul bersamaan.

Hermeneutik

Hermeneutik pada dasarnya merupakan kajian interpretasi (penafsiran) terhadap teks yang pada awalnya lebih diidentikkan sebagai kajian teologi untuk mendekati bibel dan kajian filologi. Dalam kajian filologis, Friedrich Ast dan Frederich August Wolf merupakan dua tokoh yang sangat berpengaruh. Friedrich Ast berpandangan bahwa hermeneutik merupakan teori yang membangkitkan makna geistige (spirit) teks yang sangat bermanfaat bagi studi filologi untuk menangkap spirit antiquitas (zaman atau barang-barang purbakala), sehingga dapat diterima dengan jelas. Bagi Friedrich August Wolf , hermeneutik merupakan kaidah-kaidah untuk menangkap pemikiran yang terdapat dalam teks yang sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pengarang. Dalam hal ini, hermeneutik lebih dipandang sebagai kaidah interpretasi dialog dengan pengarang. Kedua tokoh tersebut merupakan landasan pijak untuk lebih mengembangkan kajian hermeneutik oleh tokoh sesudahnya..

Schleiermacher lebih memandang hermeneutik sebagai ilmu pemahaman. Pemahaman merupakan hal yang paling awal untuk mendekati sebuah teks. Pada dasarnya pemahaman ini merupakan jembatan pembuka dialog antara pembaca dengan pengarang yang tidak sekadar didasarkan pada level linguistik. Ia memberikan dua langkah untuk melakukan pemahaman, yakni memahami bahasa dan psikologis. Pada taraf umum, pemahaman difokuskan pada gramatikal, sedangkan pemahaman psikologis lebih mengacu pada bagaimana individualitas pengarang. Wilayah psikologis ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang sesuai dengan pengarang.

Lama-kelamaan, hermeneutik mengalami perkembangan sebagai ilmu yang lebih luas mengkaji tentang ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Yang termasuk dalam Geisteswissenschaften ialah semua disiplin yang menafsirkan espresi-ekspresi ”kehidupan batin manusia”, baik dalam bentuk ekspresi isyarat (sikap), perilaku historis, kodifikasi hukum, karya seni dan sastra. Dilthey ialah salah satu pemikir yang meletakkan hermeneutik sebagai fondasi Geisteswissenschaften. Ia menegaskan landasan utama hermeneutik adalah makna. Makna inilah yang dijadikan wujud pencarian pemahaman hermeneutik. Dilthey meyakini bahwa manusia ialah makhluk historis. Konsep historislah yang menjadi pandangan utamanya. Oleh sebab itu, makna pun juga tidak dapat dilepaskan dari konteksnya atau bersifat historis. Makna tidak pernah terlepas dari keseluruhan bagian-bagian yang terlihat dari sudut pandang tertentu, saat tertentu, dan bagian-bagian tertentu.

Mengenai pandangan Heidegger tentang hermeneutik, hal itu dijabarkan pada bagian berikutnya. Tulisan ini memang tidak semuanya menjabarkan pemikiran tokoh hermeneutik secara keseluruhan.

Heidegger: Fenomenologi bersifat Hermeneutik

Membicarakan fenomenologi tentunya tidak dapat diabaikan begitusaja nama Edmund Hussrel. Baginya, fenomenologi merupakan pemunculan atau penampakan dari suatu peristiwa itu sendiri. Lebih jelasnya, fenomena diterima manusia bukan dari pemikiran manusia, tetapi fenomenalah yang memberikan pada manusia. Dalam permasalahan penggunaan bahasa, pengguna bahasa tidak memberikan kekuatan pada bahasa, tetapi kekuatan bahasa telah diberikan kepada pengguna bahasa tersebut.

Fenomenologi bermakna membiarkan sesuatu mewujudkan dirinya sendiri, memberikan kebebasan sesuatu peristiwa mengungkapkannya sendiri, tanpa kita memaksakan untuk memberikan kategori kepada sesuatu itu.

Bagi Heidegger, fenomenologi pada dasarnya bersifat hermeneutis. Ia mengembalikan makna fenomenologi pada akar kata Yunani, yakni phainomenon atau phainesthai, dan logos. Heidegger mengatakan phainomenon berarti memperlihatkan dirinya sendiri, sesuatu yang termanifestasikan, sedangkan kata pha sama dengan kata Yunani pho>s, yang berarti cahaya atau terang benderang, sesuatu yang dapat dimanifestasikan, dapat terlihat. Logos menurut Heidegger merupakan sesuatu yang dipahami dalam pembicaraan. Logos juga merupakan fungsi untuk mengungkap sesuatu yang tersembunyi sehingga membiarkan sesuatu itu sebagai sesuatu yang terlihat.

Dari permasalahan itu, fonomenologi pada dasarnya memiliki wujud yang mirip dengan hermeneutik. Hal itu pada dasarnya berkaitan dengan hermeneutik yang berusaha untuk membukakan sesuatu yang tersembunyi. Menurut Heidegger, makna fenomenologis adalah interpretasi, sehingga memiliki karakteristik hermeneutis.

Hermeneutik yang digagas Heidegger memang terkesan rumit. Akan tetapi, pada dasarnya hermeneutiknya merupakan teori pemahaman yang dimaknai secara ontologis, yakni kekuatan pemahaman dikembalikan kepada potensi keberadaan sesuatu itu sendiri. Oleh sebab itu, hermenetik yang digagas oleh Heidegger juga disebut pula sebagai hermeneutik-fenomenologis.

Bila kajian yang digunakan untuk membedah sebuah karya sastra adalah fenomenologi Heidegger, hal itu tidak dapat dilepaskan dari pandangan hermeneutik yang digagasnya. Hal itu disebabkan pemikiran filosofisnya dalam Being and Time sangat bernuansa hermeneutis. Heidegger memang berhutang budi kepada Husserl, tetapi keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Husserl memandang filsafat harus bersifat empiris yang kaku (kepastian dalam sains), sedangkan Heidegger memandang filsafat sebagai pemikiran historis, sebuah penemuan kreatif, dan suatu bentuk reinterpretasi.

Dari sinilah, fenomenologi dan hermeneutik tidak lagi dipandang sebagai disiplin ilmu yang secara absolut terpisah. Bagi Heidegger, fenomenologi adalah hermeneutik dalam makna kata yang oerisinal yang menunjukkan persoalan interpretasi. Inilah mulainya ”persetubuhan” terjadi.

2 komentar:

prasetyo G. R. mengatakan...

Her, posting tiap satu bulan satu kali.

prasetyo G. R. mengatakan...

Postinganmu aku plublikaskan di blog ku