Selasa, 15 April 2008

CINTA DAN PEMBEBASAN DUNIA PEREMPUAN DALAM MELATI DI PAHAKU KARYA YUNIS KARTIKA

CINTA DAN PEMBEBASAN DUNIA PEREMPUAN DALAM MELATI DI PAHAKU KARYA YUNIS KARTIKA

Oleh: Heru Susanto*



Abstrak


Melati di Pahaku” merupakan kumpulan puisi Yunis Kartika yang didominasi nuansa cinta antara laki-laki dan perempuan. Dalam perjalan cinta, perempuan merupakan individu yang mengalami kesunyian akibat pengkhianatan seorang kekasih. Hal itu menyebabkan adanya pergeseran dari cinta menjadi kebencian yang mengarah terhadap seruan pembebasan perempuan. Puisi tersebut juga menyuarakan adanya penindasan yang disebabkan kondisi biologis perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Perlawanan juga mengarah pada wilayah politik yang berusaha melembagakan dominasi patriarki terhadap matriarki. Puisi-puisi Yunis Kartika yang terkumpul dalam “Melati di Pahaku” merupakan puisi yang bernuansa cinta serta mengandung semangat feminisme.


Kata Kunci: cinta, pembebasan, patriarki, matriarki, Feminisme



Pendahuluan


Proses penulisan kreatif tidak dapat dihindarkan dari penggunaan kemampuan perasaan dalam menciptakan karya yang bermakna. Kekuatan makna dalam sebuah karya sangat ditentukan oleh keberanian dan intensitas kontemplasi (perenungan) terhadap segala realita yang ada. Karya akan muncul bila pengalaman yang merupakan pusat kekuatan dituangkan dalam media, seperti goresan warna dalam seni rupa, keharmonisan nada dalam seni musik, dan khususnya rangkaian kata dalam seni sastra.


Puisi sebagai salah satu genre sastra memberikan pandangan yang luas melalui bahasa pilihan sebagai ekspresinya. Dalam puisi, pengalaman yang luas dan dalam dapat dinikmati dalam kata-kata yang sederhana dan terkesan pendek. Permasalahan yang kompleks sekalipun dibangun melalui kata-kata yang ringkas. Namun, kesederhanaan dan keringkasan kata tidak menyurutkan makna dalam mengungkapkan permasalahan. Kekayaan dan kedalaman kehidupan dapat diserap oleh penikmat puisi dengan cara menghayati secara mendalam. Kenyataan tersebut dapat dikatakan sebagai pemadatan bahasa yang penuh kedalaman elemen makna. Hal itulah yang tampaknya melatarbelakangi Nirwan Dewanto dalam pertemuan lima penyair pada Festival Seni Surabaya (FSS) 2007 mengatakan bahwa puisi merupakan penguasaan bahasa yang tertinggi.


Dalam kumpulan puisi Melati di Pahaku, Yunis Kartika (selanjutnya ditulis YK) berusaha membidik fenomena dalam kehidupan yang sangat kompleks dan merupakan salah satu misteri dalam kehidupan, yakni cinta dan dunia perempuan. Keberadaan cinta dalam kehidupan merupakan bahasan yang tidak pernah terselesaikan untuk didiskusikan. Banyak tokoh berusaha membedah hakikat cinta, hingga memunculkan berbagai teori cinta. Akan tetapi, cinta seakan-akan merupakan ruang yang tak berdinding pembatas, tak beralas, serta tak beratap. Manusia sepertinya tak pernah dapat menjangkau batas-batasnya. Plato (dalam Santas, 2002), filosof Athena (427-347 SM), mengemukakan bahwa cinta ada demi kebaikan yang harus dimiliki seseorang seumur hidup. Dengan cinta, manusia dapat memiliki kebaikan yang abadi untuk menjaga kebaikan dengan tujuan yang tertinggi.


Mohammad Iqbal (dalam Hawasi, 2003:42-43), sastrawan serta filosof eksistensialis pendiri negara Pakistan, menyatakan bahwa cinta merupakan kekuatan yang mampu memberikan keberanian manusia dalam menghadapi segala permasalahan. Hal itu diungkapkan dalam puisinya sebagai berikut.


Bila ego diperkuat dengan cinta

Tenaganya menguasai dunia semesta

Langit menguasai angkasa dengan bintang-bintang

Tangannya menjadi tangan Tuhan

Bulan pecah oleh jari-jemarinya

Dialah pelerai dalam semua sengketa dunia”



Cinta yang digagas oleh kedua pemikir tersebut merupakan sebagian kecil dari usaha untuk mendekati hakikat cinta. Usaha tersebut belum dapat dikatakan final. Hal itu disebabkan cinta tidak mengenal batas yang pasti. Oleh sebab itu, perlu dipertanyakan kembali pernyataan yang menyatakan cinta itu buta serta cinta itu indah. Dunia perempuan juga tidak dapat dipisahkan dalam kajian mengenai cinta. Hal itu disebabkan kajian mengenai cinta tidak dapat dilepaskan dari kajian gender. Permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini difokuskan pada cinta dan dunia perempuan yang penuh dengan perlawanan terhadap struktur patriarki. Bagaimana YK membidik cinta dan dunia perempuan dalam dunia estetika?


Cinta sebagai Legitimasi Dominasi Laki-laki terhadap Perempuan


Dalam penciptaan sebuah puisi, bahasa memiliki peran utama. Bahasa tersebut digunakan untuk membangun maksud yang akan diungkapkan oleh seorang penyair. Bahasa merupakan pembungkus gagasan yang menjadikan latar-belakang penciptaan karya. Gagasan yang diungkapkan YK dalam puisinya tidak terlepas dari cinta.

Seperti yang telah diungkapkan di depan, cinta tidak memiliki batas yang pasti. Oleh sebab itu, cinta memiliki makna yang dapat dikatakan tak terbatas, sehingga tidak jarang sastrawan sering mengangkat permasalahan cinta dalam karyanya. YK dalam puisinya menggambarkan cinta yang memang terkesan nakal, bebas, dan tanpa basa-basi. Hubungan cinta laki-laki dan perempuan, baik suka maupun luka, dapat ditemukan hamper di semua puisinya. Gambaran laki-laki dan perempuanlah yang memberikan kekuatan tersendiri dalam karyanya. Permasalahan cinta digambarkan dalam puisi berjudul Pemuaraan Rahasia.

Kau yang hadir tak bisa utuh

Nyatanya mampu menenggelamkan

Rangkaian merdu kalimat sakti

Meluluhlantahkan batu karang di hati


Terlalu gelap jalan yang kita susuri

Padahal tangan kita bergandengan

Atau sebab satu tanganmu

Masih menggenggam tapak di belakang

Hingga hanya satu tangan yang bisa kugapai



Puisi di atas tampaknya mengungkapkan kondisi jiwa yang penuh ketidakpastian. Ketidakpastian tersebut disebabkan adanya ketidakpercayaan mengenai cinta yang dijalani. Permasalahan yang terungkap merupakan permasalahan cinta yang bersifat mendua. Cinta yang diinginkan tidak dapat seutuhnya dimiliki. Ada cinta lain yang masih berpengaruh pada seseorang yang dicintainya. Hal itu dapat ditemukan pada baris atau sebab satu tanganmu/masih menggenggam tapak di belakang/hingga hanya satu tangan yang bisa kugapai. Melalui baris puisi tersebut gagasan yang tadinya abstrak lebih tampak konkrit. Seseorang yang dicintai dikisahkan masih memiliki seseorang yang lain yang tidak dapat dipisahkan dan dimetaforkan sebagai tangan yang masih menggenggam tapak di belakang. Masih menggenggam tapak di belakang dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang disembunyikan, yakni rasa cinta terhadap yang lain.


Cinta yang mendua tersebut sebenarnya disadari. Baris kau yang hadir tak bisa utuh/nyatanya mampu menenggelamkan merupakan pernyataan mengenai kekuatan cinta yang sebenarnya tidak dapat mencintai secara penuh, namun mampu membuat seseorang jatuh hati. Bila dicermati, ada kesadaran yang menegaskan bujuk rayu. Bujuk rayu inilah yang membuat perasaan cinta mampu tumbuh dalam setiap hati manusia. Bujuk rayu lebih dikonkritkan oleh pengarang melalui rangkaain merdu kalimat sakti. Dengan kalimat yang penuh rayu, cinta pun akhirnya muncul dari lubuk hati.


Kekuatan bahasa juga diakui oleh pengarang. Bahasa yang dimaksud ialah bahasa yang digunakan sebagai alat untuk menaklukkan hati seorang perempuan. Penaklukan dilakukan dengan menggunakan bahasa yang dikiaskan pengarang sebagai kalimat sakti. Diksi yang digunakan dalam puisi tersebut memang merupakan diksi yang sederhana, namun mampu mengungkapkan gagasan yang cukup segar mengenai cinta yang di dalamnya penuh rahasia seperti yang difregmentasikan dalam judul puisi tersebut. Inilah yang disebut pengarang sebagai pemuaraan rahasia. Pada dasarnya, cinta tetap menjadi rahasia bagi seseorang yang dicintai. Seberapa besar cinta yang diterima dari kekasihnya tidak akan pernah mampu ia ketahui secara pasti. Hal itu tampaknya dikemukakan oleh penyair sebagai dominasi laki-laki terhadap perempuan.


Kemisterian jalinan kasih tampak jelas pada puisi berjudul Labirin Rahasia. Kisah cinta diekspresikan berdasarkan rasa ketidakpastian. Hubungan yang tampak seperti mimpi indah yang pada saat mata terbuka telah menguap entah ke mana. Keindahan yang sementara tampak dalam kutipan puisi berikut.


seperti mimpi bersijingkat pergi

harapan yang juga hengkang

asa menguap selaksa asap

gulana menikam pasti

kita serupa misteri



Dalam puisi di atas, ada permainan diksi yang dapat dikatakan lincah. Penggunaan metafor yang menarik terlihat pada kata mimpi sebagai gambaran keindahan yang semu. Penggunaan metafora juga diperkuat lagi dengan personifikasi seperti pada baris mimpi bersijingkat pergi/harapan yang juga hengkang/asa menguap selaksa asap. Perpaduan metafor dan personifikasi memberikan gagasan yang abstrak lebih tampak konkret. Strategi tersebut merupakan keunggulan dalam puisi untuk menceritakan sesuatu yang tidak jelas menjadi jelas. Sesuatu yang tidak dapat ditangkap panca indra manusia, tidak jelas, dan tidak pasti dimunculkan sebagai sesuatu yang seakan dapat ditangkap oleh panca indra.


Puisi
Labirin Rahasia lebih menarik karena sesuatu yang abstrak dikonkritkan dengan permainan kata yang ditempatkan pada tempat yang sesuai. Asa menguap selaksa asap merupakan gambaran keputusasaan yang mengundang kekecewaan. Harapan digambarkan seperti asap yang keberadaannya sementara dan hilang ditiup angin. Kata yang berpengaruh untuk memperkuat gagasan terletak pada kata mimpi dan asap sebagai metafora. Keindahan yang didapat dalam memadu kasih dalam puisi tersebut digambarkan sebagai sesuatu yang sementara dan hanya meninggalkan kebingungan yang berujung pada rasa sakit seperti gulana menikam pasti. Fenomena seperti ini tidak pernah terlepas dari kisah cinta purba. Senang dan luka dalam bercinta seperti dua sisi mata uang yang tidak pernah terpisahkan. Hal itulah yang menyebabkan penyair menganggap fenomena tersebut seperti misteri tanpa henti.


Rasa kecewa dan sakit juga dibidik secara pasti oleh penyair dalam puisi yang berjudul Patah.


Cintaku patah

Dikulum patah senyummu


Puisi tersebut sangat pendek dan padat. Kekecewaan terhadap cinta membuat segala kesedihan tertuang dalam kealpaan. Puisi Patah bila dicermati akan menimbulkan efek yang sunyi. Kesunyian tersebut menghadirkan suasana kesedihan yang begitu dalam. Ada pilihan kata yang mengisyaratkan kesedihan dan kekecewaan. Kekuatan kata tersebut terdapat pada kata patah. Kata patah diulang dalam baris puisi sebanyak dua kali serta ditekankan pada judul puisi yang juga menggunakan kata tersebut. Patah mengisyaratkan sesuatu yang telah tidak utuh lagi. Hal itu dapat ditafsirkan sebagai kesedihan, kesengsaraan, kesunyian yang dalam, serta pisahnya hubungan dengan kekasih.


Kata patah lebih terasa kuat efek maknanya pada baris Dikulum patah senyummu. Baris tersebut menegaskan adanya rasa kekecewaan terhadap cinta yang sangat diinginkan. Kekecewaan tersebut muncul ketika seseorang yang dicintai mulai tidak menganggapnya lagi atau tidak memperhatikan cintanya lagi. Hal itu dimetaforkan sebagai Dikulum patah senyummu. Cintanya patah ketika rasa sayang sang kekasih yang diwakili kata senyummu mulai tidak terlihat lagi.


Fenomena cinta yang dituangkan dalam bait buisi tersebut lebih menekankan pada kesedihan yang dialami oleh seorang perempuan dalam menikmati cinta kasih. Tampaknya permasalahan esensial dalam hal ini diarahapah pada dominasi laki-laki terhadap perempuan. Hal itu merupakan aspek penyebab adanya rasa tertindas dari pihak perempuan. Ketertindasan digambarkan dalam kesedihan akibat hubungan laki-laki dan perempuan yang berakhir pada pengkhianatan. Pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut pada akhirnya membentuk sebuah semangat pembebasan yang lebih memberikan jalan keluar terhadap perempuan dalam kesunyian yang dikonstruksi sebagai ketertindasan.


Pembebasan sebagai Elemen Antagonis



Hubungan antara lelaki dan perempuan pada dasarnya merupakan hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Perempuan seakan-akan memiliki karakteristik yang bergantung pada eksistensi laki-laki dalam ranah seksualitas. Fromm (2007:130) menegaskan kecenderungan karakter tertentu muncul dari kecemasan utama laki-laki berupa kegagalan dan muncul juga pada diri perempuan berupa rasa frustrasi dan kebergantungan. Pernyataan Fromm tersebut mengacu pada karakteristik perempuan dan laki-laki pada hubungan seksual. Perempuan memiliki karakteristik sebagai manusia yang memiliki kebergantungan terhadap kaum patriarki. Kondisi seperti itu memengaruhi status sosial perempuan yang momosisikannya pada status inferior, sedangkan laki-laki secara tidak langsung memosisikan diri pada superior.


YK merupakan perempuan penulis yang tidak melepaskan diri dari dunianya sebagai seorang perempuan. Oleh sebab itu, puisi-puisi yang digarap olehnya juga tidak terlepas dari perjuangan terhadap kaum perempuan. Bila dicermati, pada puisi-puisi yang telah dikaji sebelumnya menunjukkan adanya rasa kesunyian seorang perempuan yang ditinggalkan laki-laki. Efek yang dimunculkan dari puisi-puisi sebelumnya mengacu pada perempuan yang seakan-akan termarginalkan akibat dominasi laki-laki yang telah mencampakkan cinta perempuan.


Kondisi yang dialami perempuan tersebut dapat menimbulkan rasa frustrasi seperti yang dimaksudkan oleh Fromm. Hal itu menimbulkan hubungan cinta dapat mengarah pada hubungan perlawanan. Fromm (2007:125) menyatakan dalam hubungan laki-laki dan perempuan mempunyai kemampuan untuk mencintai sekaligus kemampuan untuk menimbulkan kebencian. Kenyataan tersebut oleh Fromm disebut sebagai elemen antagonis, yakni suatu potensialitas yang mampu membangun elemen kecemasan, sehingga orang yang dicintai dapat berubah sebagai orang yang dimusihi.


Permusuhan yang muncul akibat hubungan laki-laki dan perempuan mengarah pada seruan perempuan untuk tidak takluk pada eksistensi laki-laki. Dalam puisinya, YK menekankan semangat untuk melepaskan diri dari dunia kuasa laki-laki yang sebelumnya dituangkan dalam puisi yang telah dikupas sebagai penyebab rasa sakit hati dengan adanya pengkhianatan cinta. Semangat kebebasan tersebut terdapat pada puisi Menarilah Perempuan.

langit sore pucat

adakah alam pernah berduka

untuknya yang kehilangan banyak gairah


nyatanya hidup hanya sekutu

tanpa kompromi


cukupkan!

tumpaskan airmata

tak perlu sesegukan

buangbuang waktu di ambang pintu

menarilah, rayakan kebebasan



Puisi tersebut memberikan semangat kebebasan bagi perempuan untuk tidak terlalu hanyut dalam kesedihan dan posisi tertekan. Tekanan-tekanan makna pembebasan sangat kuat pada bait terakhir. Penyair seakan-akan memberikan sugesti untuk bersikap tegas. Cukupkan!/tumpaskan airmata merupakan baris yang penuh penegasan dari penyair untuk membebaskan diri perempuan dari rasa kesedihan dan kekecewaan tentang cinta dan kasih sayang. Dalam hal ini, penyair ingin mereduksi adanya kebergantungan perempuan terhadap laki-laki. Semangat yang dimunculkan adalah semangat pembebasan perempuan terhadap kultur budaya yang memosisikan perempuan yang seakan-akan dikonstruksi sebagai makhluk yang berada pada posisi inferior. Baris menarilah, rayakan kebebasan merupakan kekuatan gagasan yang menyatukan elemen makna keseluruhan puisi yang bertendensi pada semangat kebebasan. Perempuan harus bebas dari penderitaan, ketertekanan, dan penindasan dari dominasi patriarki merupakan gagasan yang menjadikan puisi tersebut dapat menggerakkan semangat perlawanan perempuan terhadap laki-laki.


Semangat Feminis


Feminisme dikatakan sebagai sebuah ide yang di antaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Ratna (2005) memandang feminisme dan emansipasi adalah bentuk yang sama. Hakikat keduanya adalah persamaan hak perempuan terhadap hak laki-laki. Menurut Sofia dan Sugiharti (2003:24), feminisme beda dengan emansipasi. Emansipasi cenderung menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan ketidakadilan gender, sedangkan feminisme sudah mempersoalkan hak serta kepentingan perempuan yang selama ini dinilai tidak adil.


Semangat feminis dapat digambarkan sebagai gerakan yang menyuarakan ketertindasan kaum perempuan akibat adanya dominasi dari budaya patriarki yang bertendensi sebagai pembebasan perempuan dari struktur budaya yang mengkonstruksinya sebagai manusia inferior. Kenyataan tersebut membuat posisi perempuan berada pada status individu yang mengalami ketidakbebasan dalam menentukan status sosial.


Berdasarkan hasil penelitian Bechofen (Fromm, 2007:4) mengenai hak ibu (Mother Right), struktur kultur masyarakat pada masa lalu mengacu pada perempuan. Penelitian Bechofen didasarkan analisis terhadap mitos-mitos dan simbol-simbol bangsa Romawi, Yunani, dan Mesir. Dari penilitian tersebut dihasilkan gambaran yang mengacu pada kultur matriarki, bukan patriarki. Jadi, budaya patriarki merupakan budaya yang dapat dikatakan sebagai struktur budaya yang relatif baru. Jauh sebelumnya, struktur matriarki merupakan pusat sentral dari kehidupan sosial.


Akan tetapi, dalam perkembangannya, struktur matriarki bergeser pada struktur patriarki. Dalam pergeseran struktur sosial tersebut, kaum perempuan mulai mengalami ketidaksetaraan dalam menentukan status sosial. Perempuan merupakan manusia kedua setelah laki-laki. Pusat struktur kebudayaan tidak lagi pada struktur matriarki, tetapi mulai bergeser ke struktur patriarki. Perempuan yang tadinya merupakan pusat struktur dalam kehidupan sosial telah beralih menjadi struktur di bawah laki-laki. Inilah yang menyebabkan kondisi perempuan dimarginalkan dalam status sosial masyarakat.


Struktur masyarakat dalam kenyataannya sering menempatkan perbedaan anatara laki-laki dan perempuan. Arba’in (2007:15) menegaskan adanya perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat mengakibatkan posisi perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak menguntungkan.


Dalam dunia sastra, perlawanan terhadap kuasa patriarki tampaknya semakin gencar. Para perempuan penulis, khususnya YK melakukan perlawanan terhadap struktur sosial yang menempatkan posisi perempuan dalam ranah inferior. Puisi-puisi YK memang bernuansa semangat feminisme. Hal itu disebabkan beberapa puisinya menyimpan gagasan-gagasan yang sejalan dengan semangat perjuangan feminisme, walaupun tidak semuanya digambarkan secara eksplisit. Menurut Djajanegara (2003:48), perempuan penulis, penulis feminin, maupun penulis feminis, sejak dulu hingga sekarang harus selalu berjuang melawan kekuatan-kekuatan kultural dan historis yang menilai rendah pengalaman perempuan dan karya mereka. Oleh sebab itu, puisi-puisi YK memang selayaknya dikaji dalam pandangan semangat yang memperjuangkan kondisi sosial perempuan.


Puisi YK mencoba membongkar ketidakadilan dalam struktur masyarakat. Hal ini merupakan strategi tersendiri untuk menyerukan kondisi perempuan yang mengalami ketertindasan dalam menjalankan kehidupan sebagai makhluk sosial yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Perlawanan itu terdapat pada puisi yang berjudul Tuntut Saja Tuhan!.


Jika karena kelamin

dan payudara yang mengembang

kita dinistakan


kenapa tak kita tuntut saja tuhan!



Puisi tersebut menekankan pada aspek tubuh yang menyebabkan perempuan menjadi objek dari laki-laki. Perempuan dengan tubuhnya merupakan aspek yang memunculkan hasrat birahi laki-laki terhadap perempuan. Peristiwa perkosaan sering terjadi dan hal itu juga diinformasikan dalam berbagai media massa. Hal itu menunjukkan adanya penindasan yang diterima kaum perempuan terhadap dominasi laki-laki. Tidak jarang perempuan menjadi korban dari pelecehan seksual. Pelecehen seksual tersebut tidak sekadar pada perempuan dewasa, tetapi kadang juga dialami oleh perempuan yang masih di bawah umur (belia). Kondisi seperti itu yang menjadikan puisi tersebut merupakan seruan ketertindasan kaum perempuan.


Semangat pemberontakan secara esensial dipertanyakan dengan penciptaan perempuan yang berbeda dengan laki-laki, khususnya kondisi fisik. Perempuan seakan-akan merupakan makhluk yang dijadikan objek pelampiasan hasrat seksual laki-laki. Hal itu tergambar pada Jika karena kelamin/dan payudara yang mengembang/kita dinistakan. Baris puisi menekankan pada penindasan yang dialami oleh perempuan yang diakibatkan pada kondisi fisiknya yang seakan-akan merupakan “makanan” bagi pembangkit nafsu seksual laki-laki. Hal itu juga dapat ditafsirkan bahwa puisi tersebut merupakan refleksi dari pelemparan kesalahan terhadap perempuan bila ada kasus pelecehan seksual. Masyarakat tidak jarang selalu mengacu pada kaum perempuan bila terdapat pelecehan seksual dengan dalih bentuk tubuh yang sering dipertontonkan pada umum. Hal itu menyebabkan perempuanlah yang menjadi korban dan pihak bersalah jika terdapat peristiwa pelecehan seksual. Kondisi seperti itu juga ditekankan Andrea Dworkin (dalam Cavallaro, 2004:199) dalam sistem laki-laki perempuan adalah seks; seks adalah pelacur (whore). Pelacur adalah pelacur yang terendah, pelacur yang dimiliki oleh semua penduduk laki-laki. Pernyataan itu seakan-akan merupakan titik terendah pandangan patriarki dalam memandang eksistensi perempuan.


Peristiwa tersebut juga sempat disinggung oleh Ibrahim (2006:276) mengenai perkosaan yang dilakukan oleh seorang bajingan terhadap perempuan yang dirasa terlalu merangsang dan menggiurkan. Peristiwa penganiayaan tersebut justru diberitakan dalam media massa sebagai menggagahi. Penggunaan bahasa dalam pemberitaan penindasan perempuan tersebut pada dasarnya merupakan rekronstruksi yang tidak berpihak pada perempuan. Penindasan, penganiayaan terhadap perempuan dibahasakan sebagai kegagahan. Hal itulah yang menurut Ibarahim disebut sebagai pendistorsian dan pemanipulasian bahasa.


Logika pembedaan seks/gender dalam masyarakat menghasilkan konstruk yang menyituasikan bahwa perempuan adalah perempuan secara biologis. Seolah-olah laki-lakilah yang lebih berhak atas tubuh perempuan, dia harus patuh kepada laki-laki. Menurut Beavoir (dalam Prabasmoro, 2006:59) menjadi perempuan adalah lebih dari sekadar fakta biologis, tentu saja perempuan seperti laki-laki adalah makluk hidup, tetapi pernyataan seperti ini adalah abstrak. Perempuan pada kenyataannya dibedakan atas dasar kondisi biologis yang berbeda dengan laki-laki.


Puisi Kartika juga merupakan puisi yang menyuarakan kritik yang tajam pada ranah politik, khususnya undang-undang tentang porno aksi dan porno grafi. Penyair memandang bahwa dengan adanya undang-undang tersebut justru mempertajam dominasi laki-laki terhadap perempuan. Perempuan seakan-akan berada pada posisi yang dipersulit, sedangkan kebebasan hanya untuk laki-laki. Hal itu tergambar dalam puisi yang berjudul Kebiri.


aku tak hendak jadi perempuan

jika karenanya ruu anti pornoaksi dan pornografi

disahkan

mari beramai-ramai operasi kelamin

biar tinggal penis yang berkuasa!


Penolakan terhadap undang-undang tersebut disuarakan dengan menyerukan pilihan untuk tidak menjadi perempuan. Hal itu merupakan sebuah penolakan yang merupakan sindiran bagi penguasa yang lebih mengutamakan kepentingan atau kebebasan kaum laki-laki daripada perempuan. Seruan dalam puisi tersebut tidak sekadar mengacu pada satu perempuan (penyair) melainkan ajakan kepada seluruh perempuan untuk serempak melakukan operasi kelamin, dari perempuan menjadi laki-laki. Kebiri dapat dikatakan sebuah satire untuk pemerintah yang katakanlah berusaha melembagakan dominasi laki-laki, hingga dimetaforkan sebagai penis yang berkuasa. Tong (2006:266) menegaskan pembebasan perempuan membutuhkan, paling tidak, penghapusan lembaga laki-laki untuk menguasai perempuan. Perlawanan dalam puisi Kebiri merupakan penyeruan sebagai penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap sebagai pelegitimasi kekuasaan laki-laki yang sarat memberikan kebebasan dan mempersempit kebebasan perempuan. Ruh yang terdapat dalam puisi itu ialah perjuangan untuk menghapuskan benih lembaga untuk menguasai dan mempersempit ruang lingkup kebebasan perempuan.


Pemberontakan terhadap adanya pembedaan gender laki-laki dan perempuan, baik bersifat biologis maupun pemberontakan kebijakan politis merupakan karakteristik yang dapat digolongkan sebagai semangat feminisme. Karakteristik tersebut sangat terasa dalam puisi YKdalam kumpulan puisi Melati di Pahaku.


Penutup


Cinta yang terfregmentasi dalam puisi-puisi YK merupakan cinta yang menempatkan perempuan dalam ranah kesunyian. Posisi perempuan dalam kesunyian akibat pengkhianatan cinta dari sang kekasih memicu adanya kebencian antara laki-laki dan perempuan yang semula saling mencintai. Bergesernya dari rasa cinta ke rasa benci antara laki-laki dan perempuan menurut Fromm disebut sebagai elemen antagonis yang memicu kecemasan, hingga berubah menjadi kebencian.


Selain itu, puisi-puisi YK merupakan usaha pembebasan perempuan dari dominasi patriarki. Seruan-seruan yang terkandung dalam puisi-puisinya merupakan seruan terhadap perempuan untuk tidak selamanya menerima kondisi yang memosisikan dirinya pada inferior, sedangkan laki-laki menempati popsisi sebagai makhluk superior.


YK juga mempermasalahkan perbedaan tubuh (biologis) perempuan dengan laki-laki yang menyebabkan adanya penindasan pada pihak perempuan. Penindasan yang dialami perempuan dapat dirujuk pada pemerkosaan yang seakan-akan memosisikan perempuan sebagai pihak yang sekadar “dinikmati” laki-laki, sedangkan laki-laki seakan-akan berkuasa atas tubuh perempuan. Dalam puisi Kebiri, YK mulai mengadakan perlawanan dalam ranah politik yang dianggap berusaha melembagakan dominasi patriarki.


Dari berbagai puisi YK yang dikaji dalam tulisan ini, puisi-puisi tersebut dapat dijadikan rujukan sebagai karya sastra yang menjadikan objek cinta, seksualitas, serta upaya pembebasan dunia perempuan terhadap dominasi laki-laki. Kajian mengenai puisi-puisi YK yang terkumpul dalam Melati di Pahaku semoga dapat memperluas kajian terhadap perempuan penulis yang memperjuangkan dunia perempuan.







Daftar Rujukan


Arba’in, Armini. 2007. Citra Wanita Pekerja dalam Novel-novel Indonesia: Analisis Kritik Feminis. Padang: Lustrum V Fakultas Sastra Universitas Andalas


Cavallaro, Dani. 2004. Teori Kritis dan Teori Budaya. terjemahan Laily Rahmawati. Yogyakarta: Niagara


Djajanegara, Soenarjati. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama


Fromm, Erich. 2007. Cinta, Seksualitas, Matriarki: Kajian Komprehensif tentang Gender. Terjemahan Pipiet Maizier. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra


Hawasi. 2003. Eksistensialisme Mohammad Iqbal. Jakarta: Wedatama Widya Sastra


Ibrahim, Idy Subandi. Imaji Perempuan di Media: Representasi dan Resistansi di Balik Idealisme Wacana Tubuh. Dalam Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra


Kartika, Yunis. 2007. Melati di Pahaku. Bandung: Chibi

Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra


­­Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Santas, Gerasimos. 2002. Plato dan Freud: Dua Teori tentang Cinta. Terjemahan Kornad Kebung. Maumere: LPBAJ


Sofia, Adib dan Sugihastuti. 2003. Feminisme dan Sastra: Menguak Citra Perempuan dalam Layar Terkembang. Bandung: Katarsis


Tong, Rosemaria Putman. 2006. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Terjemahan Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra




Tidak ada komentar: