Senin, 28 April 2008

MEMANDANG MISTERI HIDUP DAN MATI: DARI NIETZSCHE KE HEIDEGGER

MEMANDANG MISTERI HIDUP DAN MATI: DARI NIETZSCHE KE HEIDEGGER
Oleh: Heru Susanto

“Heru temanku berjanjilah bila nanti bertemu dg aq, heru mau menjawab sgala ttg ambang hidup dan mati.” 22:10:18, SMS dari Nova


Orang kadang larut dalam layar ponsel sambil terseyum, cemberut, dan tidak jarang orang tertawa terbahak-bahak ketika membaca SMS. Tidak jarang pula orang jatuh cinta dan putus cinta melalui SMS. Ketika menerima SMS dari orang yang tidak dikenal, perasaan penasaran, kesal, dan kadang justru tambah senang karena dapat kenalan baru merupakan pengalaman yang wajar.

Tulisan ini merupakan pengalaman yang saya anggap lebih dari sekadar wajar, sebut saja hiperwajar. Pengalaman ini bermula dari seorang teman yang mengenalkan saya dengan salah satu temannya yang kebetulan sangat menyukai puisi dengan memberikan nomor ponsel. Dengan bangga, saya langsung mengirimkan puisi layaknya seorang pujangga yang tak kenal permisi. Saya tertarik dengan cerita teman tentang dia, karena ternyata ada juga mahasiswa Akbid (Akademi Kebidanan) yang menaruh minat pada puisi. Dari situlah, pertemanan mulai berlangsung hingga saat ini. Hampir setahun pertemanan terjalin, tetapi tidak pernah di antara kami yang mengenal fisik masing-masing. Yang diketahui ialah saya laki-laki dan dia perempuan, itu pun juga dari cerita teman. Hubungan melalui ponsel sebenarnya tidak sering terjadi. Hanya beberapa puisi pendek dan beberapa pesan untuk saling menanyakan kabar, layaknya komunikasi basa-basi yang terjadi.

Suatu saat, keinginan untuk bertemu akhirnya muncul juga. Saat keinginan itu muncul, pengalaman yang lebih dari sekadar wajar itu terjadi. Pengalaman itu bermula dari SMS-nya yang tiba-tiba menanyakan tentang ambang hidup dan mati. Dia menginginkan saya untuk menjawab permasalahan tentang ambang hidup dan mati bila suatu saat kami bertemu. SMS itu terlihat sangat aneh. Sebelumnya tidak pernah kami membincangkan mengenai ambang hidup dan mati.

Saya merasa pesan itu memang tidak mungkin saya jawab melalui SMS. Walaupun singkat, pesan tersebut tidak akan terjawab melalui pesan yang singkat pula. Menurut saya, pesan tersebut membutuhkan jawaban yang mendalam, akan terkesan tergesa-gesa bila dijawab tanpa membutuhkan pemikiran yang mendalam. Saat itulah, kegelisahan mulai mengejar. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengingat-ingat permasalahan tentang hidup dan mati. Dalam zaman yang didominasi oleh teknologi, permasalahan tentang ambang hidup dan mati yang seakan-akan hilang dari hiruk-pikuk informasi tiba-tiba muncul dari layar ponsel tanpa ada yang menghendaki.

Dalam kegelisahan, pemikiran Nietzsche dan Heidegger mulai sedikit mempengaruhi saya. Kedua filosof tersebut memang pernah menyinggung masalah tentang kehidupan dan kematian. Dari pemikiran kedua filosof tersebut, tulisan ini merupakan uraian tentang ambang hidup dan mati, sekaligus menjawab pesan yang bernuansa filosofis dan membutuhkan jawaban filosofis pula. Tidak tertutup kemungkinan, tulisan ini juga tidak akan menjawab pesan tersebut secara komprehensif dan mendalam. Hal itu disebabkan terlalu berisiko sebenarnya menarik pemikiran kedua filosof yang dapat dikatakan pelik tersebut dalam bentuk yang ringkas. Akan tetapi, setidaknya tulisan ini merupakan hasil perenungan yang mencoba menghindari dari pemikiran yang terkesan tergesa-gesa dan mencoba mengaitkan dari pemikiran para filosof terkemuka.


Hidup dan Mati Versi Nietzsche

Nietzsche ialah folosof Jerman yang pemikirannya dapat dikatakan radikal. Dalam berbagai karyanya, ia memosisikan manusia yang unggul sebagai pusat dari kehidupan ini. Hanya manusia unggullah yang mampu membawa kehidupan lebih bermakna. Manusia-manusia unggul ini merupakan manusia yang memiliki kekuatan, kecerdasan, dan kebanggaan. Ketiga hal tersebut harus dimiliki oleh manusia dalam menjalani kehidupan. Ketika manusia tidak memiliki ketiga hal tersebut, mereka akan tenggelam dalam kerasnya kehidupan yang dijalaninya.

Dengan pemikirannya tentang manusia unggul, ia juga secara radikal mematikan eksistensi tuhan. Baginya tuhan adalah pusat yang menyebabkan manusia itu menjadi lemah. Manusia harus bebas dari segala sesuatu yang membelenggu kebebasannya. Manusia harus menjadi pencipta dalam kehidupan ini.

Kematian tuhan merupakan kritiknya yang keras terhadap manusia-manusia yang merasa dirinya terbebani dengan dosa. Dalam Aldus Sprach Zarathustra, Nietzsche berkata “aku ajarkan kepadamu manusia unggul. Dahulu dosa yang terbesar adalah dosa melawan tuhan, tetapi tuhan sudah mati, dan bersama dia matilah pula mereka yang berdosa”. Manusia unggul merupakan ajaran yang ditekankan oleh Nietzsche. Dengan mematikan eksistensi tuhan, ia berharap bahwa manusia akan bebas menjalani hidupnya tanpa merasa ada beban untuk memajukan dirinya. Manusia harus menjadi sosok yang berani untuk menghadapi kenyataan dalam kehidupan ini, tanpa harus berpaling dari penderitaan yang akan dihadapinya.

Menurut Nietzsche, hidup harus dihadapi dengan penuh keberanian. Tanpa adanya keberanian, manusia tidak akan pernah menemukan makna dari kehidupannya. Hanya manusia yang takut menghadapi dunialah yang nantinya akan tertindas oleh manusia yang lain. Hal itu desebabkan perdamaian tidak akan pernah dimenangkan tanpa adanya peperangan, seperti yang dikatakan Nietzsche “percayalah padaku: rahasia untuk memetik buah paling besar dan kenikmatan tertinggi dari manusia adalah hidup dengan bahaya (gefahrlichleben)! Dirikanlah kota-kotamu di lereng gunung Vesuvius. Kirimkanlah kapal-kapalmu ke samudera yang belum dipetakan! Hiduplah dalam perang melawan sesamamu dan dirimu sendiri!”. Pernyataan tersebut pada dasarnya menyeru kepada manusia untuk berani menghadapi bahaya dalam hidup ini. Dengan bahasa yang radikal, Nietzsche menghimbau manusia untuk untuk mengadakan peperangan dengan manusia lain serta dirinya sendiri. Apa yang dikatakannya pada dasarnya dapat diinterpretasi sebagai semangat untuk menjadi manusia yang berani menghadapi kekerasan dalam hidup dan berani menghadapi dirinya sendiri yang sering menyeret pada ketakutan dan kemalasan.

Kunci utama Nietzsche dalam memandang kehidupan ialah berpusat pada kehidupan itu sendiri. Baginya, manusia harus menghadapi segala yang ada dalam kehidupan ini tanpa berpaling darinya. Hal itu disebabkan manusia akan memperoleh makna kehidupan yang telah lama dicari dengan jalan menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang dialaminya ketika berada dalam kehidupan. Inilah yang disebut oleh Nietzsche sebagai Ubermensch. Menurut Sunardi, Ubermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling pada dunia dan menengok ke seberang dunia.

Nilai kehidupan manusia dapat ditemukan ketika manusia berani menghadapi segala penderitaan yang terjadi dalam kehidupan. Manusia tidak harus takut terhadap penderitaan, sebab penderitaan akan mengantarkannya pada kenikmatan kehidupan itu sendiri. Hidup adalah kenikmatan yang harus dihayati sedalam-dalamnya.

Nietzsche tampaknya juga menempatkan hal yang sama ketika memandang kehidupan dan kematian. Kehidupan harus dihadapi dengan penuh keberanian, begitu juga dengan kematian. Nietzsche berkata “kematianku kupujikan, maut yang bebas dan datang padaku oleh karena aku menghendakinya. Bebas untuk mati dan bebas dalam maut, mampu berkata ‘tidak’ dengan ikhlas bilamana saat untuk berkata ‘ya’ telah lewat…”.

Dengan demikian, kematian menurut Nietzsche juga harus dihadapi dengan penuh keberanian, seperti menghadapi kehidupan. Kematian tidak perlu ditakutkan, sebab kematian memang harus dihadapi. Ketika manusia bebas dalam kehidupan, manusia juga harus bebas dalam kematian.

Bila ditarik sebuah benang merah dari sudut kehidupan dan kematian, ambang hidup dan mati manusia harus dihadapi penuh dengan kebebasan dan keberanian. Ketika manusia berada dalam ambang hidup dan mati, manusia tidak akan mampu lari darinya, sebab itulah kenyataan yang harus dihadapi. Hal itu dapat dikembalikan pada saat manusia menghadapi kehidupan. Mereka tidak akan mampu berpaling dalam kehidupan. Salah satu jalan adalah menghadapi dengan keberanian.

Hidup dan Mati Versi Heidegger

Heidegger ialah salah satu pemikir terkemuka dalam kancah filsafat Barat yang pemikirannya dipengaruhi oleh Nietzsche. Ia sangat tertarik dengan pemikiran Nietzsche dan berusaha untuk membuat ulasan-ulasan mengenai pemikirannya yang dibukukan dalam judul: (1) Nietzsche: The Will to Power as Art, (2) Nietzsche: The Eternal Resurrence of the Same, (3) Nietzsche: The Will to Power as Knowledge and as Metaphysics, dan (4) Nietzsche: Nihilism.

Kehidupan bagi Heidegger merupakan kondisi di mana manusia memahami dirinya sendiri. Hidup adalah pusat dari makna yang harus diraih oleh manusia. Akan tetapi, untuk menemukan makna dalam kehidupan, manusia harus berhadapan dengan waktu. Bagi Heidegger, waktu adalah tempat beradanya manusia. Kehidupan ini adalah waktu. Hal itu disebabkan kehidupan ini tidak pernah terpisahkan oleh waktu. Waktu bukanlah sesuatu yang dapat dicandra. Waktu adalah segala sesuatu yang memenuhi dunia tempat manusia berada. Kehidupan berada pada medan waktu. Tidak satu pun kehidupan yang dapat melepaskan diri dari waktu.

Dalam menjalani hidup, manusia harus memperhatikan waktu dengan penuh kesadaran. Menurut Hardiman, Heidegger dapat disebut debagai sang penjinak waktu. Pemikiran Heidegger memang terpusat pada keberadaan manusia yang tidak pernah terlepas dari waktu. Waktu itu ‘liar’ jika manusia diseret dan didekte olehnya, sehingga manusia tidak lagi mampu menghayati hidup. Keliaran waktu dapat ditemukan ketika manusia telah larut dalam aktivitas keseharian. Aktivitas tersebut dapat ditemukan saat manusia bangun pagi, ke kantor, makan siang, ke mall untuk belanja, olah raga, pulang ke rumah, nonton televisi, tidur, dan seterusnya. Ketika manusia telah larut dalam aktivitas keseharian tersebut, manusia telah didekte oleh waktu. Tidak ada kesempatan manusia untuk merenungkan keberadaan dirinya. Yang ada hanya kesibukan yang memenuhi kehidupan manusia. Semua aktivitas seakan-akan telah terjadwal dengan ketat. Waktu telah mengambil alih kesadaran manusia. Saat itu, manusia telah kehilangan kesadarannya. Manusia tidak lagi berpikir siapa, dari mana, dan mau ke mana arah tujuannya.

Larutnya manusia dalam keseharian telah diperparah dengan adanya teknologi yang semakin pesat. Kebudayaan telah mengikat manusia untuk larut dalam aktivitas keseharian. Waktu telah digunakan dalam dunia layar (televise, ponsel, komputer, game). Ketika manusia telah larut dalam kondisi seperti itu, waktu telah mengambil alih kesadarannya. Saat itulah, waktu dapat dikatakan liar.

Waktu itu ‘jinak’ bukan berarti manusia mampu mengontrolnya, melainkan membuka diri terhadapnya dan menghayati sebagai dirinya sendiri. Manusia tidak akan pernah mampu mengontrol waktu. Hal itu disebabkan waktu terus mengalir selama kehidupan itu berjalan. Waktu tidak dapat dihentikan. Jadi, perlu direnungkan kembali bila ada yang mengatakan “kita harus mengontrol waktu”. Seperti yang telah dikatakan, waktu tidak dapat dikontrol, sebab waktu tetap mengalir dalam kehidupan ini. Bagi manusia, waktu akan berhenti jika manusia itu sendiri telah berhenti menjalani kehidupan, atau mati. Menurut Heidegger, waktu adalah manusia itu sendiri. Bila manusia itu mati, waktu juga akan berhenti ketika kehidupannya berakhir.

Dalam bahasan ini, kehidupan adalah proses manusia untuk membuka diri terhadap waktu. Ketika manusia larut terhadap aktivitas keseharian, manusia telah dikontrol oleh waktu dan mereka kehilangan makna kehidupan yang ia dapatkan. Akan tetapi, ketika manusia mengalami perenungan tentang keadaan dirinya, ia mulai sadar akan eksistensinya. Saat itulah, manusia berada pada kesadaran akan dirinya. Kadang kala, keadaan seperti itu dialamai oleh manusia ketika telah mengalami sesuatu yang mengarah pada kegagalan. Dalam kegagalan, manusia kadang baru sadar dan merenungkan tetang dirinya yang telah terperosok pada ranah kegelisahan. Dalam kegelisahan inilah, internalisasi (penghayatan) tentang kehidupan mulai berjalan. Dari hasil internalisasi, muncullah keputusan-keputusan untuk menghadapi kehidupan selanjutnya.

Ketika mengarahkan pemikiran Heidegger tentang keseharian, Hardiman menggambarkan kehidupan manusia seperti seseorang yang sedang berenang. Ketika manusia menenggelamkan kepalanya ke dalam air, saat itu, manusia larut ke dalam aktivitas keseharian, seperti makan pagi, kerja, makan siang, belanja di mall, pulang, istirahat, dan seterusnya. Pada saat manusia mengeluarkan kepala ke atas permukaan air, saat itu, manusia berada dalam perenungan eksistensinya. Manusia sadar bahwa dirinya berada dalam kehidupan ini dan akan mengambil keputusan untuk menjalani hidupnya. Akan tetapi, manusia cenderung berada di dalam air. Manusia sering terseret aktivitas keseharian. Tidak banyak manusia yang mampu berada dalam kesadaran. Manusia memiliki kecenderungan merenungkan keberadaannya atau eksistensinya ketika mengahadapi sebuah permasalahan yang membuat dirinya terpaksa untuk menyisihkan waktu untuk merenung.

Heidegger juga menegaskan untuk memahami kehidupan, manusia tidak dapat dipisahkan dari kematian. Bagi Hardiman, bahasan Ada-Menuju-Kematian yang diungkapkan Heidegger menjelaskan bahwa manusia harus merenungkan kematian. Kematian penting untuk kehidupan, sebab ketika manusia merenungkan kematian, manusia juga akan merenungkan kehidupan.

Eksistensi manusia dalam kehidupan, menurut Heidegger dapat digambarkan sebagai manusia yang terlempar di dunia ini, terbenam dalam keseharian, dan akhirnya mati. Manusia cenderung menghadapi dunia ini dengan larut dalam aktivitas keseharian yang tidak pernah mempertanyakan keberadaan dirinya. Secara jelas, manusia mengalami kehidupan ini apa adanya, mengalir begitu saja tanpa ada renungan-renungan yang mendalam.

Seharusnya, manusia tidak hanya berkata bahwa semua manusia pasti akan mati jadi tidak perlu ditakuti. Ketika manusia berpikir seperti itu, manusia tidak lagi merenungkan kematian. Kematian hanya dianggap sesuatu yang pasti dialami dan tidak perlu ditakuti. Dalam memandang kematian, pemikiran Heidegger cenderung berbeda dengan pemikiran Nietzsche. Nietzsche lebih memandang kematian sebagai sesuatu yang tidak perlu ditakuti, sedangkan Heidegger memandang kematian merupakan suatu hal yang harus direnungkan untuk mendalami makna kehidupan. Bagi Heidegger, keberadaan manusia yang otentik justru ketika manusia mengalami kecemasan terhadap kematian, sedangkan keberadaan manusia inotentik justru ketika manusia menganggap kematian pasti menimpa setiap orang dan tidak perlu direnungkan.

Apa itu Ambang Hidup dan Mati?

Sebelumnya telah diuraiakan mengenai hidup dan mati dari pemikiran Nietzsche dan Heidegger. Kedua pemikiran tersebut pada dasarnya memang tidak pernah mengaitkan dengan ajaran agama. Bagi kedua pemikir tersebut, penjelasan mengenai hidup dan mati yang diajarkan oleh agama adalah suatu doktrin. Doktrin agama bagi kedua pemikir tersebut terlalu membatasi pemikiran manusia. Nietzsche menganggap bahwa dogma agama tidak ada bedanya dengan jeruji besi yang membelenggu pemikiran manusia. Manusia tidak mampu memberikan nilai pada kehidupannya. Dengan berpikir tentang dosa, manusia menjadi makhluk yang lemah. Oleh sebab itu, eksistensi tuhan dimatikan oleh Nietzsche. Dengan matinya tuhan, mati pula segala manusia yang berdosa. Tidak ada lagi ada manusia yang berdosa. Yang ada hanya manusia-manusia bebas. Pilihan hidup ada ditangan manusia, bukan diatur dari luar diri manusia. Menurut Foucault, sebenarnya yang terjadi adalah kematian manusia (la mort de l’homme) itu sendiri.

Dalam kehidupan yang serba cepat ini, manusia tidak lagi menanyakan tentang ambang hidup dan mati. Kecepatan yang dukung oleh teknologi menyebabkan manusia terlalu lama larut dalam rutinitas keseharian. Manusia cenderung menganggap kematian merupakan sesuatu yang pasti ada dan semuanya pasti akan mengalami. Tetapi, mereka tidak pernah menanyakan kedudukan manusia antara hidup dan mati. Heidegger pun hanya menghimbau manusia untuk merenungkan tentang kematian. Dengan merenung tentang kematian, manusia akan merasakan bahwa dirinya hidup.

Apa itu ambang hidup dan mati? Benarkah ambang hidup dan mati datang ketika manusia berada pada detik-detik kematian? Untuk memahami hakikat ambang hidup dan mati, pemikiran harus menyertakan posisi manusia dalam ambang hidup dan mati. Ambang hidup dan mati tidak sekadar ketika manusia berada pada detik-detik kematian. Bila ambang hidup dan mati dipahami sebagai kondisi manusia ketika tercerabutnya nyawa dari tubuh, hal itu justru mempersempit hakikat ambang hidup dan mati. Ketika dipahami seperti itu, manusia tidak akan memikirkan kedalaman hidup yang dilaluinya. Sampai saat ini, ambang hidup dan mati memang dipahami sebagai sakaratul maut. Tetapi, pada dasarnya, ketika manusia berada di mall, di kantor, di perjalanan, di masjid, di sekolah, di tempat pelacuran, dan di mana pun manusia berada, mereka semua pada posisi ambang hidup dan mati. Di mana pun mereka berada, mereka tetap pada ambang hidup dan mati.

Ambang hidup dan mati sebenarnya tidak lain adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan ini merupakan tempat manusia berada pada posisi hidup dan mati. Hal itu disebabkan manusia tidak akan pernah tahu kapan datangnnya kematian pada dirinya. Kehidupan yang dilaluinya bisa saja berhenti seketika ketika kematian tiba-tiba menjemputnya. Tidak ada yang tahu kapan datangnya kematian. Orang yang baru saja bersenang-senang di mall bisa saja tiba-tiba meninggal dalam perjalanan karena kecelakaan. Inilah ambang hidup dan mati. Untuk mengetahui posisi manusia berada pada ambang hidup dan mati, manusia tidak perlu harus berada terlebih dahulu dalam sakaratul maut, baru dapat dikatakan berada pada ambang hidup dan mati.

Manusia sebenarnya hidup di dunia adalah keterlemparan manusia pada ambang hidup dan mati. Manusia tidak memiliki pilihan untuk dihidupkan dan dimatikan. Tanpa pilihan, manusia terlahir di dunia dan menjalani kehidupan sekaligus menanti kematian. Kematian adalah penantian akhir kehidupan di dunia. Ketika dalam penantian kematian, manusia berada pada ambang hidup dan mati.

Ketika manusia menyadari akan keberadaannya dalam ambang hidup dan mati, manusia akan merenungkan makna kehidupan yang paling dalam. Keberadaannya dalam ambang hidup dan mati membuat manusia lebih mencari makna hidup yang dijalaninya. Kehidupan tidak ada bedanya dengan keberadaan manusia pada daerah yang berkabut tebal. Pandangan tidak mampu menembus terlalu jauh jarak dari hadapan. Dalam keadaan tersebut, manusia harus menggunakan perasaan dan pikiran untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan dilewati, sebab jurang dan pedang siap melemparkan dan menebas leher dalam kegelapan kehidupan.

Dalam agama pun, manusia dianjurkan untuk merenungkan bahwa kematian setiap saat akan datang. Oleh sebab itu, manusia harus memberikan makna pada kehidupannya, dengan jalan menjalankan ibadah yang telah ditetapkan. Pada dasarnya, agama pun juga tidak membatasi ambang hidup dan mati pada saat manusia dalam sakaratul maut. Agama juga mengajarkan untuk berada pada kesadaran tentang maut kapan saja akan datang bila sudah ditetapkan dan ketetapan itu tidak akan pernah terjamah oleh pemikiran manusia. Dalam hal ini, rasio telah tumbang. Agama pada dasarnya memberikan jejak berpikir bahwa manusia selalu dalam ambang hidup dan mati. Oleh sebab itu, manusia tidak harus terlalu lama tenggelam dalam aktivitas keseharian. Manusia harus memberikan makna pada kehidupannya.

Apa itu detik-detik kematian? Ketika ada korban kecelakaan, yang satu telah meninggal di tempat kejadian dan yang satunya lagi dalam keadaan kritis. Korban yang dalam kondisi kritis dengan nafas yang berat hingga dadanya naik turun, darahnya keluar dari mulut, telinga, hidung, karena benturan yang cukup keras tepat di kepalanya inilah detik-detik kematian. Saat membahas mengenai detik-detik kematian, kita boleh merujuk pada sakaratul maut. Salah satu contoh tersebut merupakan kondisi manusia dalam detik-detik kematian. Akhir kehidupan mulai menanjak pada klimaks kehidupan.

Dalam detik-detik kematian, puncak pengalaman kehidupan mulai dilalui manusia. Kenikmatan tertinggi dari kehidupan terletak dalam detik-detik kematian. Korban kecelakaan yang meninggal di tempat kejadian, sudah melewatkan puncak kenikmatan kehidupan, sedangkan korban yang dalam kondisi kritis dalam keadaan puncak kenikmatan kehidupan. Yang pasti ialah pengalaman hidup yang tertinggi adalah detik-detik kematian, karena manusia tidak mampu melewati detik-detik kematian untuk kedua kalinya. Dalam keadaan tersebut, evaluasi kehidupan benar-benar berjalan.

Tidak ada komentar: