Selasa, 15 April 2008

FRUSTRASI TOKOH UTAMA DALAM CERPEN PEREMPUAN ITU CANTIK KARYA RATNA INDRASWARI IBRAHIM DAN CERPEN WENING KARYA YANUSA NUGROHO

FRUSTRASI TOKOH UTAMA DALAM CERPEN PEREMPUAN ITU CANTIK KARYA RATNA INDRASWARI IBRAHIM DAN CERPEN WENING KARYA YANUSA NUGROHO


Oleh: Heru Susanto




A. Pendahuluan

Hakekat karya sastra ialah estetis dan imajinatif. Untuk mencapai tataran estetis, karya seni tidak harus tenggelam dalam kubangan estetis yang dangkal. Estetis memiliki pengertian yang lebih luas. Kengerian, kebencian, kealpaan, keserakahan, kematian, dan kekerasan juga merupakan keindahan dalam karya sastra.


Untuk mencapai keestetisan, karya sastra tidak pernah terlepas dari peranan imajinatif. Menurut Ratna (2007:44), imajinasi adalah salah satu kekuatan yang dapat menangkap sekaligus menghubungkan aspek-aspek estetis yang sedang diamati dengan memori pengalaman terdahulu. Melalui imajinasi, karya sastra memiliki kekuatan besar yang nantinya membuat karya tersebut menjadi sublim. Dari sanalah, estetis sebuah karya mulai terbangun.


Karya sastra lahir dari suatu masyarakat melalui pengarang: pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat (Arba’in, 2007:19). Pengarang memiliki kekuatan untuk menuangkan internalisasi pengalaman hidupnya yang dalam ke dalam karya sastra. Lebih jauh, Hudson (Sitanggang, 2003:81) mengatakan kesusastraan berbicara tentang pengalaman perseorangan sebagai individu, pengalaman manusia sebagai manusia, pengalamannya dengan dosa, dengan nasib, dengan Tuhan, dengan harapan bangsa, termasuk hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat dalam segi aktivitas dan persoalannya. Oleh sebab itu, karya sastra memiliki aspek yang bersifat kompleks.


Dalam menciptakan karya sastra, pengarang juga tidak dapat melepaskan diri dari teks-teks sastra yang lain. Menurut Sitanggang (2003:81) kelahiran suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah diserap oleh sastrawan. Pengarang pada dasarnya tidak hanya sebagai produktor, namun pengarang terlebih dahulu juga sebagai reseptor. Dari proses resepsi, pengarang memiliki langkah pijak untuk mereproduksi karya yang baru. Jadi, pengarang tidak berangkat dari kekosongan. Melalui karya terdahulu, ia menggulumi konvesi sastranya, konvensi estetiknya, gagasan yang tertuang dalam karya itu, kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karangan, karyanya sendiri (Sitanggang, 2003:81).


Dari proses resepsi karya sastra terdahulu, pengarang kemudian mengonstruksi ke dalam karya sastra yang baru. Dalam hal ini, pengarang tidak serta-merta mengalihkan karya sastra yang dulu ke dalam karya sastra yang baru. Akan tetapi, karya sastra yang baru tersebut telah mengalami internalisasi pengarang melalui kekuatan imajinatifnya, sehingga karya yang berikutnya lebih memiliki kreativitas berkembang. Oleh sebab itu, bila karya tersebut dibaca, pembaca akan merasakan sesuatu yang baru.


Untuk mengetahui kedalaman estetis suatu karya sastra, pembaca memiliki peran yang dominan. Pembaca harus dapat merasakan kekuatan-kekuatan yang terkandung dari berbagai karya sastra. Menurut Riffaterre (Endraswara, 2003:133), karya sastra (sajak) biasanya baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain, baik dalam hal persamaannya maupun pertentangannya. Pernyataan tersebut lebih menegaskan bahwa karya sastra tidak pernah terlepas dari karya yang lain. Oleh sebab itu, pembaca harus memiliki wawasan yang luas untuk mencapai kedalaman suatu karya yang disandingkan dengan karya sastra yang lain. Hal itu bertujuan untuk mengetahui sejauh mana nilai estetis yang berkembang dari karya satu ke karya sastra yang lain.


Tulisan ini mengupas frustasi tokoh utama dalam cerpen Perempuan itu Cantik karya Ratna Indraswari Ibrahim dan cerpen Wening karya Yanusa Nugroho dengan menggunakan kajian intertekstual. Perempuan itu cantik merupakan cerpen pilihan Kompas tahun 1992, sedangkan Wening merupakan cerpen yang dimuat Komas, Minggu, 14 Mei 2006.


Analisis ini juga melibatkan interdisipliner antara disiplin ilmus sastra dengan disiplin ilmu psikologi. Hal itu disebabkan sastra tidak pernah terlepas dari gejolak psikologi. Menurut Siswantoro (2005:29), novel atau cerpen sebagai bentuk sastra merupakan jagad realita yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia (tokoh). Secara spesifik realita psikologis terdapat pada fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh (dalam hal ini tokoh utama) ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkungan.


Interteks dalam kedua cerpen tersebut menitikberatkan pada gejolak frustrasi yang dialami oleh kedua tokoh utama dalam cerpen tersebut.


B. Kajian Intertekstual


Teeuw (1988:145) menegaskan prinsip interteks berarti setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa teks sastra tidak berdiri sendiri. Teks sastra merupakan bentukan dari teks yang lain. Ada jalinan antara teks yang satu dengan teks yang lain.


Nurgiantoro (1995:50) menjelaskan kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya sastra sebelumnya dan muncul pada karya sesudahnya. Aspek-aspek yang akan ditemukan murapakan aspek yang terdapat pada kedua karya tersebut. Akan tetapi, aspek tersebut tidak sekadar persamaan semata, malainkan perbedaan keduanya pun harus diidentifikasi demi menunjukkan sejauh mana perubahan teks. Menurut Frow (Endraswara, 2003:131), interteks berdasarkan pada asumsi kritis. Asumsi tersebut yakni:

1. konsep interteks menuntut peneliti untuk memahami teks tak hanya sebagai isi, melainkan aspek perbedaan sejarah teks,

2. teks tak hanya struktur yang ada, tetapi satu sama lain juga saling memburu, sehingga terjadi perulangan atau transformasi teks,

3. ketidakhadiran struktur teks dalam rentang teks yang lain namun hadir juga dalam teks tertentu yang ditentukan oleh proses waktu,

4. bentuk kehadiran struktur teks merupakan rentangan dari yang eksplisit sampai implisit,

5. hubungan teks satu dengan teks yang lain boleh dalam rentang waktu lama, hubungan tersebut dapat secara abstrak dan juga sering terdapat penghilangan-penghilangan bagian tertentu,

6. pengaruh mediasi dalam interteks sering berpengaruh terhadap penghilangan gaya maupun norma-norma sastra,

7. dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan proses interpretasi, dan

8. analisis interteks berbeda dengan melakukan kritik, melainkan lebih terfokus pada pengaruh.

Kajian interteks juga mengenal adanya hipogram. Riffaterre (Ratna, 2005:222) mendifinisikan hipogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika lebih lanjut, Hutomo (Sudikan, 2001:118) merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian teks sastra yang dipengaruhinya. Hipogram dalam hal ini merupakan spirit yang terdapat dari teks terdahulu yang bila ditarik garis penghubung dalam karya yang setelahnya terdapat spirit yang senada. Spirit tersebut dapat pula bersifat kasar maupun halus. Yang jelas, karya kedua lebih memiliki “warna” yang mirip dengan karya pertama.


Ratna (2004:174) menyatakan secara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara, yakni a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama, b) hanya membaca sebuah teks, tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya.


Interteks frustrasi tokoh utama dalam cerpen Perempuan itu Cantik karya Ratna Indraswati Ibrahim dan Wening karya Yanusa Nugroho juga merupakan kajian interteks yang dilakukan dengan pembacaan teks yang dilatarbelakangi dengan teks yang lain. Pembacaan kedua cerpen tersebut bertujuan untuk menemukan aspek frustrasi yang dialami tokoh utama.


C. Teori Frustrasi


Frustrasi merupakan keadaan saat individu mengalami hambatan-hambatan dalam pemenuhan kebutuhannnya, terutama bila hambatan tersebut muncul dari dirinya sendiri. Konsekuensi frustrasi dapat menimbulkan perasaan rendah diri ). Seseorang akan mengalami frustrasi bila kebutuhan yang mereka inginkan tidak dapat tersalurkan. Keadaan seperti itu memiliki pengaruh besar terhadap keadaan psikis seseorang. Orang akan mengalami ketidaknormalan jiwa juga dapat disebabkan keinginan atau kebutuhannya tidak terpenuhi.


Seseorang mengalami frustrasi karena hasrat keinginannya terhalang, sehingga tidak dapat terwujud. Halangan tersebut dapat berasal dari keterbatasan fisik atau psikis (Siswantoro, 2005:100). Hal serupa juga dikemukakan Mu’tadin (10 Juni 2002), frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu.


Konsekuensi logis dari frustrasi ialah bagaimana seseorang mengalihkan tekanan batin yang ditimbulkan frustrasi. Siswantoro (2005:100) menjelaskan seseorang yang mengalami frustrasi akan bereaksi secara tidak sadar untuk mengurangi tekanan batin yang menimbulkan rasa sakit atau stress. Reaksi pengalihan tekanan batin tersebut disebut dengan defense mechanism.


Defense mechanism merupakan reaksi terhadap frustrasi yang dialami secara tidak sadar lewat tiga kategori, yakni agresif, menghindar, dan melakukan kompromi (Siswantoro, 2005:101).


D. Intertekstual Frustrasi Tokoh Utama dalam Cerpen Perempuan itu Cantik Karya Ratna Indraswari Ibrahim dan Wening Karya Yanusa Nugroho


Menurut Najid (2003:23), tokoh utama merupakan tokoh yang memiliki peran penting. Penentuan tersebut didasarkan pada hal sebagai berikut.

  1. Frekuensi muncul, tokoh utama umumnya sering atau bahkan selalu muncul dalam setiap episode.

  2. Komentar pengarang, tokoh utama umunya adalah tokoh yang sering dikomentari dan dibicarakan oleh pengarang cerita.

  3. Judul cerita, tokoh utama biasanya dijadikan sebagai judul cerita.


Dari ketiga aspek penentu tokoh utama di atas, maka dapat ditentukan, tokoh utama dalam cerpen Perempuan itu Cantik ialah Nikita dan tokoh utama dalam cerpen Wening ialah Wening yang secara tegas dijadikan judul cerpen.


Kedua tokoh memiliki problematik psikologis masing-masing. Berbagai probema yang dialami kedua tokoh membuat mereka mengalami sejenis ganguan kejiawaan, yakni frustrasi. Seperti yang sudah dijelaskan di depan, frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Analisis ini menekankan pada ketiga aspek ketidaksadaran terhadap reaksi frustrasi, yakni a) agresif, b) menghindar, dan c) melakukan kompromi. Akan tetapi, sebelum melangkah pada ketiga reaksi frustrasi, terlebih dahulu kedua cerpen tersebut memiliki persamaan dalam aspek penyebab timbulnya frustrasi.


Penyebab Frustrasi


Dalam cerpen Perempuan itu Cantik Karya Ratna Indraswari Ibrahim, tokoh Nikata digambarkan sebagai tokoh yang cantik, walaupun ia sudah beranak dan bersuami, Nikita tetap merasakan bahwa dirinya itu cantik. Banyak pria yang mengakui bahwa diri tetap cantik. Dengan kecantikan yang ia miliki, Nikita ingin menggali potensinya sebagai bintang film. Akan tetapi, kecantikannya tidak diakui oleh suaminya. Suaminya justru ingin ia membuka depot makanan di depan rumahnya. Kenyataan tersebut tampaknya tidak dapat diterima oleh Nikita. Ia beranggapan bahwa perempuan secantik dirinya tidak cocok bekerja di depot makanan. Ia lebih yakin dirinya cocok sebagai bintang film karena kecantikannya.


Nikita merasa dicubiti. Dia sudah banyak berkorban, untuk menjadi istri yang baik sekali. Tetapi tega-teganya mas tadi bilang, “Nik, anak-anak sudah bisa bermain sendiri. Bagaimana kalau kau buka depot makanan di muka rumah, ‘kan sekarang banyak mahasiswa akan kuliah di kampus barunya, yang tak jauh dari sini ‘kan? Yah agar kau punya kesibukan, dan ada tambahan pendapatan dari kita” (Ibrahim, 2000:62).



Nikita tidak dapat menerima kenyataan tersebut. Ia sangat ingin menjadi bintang film. Ia yakin bahwa kecantikannya bila digali dengan sungguh-sungguh akan menjadi bintang film yang profesional.


Mas, saya akan masak yang sedap lagi... Mas, apakah kau melihat saya cuma dari kepintaran saya memasak yang sangat meringankan beban ekonomi keluarga. Dan apakah di mata mas, saya bukan perempuan cantik yang sebenarnya bisa menjadi bintang film yang handal, kalau kesempatan itu, saya gali dengan dukunganmu.” (Ibrahim, 2000:69)


Kejadian serupa juga dialami oleh tokoh Wening dalam cerpen Wening. Wening merupakan perempuan yang telah beranak dua dan bersuami. Sebelum bersuami, saat itu ia berumur delapan belas tahun, ia merupkan penari yang handal. Ia mementaskan “Drupadi Mulat” salah satu koreografi karya guru tarinya. Saat itu, banyak penonton yang memusatkan pandangan ke arahnya. Ia menjadi bintang yang anggun, yang penuh keindahan.


Namun, kemampuannya untuk menari hilang begitu saja ketika ia telah menikah. Dulu ia bercita-cita kelak suaminya akan memanjakannya dengan membolehkan ia menari. Akan tetapi sebaliknya, suaminya justru sangat melarang keras ia menari.


Cobalah kau mengerti. Aku memberimu semuanya, segalanya, dan hanya memintamu untuk tidak malakukan satu hal: menari. Itu saja. Apa susahnya?” Ucap bang Irfan entah kapan.

Kenapa, Bang?”

Tidak boleh.”

Aku hanya ingin menunjukkan keindahan..” (Nugroho, Kompas 14 Mei 2006)



Kedua cerpen tersebut memiliki latar belakang yang sama. Nikita merasa suaminya tidak mengakui kecantikannya yang berpotensi sebagai bintang film yang handal dan menyuruh ia untuk membukan depot makan di depan rumahnya. Wening juga mengalami hal yang serupa. Ia tidak diperbolekan untuk menari lagi. Suaminya tidak mengakui bahwa kemampuannya sebagai penari akan menunjukkan keindahan. Keinginannya dimanjakan suami dengan membolehkannya menari tidak dapat diraihnya.


Kedua permasalahan yang dialami tokoh tersebut merupakan penyebab timbulnya frustrasi. Keduanya terhalang untuk mencapai tujuan atau harapan yang diinginkan. Setelah mengetahui penyebab frustrasi kedua tokoh cerpen tersebut, ketiga aspek ketidaksadaran terhadap reaksi frustrasi, yakni a) agresif, reaksi menyerang (Aggressive Reactions), b) menghindar (Withdrawal Reactions), dan c) melakukan kompromi (Compromise Reactions) dapat diuraikan sebagai berikut.


  1. Agresi, Menyerang, Menyakiti (Aggressive Reactions)


Agresi merupakan salah satu cara merespon frustrasi. Seseorang yang mengalami frustrasi dapat melakukan tindakan menyerang, baik terhadap objek penghalang penyebab frustrasi atau terhadap oebjek pengganti (Siswantoro, 2005:102).


Agresi dibagi ke dalam tiga aspek, yakni (1) mencari kambing hitam (scapegoating), (2) marah tanpa pandang bulu (free-floating anger), dan (3) menyalahkan diri atau bunuh diri (suicedi) (Siswantoro, 2005:102). Mencari kambing hitam dapat dilakukan oleh seseorang yang frustrasi karena dirinya tidak berani menyerang secara langsung objek yang membuat ia sakit hati. Penyerangan tersebut biasanya dilakukan pada objek yang lebih lemah. Marah tanpa padang bulu dilakukan oleh seseorang yang mengalami agresi berat. Ia memiliki kecenderungan untuk menyerang apapun yang ada di sekitarnya. Menyalahkan diri sendiri dapat dialami oleh orang frustrasi dengan jalan menyerang diri sendiri karena merasa dirinya tidak mampu melampiaskan kepada orang lain, sehingga dapat menjuruh ke usaha bunuh diri.


Sadarjoen (6 Mei 2007) menegaskan orang agresif, motif agresinya mendominasi kehidupan psikisnya, sehingga segala keinginnya dipuaskan dengan cara menyerang lingkungan.


Dalam cerpen Perempuan itu Cantik dan Wening, aspek agresif dilakukan dengan menyerang terhadap objek penghalang yang menyebabkan frustrasi. Dalam Perempuan itu Cantik, Nikita menyerang suaminya yang merupakan objek penghalang keinginannya untuk menjadi bintang film. Akan tetapi, penyerangan tersebut tidak dilakukan secara kekerasan atau fisik, melainkan secara verbal, yakni perdebatan. Hal itu dapat ditemukan pada kutipan berikut.


Mas, saya akan masak yang sedap lagi... Mas, apakah kau melihat saya cuma dari kepintaran saya memasak yang sangat meringankan beban ekonomi keluarga. Dan apakah di mata mas, saya bukan perempuan cantik yang sebenarnya bisa menjadi bintang film yang handal, kalau kesempatan itu, saya gali dengan dukunganmu.” (Ibrahim, 2000:69)


Setelah beberapa saat Nikita hanya memendam perasaan, akhirnya ia mengungkapkan dengan melawan kepada suaminya. Ia berusaha meyakinkan kepada suaminya bahwa ia merupakan perempuan yang cantik yang layak menjadi bintang film handal. Akan tetapi, perlawanan balik juga diterimanya.


Kamu kok genit benar tanya soal kecantikan, dan mimpi jadi bintang film,. Nik kita sudah tua, yang penting bagaimana menambah tabungan untuk biaya anak-anak agar bisa sekolah sampai perguruan tinggi. Untuk hal ini kau harus mau bekerja sama denganku, beban ini ‘kan berat bila dipikul sendiri. Saya kira setiap perempuan memang lebih suka mandiri, daripada tergantung pada suami. Kita jangan melupakan sejarah Nik. Kau sendiri bilang, orang tuamu tidak bisa menyekolahkan kau dan adik-adikmu, karena hidupnya santai, boros, tidak punya rencana untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Apakah kau ingin anak-anak senasib denganmu, pasti tidak, iya ‘kan?” (Ibrahim, 2000:69).



Tindakan agresi yang dilakukan Nikita mendapat perlawanan dari suaminya. Dari perlawan tersebut, ia tampaknya tidak dapat menyangkal lagi. Agresifnya direpresei (ditekan) dari perlawanan balik suaminya. Hal yang serupa juga terdapat pada agresif tokoh Wening. Wening juga melakukan perlawanan terhadap objek penghalang keinginannya, yakni suaminya.


Cobalah kau mengerti. Aku memberimu semuanya, segalanya, dan hanya memintamu untuk tidak malakukan satu hal: menari. Itu saja. Apa susahnya?” Ucap bang Irfan entah kapan.

Kenapa, Bang?”

Tidak boleh.”

Aku hanya ingin menunjukkan keindahan..” (Nugroho, Kompas 14 Mei 2006)



Tindakan agresif dari Wening juga mendapat serangan balik dari suaminya. Suaminya tetap tidak mengizinkan dia menari. Akan tetapi, perlawanan Wening sedikit berbeda dengan perlawanan Nikita. Wening lebih berani melawanan suaminya. Ia merasa bahwa kasih sayang serta harapan terhadap suaminya sia-sia.


Belum lagi Wening duduk, Irfan keluar dengan langkah besar. Bagai kesetanan dia cengkeram Wening. Ucapan kasar, runcing dan berbisa berhamburan dari mulut suaminya. “Kapan kau mau mendengar ucapanku. Jangan menari dan jangan pernah lagi berpikir kamu bisa menari lagi. Aku tidak suka. Aku suamimu, mengapa kau tak mau mendengar suamimu?”

Apa salahku punya keinginan menari?”

Itu kesalahanmu!”

Baik.... Lakukan keinginan abang. Silakan larang aku, tapi kali ini, maaf aku akan jadi mimpi buruk abang.” Berkata demikian, Wening masuk kamar. (Nugroho, Kompas 14 Mei 2006)



Perlawanan Wening terhadap suaminya terus dilakukan, walau pun ia harus menanggung risiko dengan melawan suaminya sepenuhnya. Ia menyatakan dengan tegas bahwa ia akan menjadi mimpi buruk bagi suaminya.


Perlawanan Wening berbeda dengan perlawanan Nikita. Perlawanan Nikita melemah ketika suaminya berbalik melakukan perlawanan. Nikita tetap ingin berada pada posisinya demi suaminya, walaupun hal itu sangat menyiksa batinnya.

Nikita tetap bersetia selalu pada mas! (Ibrahim, 2000:70)


b) Reaksi Menghindar (Withdrawal Reactions)


Reaksi menghindar merupakan reaksi dari frustrasi. Reaksi menghindar dapat berupa tindakan fisik maupun psikis. Reaksi menghindar dibagi menjadi tiga, yakni (1) penekanan (repression), (2) berkhayal (fantasy), dan (3) kembali ke masa lalu (regression) (Siswantoro, 2005:103-107).


Penekanan (repression) merupakan proses peminggiran dari kesadaran, pikiran ataupun perasaan yang menimbulkan sakit, rasa malu dan rasa bersalah. Berkhayal (fantasy) menunjukkan ketika hasrat keinginan seseorang terganjal oleh realita, orang itu boleh jadi lari ke dunia khayal yang dapat memuaskan keinginan yang terhalang. Kembali ke masa lalu (regression) dilakukan secara tanpa sadar oleh individu yang frustrasi dengan cara kembali ke masa lalu kanak-kanaknya yang dianggap lebih aman tanpa konflik (Siswantoro, 2005:103-107).


Tokoh Nikita dan Wening sama-sama mengalami reaksi menghindar. Reaksi mengihidar kedua tokoh tersebut meliputi berkhayal dan kembali ke masa lalu.


Nikita mengalami khayalan ketika ia merasa kepanasan tinggal di dalam kamar yang baru saja dibuatkan oleh suaminya. Ia merasa kepanasan karena tidak ada kipas angin. Suaminya menolok membeli kipas angin karena uangnya lebih baik dibelikan kompor gas demi keperluan depot makannya. Suaminya menganjurkan untuk membuka lebar-lebar jendela kamar bila kepanasan. Akan tetapi, Nikita tetap merasa kepanasan dan akhirnya ia pun membuka bajunya. Saat itulah, ia mengalami khayalan (fantasy).


Kali ini sesuai dengan anjuran mas. Dia membuka jendela lebar-lebar, yang terjadi hawa panas mengaliri kamarnya. Nikita merasa ada ganjalan di hatinya, dia kepanasan, tak mungkin bisa tidur siang dengan udara panas. Nikita kemudian membuka seluruh bajunya. Beberapa menit kemudian, dia bermimpi, tidur di hutan yang segar udaranya.

Setiap kali tidur siang, Nikita membuka bajunya. Pada suatu hari dia bermimpi tidur di hutan di mana waktu itu, bunga-bunga mekar bersama. Nikita merasa ingin bernyanyi-nyanyi. Namun, dia merasa dilihat oleh anak muda yang jadi langganannya. Nikita rikuh, dia berteriak-teriak kala anak muda itu, ingin lebih dekat melihat kemolekan tubuhnya. (Ibrahim, 2000:67).



Berkhayal juga dialami oleh Wening. Wening yang dilarang keras oleh suaminya untuk menari tiba-tiba masuk ke kamar, telanjang dan memakai pakaian tari saat ia dulu mementaskan “Drupadi Mulat”.


Pintu rusak, terbuka dengan paksa. Sunyi. Wening melepas bajunya, telanjang. Mengurai rambutnya yang masih panjang melebihi pinggang, yang selama ini disembunyikan atas perintah suaminya. Dikenakannya kemben kain panjang, yang dulu dikenaknnya waktu ketika “Drupadi Mulat”. Dibiarkannya sebagian kain itu menebar di lantai.

Iringan rebab menyayat malam, Wening bergerak sangat lambat. Sepasang telinganya menangkap gumaman jender; mengapa harus gadhung mlati? Wening menari dengan keheningannya. Dia merasa membawa lampu minyak kecil yang apinya berkebit oleh kepedihan...... (Nugroho, Kompas 14 Mei 2006)



Wening mengalami khayalan. Hal itu dapat dilihat saat Wening menari dengan lambat dan kedua telingnnya mendengar jender gadhung mlati, sebuah gending sakral. Khayalan kedua tokoh tersebut sama-sama dimulai dengan membuka baju. Hal itu menunjukkan bahwa aktivitas pra khayalan sampai dengan berkhayal mengindikasikan adanya persamaan linier.


Persamaan menghindar kedua tokoh tersebut juga mengalami persamaan yang serupa, yakni kedua tokoh mengalami kembali ke masa lalu (regression). Dalam tokoh Nikita, kembali ke masa lalu (regression) dialaminya ketika ia ingin berpenampilan cantik di depan pelanggan-pelanggannya, seperti ketika ia yang dulu masih cantik jelita.


Beberapa hari kemudian, beberapa tukang mengerjakan kamar itu. Tiba-tiba, Nikita ingin selalu tampil cantik di muka langganannya. Sementara itu, mas tidak perduli kala dia muncul seperti Nikita yang dulu: perempuan jelita yang berbakat menjadi bintang film. (Ibrahim, 2000:66)




Nikita kembali ke masa lalu dengan cara berpenampilan cantik di depan pelanggannya walau suaminya tidak memberikan respons terhadapnya. Kenyataan seperti itu juga terjadi pada tokoh Wening. Wening mengalami kembali ke masa lalu pada saat ia membuka album foto kenangan waktu ia menari di pentas terakhirnya.


Dibukanya album kecil yang masih disimpannya. Album foto pentas terakhirnya. Saat itu ia bersama teman-temannya memang mementaskan “Drupadi Mulat” sebuah koreografi indah karya Mbak Yudi—sahabat sekaligus guru tarinya. Dialah drupadi berambut panjang itu. Dialah dengan kain panjang putih—yang terlalu panjang untuk sebuah samparan—dengan lampu minyak tanah kecil di tangan kanannya, berjalan dari pelataran GKJ, menaiki tangga, membelah kerumunan penonton yang masih di luar, memasuki pintu, membiarkan dengung gong pertama bergema, melintas perlahan di karpet merah, membiarkan berpuluh, mungkin beratus pasang mata menatapnya kagum (Nugroho, Kompas 14 Mei 2006).




Kembalinya ke masa lalu kedua tokoh tersebut dimaksudkan untuk ke luar pada zona psikis yang semakin menekan. Bila ke luar dari zona tersebut dengan khayalan, hal itu dapat memberikan represei dari tekanan-tekanan batin yang mengikat psikis kedua tokoh tersebut.


Jadi, kedua tokoh tersebut sama-sama mengalami reaksi menghindar, yakni dengan kembali berkhayal (fantasy) serta kembalai ke masa lalu (regression).


c) Melakukan Kompromi (Compromise Reactions)


Pada aspek melakukan kompromi, individu harus menyerah kepada suasana yang mengancam atau tidak mengenakkan sebagai akibat frustrasi, tetapi tanpa harus menyerah total, sehingga tujuan yang diimpikan tetap dapat terealisasi (Siswantoro, 2005:107). Dalam aspek melakukan kompromi, ada tiga reaksi yang tergolong pada aspek melakukan kompromi, yakni (1) sublimation, (2) menyalahkan (projection), (3) pembenaran (rationalization).


Sublimation adalah penggantian kepuasan atas apa yang diinginkannya tidak terpenuhi. Kepuasan yang didapat merupakan kepuasan lain yang mampu menggantikan kepuasan yang tidak terlaksanakan. Menyalahkan (projection) merupakan reaksi yang membenarkan dirinya sendiri dengan cara mengalihkan kesalahan terhadap orang lain. Pembenaran (rationalization) merupakan pembenaran dengan memberikan alasan terhadap diri individu agar terlihat logis dan dapat diterima.


Kedua tokoh dalam cerpen Perempuan itu Cantik dan Wening mengalami reaksi melakukan kompromi. Reaksi melakukan kompromi tersebut cenderung pada aspek sublimation.


Pada tokoh Nikita, sublimation diarahkan pada hal yang terkesan eksibisionisme. Hal itu terjadi ketika keinginannya untuk menjadi bintang film ditolak oleh suaminya dan akhirnya ia pun selalu membuka bajunya setiap istirahat siang. Ia membiarkan beberapa lelaki muda melihat kemolekan dan keseksian tubuhnya.


Siang itu, dan siang selanjutnya, Nikita kalau istirahat siang membuka baju. Membiarkan beberapa lelaki muda mengintai kemolekan dari tubuhnya. Kelakuan lelaki muda itu macam-macam, ada yang melihat kemolekan dengan rakus, ada yang rikuh, dan ada yang membelalakkan mata.

Nikita tidak perduli dengan pandangan lelaki itu. Sesungguhnya mas tidak akan bisa melihat kecantikannya. Itu memangharus didapatkannya dari orang lain. Jadi, kebiasaannya untuk telanjang, dirasa cukup bijak. Dengan caranya itu, Nikita tak perlu mencari lelaki lain.

Nikita tetap bersetia selalu pada mas! (Ibrahim, 2000:69-70).



Penggantian kepuasan dilakukan Nikita dengan bertenlanjang dan membiarkan tubuhnya dilihat para pemuda. Hal itu merupakan gejala eksibisionisme yang merupakan pengalihan terhadap keinginan yang tak terealisasikan.


Hal serupa juga dialami oleh tokoh Wening. Wening mengalihkan kepuasannya dengan memakai kemben kain panjang putih. Ia terus menari tanpa henti, hingga anak-anaknya, sanak saudaranya, ibu dan bapaknya, mertuanya, kerabat jauh, dan bahkan tetangganya membisu melihatnya.


Langkahnya terus mengalir, entah sudah berapa lama. Wening hanya melihat, anak-anaknya berdatangan dalam bisu, kemudian sanak saudaranya, ibu dan ayahnya yang renta, juga mertua, bahkan kerabat jauh dan para tetanggnya. Mereka semua membisu. Mereka berubah menjadi batu. Hanya Wening di dunia ini yang mengalir, berenang dalam cahaya keindahan geraknya.


Mama....please..” bisik Neny setengah menangis, mencoba mengingatkan ibunya. Tetapi wening telah menari, dan tak ada yang bisa menghentikannya. Kain samparannya terlalu panjang. Seakan ingin mengatakan bahwa penderitaan Wening jauh lebih panjang dari kain yang bisa disaksikan berpasang-pasang mata itu (Nugroho, Kompas 14 Mei 2006).




Penggantian kepuasan yang dilakukan Wening tersebut merupakan kompensasi dari represi yang diterapkan suaminya terhadap Wening. Paksaan yang mengharuskan Wening untuk meninggalkan keinginannya untuk menari membuat dirinya terkena gangguan kejiwaan. Ia terus menari untuk menggantikan keinginannya menari yang tidak pernah terealisasikan, hingga ia menari tanpa henti. Namun, tariannya membawanya untuk lepas dari kesadarannya.


Persamaan sublimation dari tokoh Nikita dan Wening terlihat bahwa keduanya merupakan objek yang dilihat banyak subjek (tontonan). Akan tetapi, keduanya terdapat perbedaan, yakni pada tokoh Nikita sublimatioan lebih mengarah pada eksibisionisme, sedangkan Wening mengarah pada gangguan jiwa yang lebih, hingga tidak sadar atau gila. Jadi, Nikita dan Wening dalam aspek siblimatioan mengalami gangguan psikis.


E. Simpulan


Intertekstual frustrasi tokoh utama dalam cerpen Perempuan itu Cantik karya Ratna Indraswara Ibrahim dan cerpen Wening karya Yanusa Nugroho menunjukkan persamaan dalam kondisi psikis tokoh utama tersebut. Kedua tokoh, Nikita dan Wening, memiliki latar belakang permasalahan yang serupa, yakni tekanan suami yang menghalangi keingnan istri. Nikita tidak dapat merealisasikan kecantikannya untuk menjadi bintang film terkenal, sedangkan Wening tidak dapat melanjutkan keinginannya untuk menari lagi.


Kedua tokoh utama tersebut juga mengalami agresi terhadap tokoh yang menghambat keinginannya. Agresi yang dilakukan bersifat verbal bukan fisik. Perbedaannya terletak pada tokoh Wening yang lebih berani melakukan agresi terhadap suaminya bila dibandingkan dengan Nikita, yakni mengancam suami.


Reaksi menghindar juga dialami oleh tooh Nikita dan Wening. Keduanya mengalami reaksi menghindar pada aspek berkhayal dan kembali ke masa lalu.

Reaksi melakukan kompromi tokoh Nikita dan Wening mengambil jalan sublimation. Pengalihan kepuasan pada tokoh Nikita cenderung ke eksibisionisme, sedangkan tokoh Wening cenderung pada tidak terkontrolnya diri atau dapat dikatakan gila.


Frustrasi yang dialami tokoh utama dalam cerpen Perempuan itu Cantik dan Wening selain terdapat persamaan juga terdapat perbedaan. Persamaan tersebut mengarah pada gagasan atau inti dari gejolak psikis yang dialami kedua tokoh utama.


Hipogram karya sastra meliputi: (1) ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya karya. Ekspansi tak sekadar repetisi, tetapi termasuk perubahan garamatikal dan perubahan jenis kata; (2) konversi adalah pemutarbalikan hipogram atau matriknya; (3) modifikasi adalah perubahan tataran linguistik, manipulasi urutan kata dan kalimat; (4) ekserp adalah semacam intisari dari unsur atau episode dalam hipogram yang diresepsi pengarang (Endraswara, 2003:132). Dari jenis hipogram di atas, tampaknya kedua cerpen tersebut, salah satunya merupakan hipogram yang mempengaruhi pengarang. Akan tetapi, resepsi tersebut merupakan pengaruh dari hipogram yang bersifat ekserp, yakni bersifat halus.


Perbedaan yang terdapat dari kedua cerpen tersebut dapat ditarik simpulan bahwa teks yang sesudahnya mengalami perkembangan, yakni bagaimana kegua tokoh dalam menanggapi permasalhannya. Ada spirit perlawanan dalam cerpen Wening. Tokoh utama lebih berani dan memberikan perlawanan yang cukup jelas terhadap sang suami, sedangkan dalam Perempuan itu Cantik, tokoh utama lebih memiliki spirit menerima tekanan-tekanan dan memberikan perlawanan yang pada akhirnya penerimaan. Mungkinkah, hal itu dipengaruhi oleh psikis pengarangnya? Mungkinkah dalam Perempuan itu Cantik sang pengarang larut dalam jiwa keperempuannya, sedangkan dalam Wening pengarang lebih menggunakan perasaan kelelakiannya yang lebih mengarah pada “kekakuan”? Itulah perbedaan yang menjadikan karya tersebut memiliki keunikannya tersendiri.


Hal itu menunjukkan bahwa ada kreativitas pengarang yang memberikan warna baru pada teks karya sastra yang berikutnya. Ratna (2005:220-221) menegaskan bahwa proses peniruan bukan berarti plagiat. Peniruan pada teori kontemporer bukan berarti tanpa kreativitas sama sekali, tetapi penurian lebih memberikan muatan, arti, gaya, dan makna yang baru. Peniruan dalam interteks adalah proses identifikasi objek ke dalam level yang lebih tinggi, sehingga karya yang dihasilkan menjadi baru, seolah-olah dilihat untuk kali pertamanya.











Daftar Rujukan


Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama


Ibrahim, Ratna Indraswari. 2000. Perempuan itu Cantik. Dalam Kado Istimewa: Cerpen Pilihan Kompas 1992. Jakarta: Kompas

Kamis, 17 Juni 2004. Pengendalian Emosi Itu Penting, Lho! http://www.indomedia.com/bpost/062004/17/ragam/art-4.htm


Mu’tadin, Zainun. Jakarta, 10 Juni 2002. Faktor Penyebab Perilaku Agresi. http://www.e-psikologi.com/remaja/100602.htm


Nugroho, Yanusa. 14 Mei 2006. Wening. Jakarta: Kompas


Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press


Pradopo, Rachmad Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Sadarjoen, Sawitri Supardi. 14 Mei 2007. Mekanisme Peningkatan Perilaku Agresi. Jakarta: Kompas


Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta: Muhammadiyah University Press



Sitanggang, S.R.H. 2003. Novel Roro Mendut Versi Ajip Rosidi dan Mangunwijaya. Dalam Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia


Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana


Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Girimukti Pustaka


Baca Selanjutnya

POLITIK TUBUH BUDAYA KAPITALIS

POLITIK TUBUH BUDAYA KAPITALIS: KRITIK TERHADAP YASRAF AMIR PILIANG


Oleh: Heru Susanto


Dalam kajian budaya pop, nama Yasraf Amir Piliang tidak dapat dilepaskan dalam pengkajian budaya tersebut. Beberapa buku telah diterbitkan dengan kajian yang menekankan pada pengaruh budaya kapitalis, seperti Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Posrealitas: Realita Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, dan Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Budaya kapitalis diuraikan dengan runtut beserta pengaruhnya dalam kultur masa sekarang, dan juga ditekankan pada kultur nasional. Yang menarik dari pemikiran tersebut terletak pada pembahasan mengenai politik tubuh yang dipengaruhi oleh budaya kapitalis.


Yasraf menguraikan bahwa budaya kapitalis saat ini membidik ranah tubuh sebagai lahan penanaman modal yang menghasilkan banyak keuntungan. Produksi-produksi perawatan tubuh mulai dieksploitasi besar-besaran untuk menarik manusia memperhatikan tubuhnya. Dengan diproduksinya produk perawatan tubuh secara besar-besaran, secara tidak langsung manusia mulai larut terhadap keberadaan produk tersebut dan bersaing untuk mengeksploitasi tubuh mereka pula. Saat itu pula, manusia mulai menjadikan tubuh mereka sebagai produk untuk dipertunjukkan. Kondisi pengeksploitasian tubuh oleh budaya kapitalis tersebut membentuk wacana baru mengenai politik tubuh (body politics).


Ketika menguraikan politik tubuh yang dibentuk budaya kapitalis, Yasraf mengacu pada tiga tingkatan, yakni ekonomi politik tubuh (political-economy of the body), politik ekonomi tanda tubuh (political economy of the body signs), dan ekonomi-politik hasrat (political economy of desire). Ekonomi-politik tubuh merupakan penggunaan tubuh oleh kapitalisme sebagai alat untuk membentuk konstruksi sosial atau ideologi kapitalisme. Politik ekonomi tanda tubuh merupakan penggunaan tubuh sebagai tanda-tanda sebagai system pertandaan kapitalisme yang bertujuan membentuk citra, makna, dan identitas. Ekonomi-politik hasrat merupakan pemanfaatan tubuh perempuan sebagai ajang eksploitasi ekonomi.


Ketiga tingkatan politik tubuh yang diajukan oleh Yasraf tersebut tampaknya masih terlalu tergesa-gesa. Ketika menguraikan tiga tingkatan politik tubuh, ia terperangkap pada jaring oposisi biner. Terperangkapnya dalam oposisi biner dapat dicermati ketika memosisikan perempuan sebagai objek (penderita) dan laki-laki sebagai subjek (pelaku) yang diwakili oleh kapitalisme. Ia tampaknya terlalu cepat mengambil putusan untuk memosisikan kapitalisme sebagai patriarki. Ini menunjukkan masih adanya pemikiran yang terpengaruhi wacana global mengenai hegemoni patriarki terhadap kaum perempuan. Pada hal, kapitalisme merupakan sistem yang mengarah pada pengoptimalan modal untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Kalaupun ada unsur-unsur pengeksploitasian perempuan, hal itu tidak serta merta kapitalisme dapat dipersandingkan dengan budaya patriarki.


Dalam Dunia yang Dilipat:Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan hal. 341, Yasraf menyebutkan “apa yang berlangsung adalah semacam ‘ideologisasi’ atau ‘mistifikasi tubuh’, yaitu relasi tubuh secara fisik (misalnya hubungan fisikal atara laki-laki dan perempuan) dilihat sebagai sebuah relasi sosial, yang di dalamnya dibentuk posisi sosial yang berbeda, yaitu antara yang kuasa dan tak kuasa, subjek dan objek, dominan dan yang didominasi”. Pernyataan tersebut semoga tidak terjadi untuk saat ini Memang dalam kenyataannya, perempuan merupakan korban dari kapitalis, tetapi ketika perempuan menjadi manusia tak kuasa, bukan berarti laki-laki yang kuasa. Dalam budaya saat ini, yang kuasa tetap kapitalisme. Pemikiran tentang perempuan merupakan komoditi bagi kapitalisme tampaknya tidak serta-merta memosisikan perempuan sebagai objek, sedangkan laki-laki justru menduduki posisi subjek yang berada dalam sistem kapitalisme. Simpulan seperti ini kurang mengena untuk mengkaji kondisi budaya yang dipengaruhi kapitalisme. Kekuatan kapitalisme memang memiliki potensi untuk memosisikan patriarki di atas perempuan. Akan tetapi, wacana tentang pengeksploitasian tubuh perempuan oleh kapitalisme tidak harus mengacu pada masalalah laki-laki mendominasi perempuan.


Tipisnya Batasan Laki-laki dan Perempuan


Untuk membuktikan kapitalis tidak dapat dipersandingkan dengan patriarki, hal itu perlu dicermati beberapa produk perawatan tubuh yang sering diiklankan di televisi dan berbagai media massa lainya. Jika memang kapitalisme berpihak pada laki-laki, tentunya hanya tubuh perempuanlah yang dieksploitasi sebagai komoditi. Pemikiran Yasraf tampaknya hanya cocok untuk masa lalu yang masih terikat mitos mengenai perempuan harus cantik dengan adanya iklan-iklan yang hanya menyangkut perempuan.


Perlu dicermati, iklan-iklan dalam media massa untuk saat ini tidak hanya terfokus pada perempuan. Kapitalis pun mulai melebarkan sayapnya dengan membidik tubuh laki-laki juga sebagai lahan komoditi. Hal itu bisa ditangkap dalam iklan perawatan tubuh yang juga diperuntukkan laki-laki. Secara tidak langsung, iklan produk, seperti bedak, pewangi tubuh, minyak rambut, sabun mandi, celana dalam, kondom, alat olah raga merupakan alat perayu yang ditujukan kepada laki-laki untuk lebih memperhatikan tubuhnya. Ketika laki-laki berbondong-bondong mengejar produk tersebut, mereka telah terjerat bujuk rayu kapitalis. Mereka telah tenggelam dalam kenikmatan semu. Yang ada hanya kompetisi untuk memperindah tubuh.


Dalam hal ini, mitos perempuan harus tampil cantik, sedangkan laki-laki harus bertubuh kekar dan jantan mulai tergeser dalam paradigma budaya kapitalis untuk saat ini. Tidak hanya perempuan yang harus tampil manis, laki-laki pun harus memperhatikan penampilannya dan bergaya semanis mungkin. Pada budaya yang menipisnya batasan antara maskulin dan feminin muncullah sosok laki-laki metroseksual.


Sebenarnya, tubuh laki-laki pun sekarang juga memiliki tempat untuk dieksploitasi dalam berbagai media massa. Tidak jarang laki-laki juga menjadi bintang kover dalam sebuah majalah dengan memakai celana pendek dan telanjang dada. Iklan di jalan-jalan juga tidak jarang menampilkan tubuh laki-laki yang menunjukkan keseksiannya. Hal itu semuanya merupakan strategi kapitalis untuk memperlancar penjualan produknya hingga meraih keuntungan sebesar-besarnya. Saat itulah manusia mulai terjerat politik tubuh dan menjadi manusia-manusia konsumen. Ketika manusia-manusia konsumen terbentuk, kapitalisme merayakan kemenangannya.


Kondisi ini dapat menjawab pertanyaan benarkan kapitalis memihak patriarki dan menempatkan perempuan sebagai yang tertindas semata?



Kapitalis tidak Berpihak pada Oposisi Biner


Kapitalis tidak seperti apa yang dikatakan Yasraf yang seakan-akan memosisikan kapitalis dengan patriarki sama, dengan politik tubunya yang mengeksploitasian tubuh perempuan. Kapitalis mengarah pada sistem pengembangan modal untuk mengantongi sebanyak-banyaknya keuntungan hingga mempengaruhi budaya yang menjadikan manusia-manusia konsumen. Hal itu jelas berbeda dengan patriarki yang pada dasarnya lebih menekankan pada status keberadaan laki-laki di atas perempuan, walaupun cakupannya juga luas.


Penempatan laki-laki pada posisi menguasai perempuan bila dicermati juga tidak dapat dijadikan pedoman untuk merujuk kapitalisme. Perlu ditegaskan untuk mengkaji politik tubuh dalam budaya kapitalis, tidak harus memosisikan laki-laki sebagai penguasa. Yang menjadi penguasa tetap kapitalis itu sendiri. Hal itu disebabkan kapitalis dapat memosisikan laki-laki sebagai subjek (pelaku), tetapi juga tidak tertutup kemungkinan perempuan juga sebagai subjek (pelaku) untuk menikmati tubuh laki-laki yang dipertontonkan. Hal itu dapat diamati dengan gencarnya produk-produk yang juga ditujukan kepada laki-laki. Yang terpenting bagi kapitalis penguasaan keuntungan sebesar-besarnya.


Pemkiran ini semoga dapat memperluas kajian mengenai budaya pop untuk saat ini. Dari berbagai kajian mengenai budaya pop, khususnya mengenai tubuh, kajian masih berkutat pada kajian tubuh perempuan. Dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sudah waktunya untuk memperluas kajian politik tubuh yang merujuk eksistensi laki-laki pula sebagai bentukan budaya kapitalis.

Baca Selanjutnya

FILOSOFI CINTA:

FILOSOFI CINTA:

APA INI EROS ATAU PHILIA SEMATA?


Oleh: Heru Susanto*


Plato menyatakan ada kekuatan yang luar biasa dalam kodrat manusia. Kodrat manusia dahulu berbentuk bulat, memiliki empat tangan, empat kaki, dua muka, dua alat kelamin, dan satu leher. Makhluk ini memiliki kekuatan yang luar biasa. Dengan kekuatan yang luar biasa tersebut, para dewa dan dewi khawatir dengan keberadaan makhluk itu karena merupakan ancaman bagi keberadaan mereka sebagai pemangku kekuasaan. Kekhawatiran ini tampaknya menimbulkan rasa iri mereka. Untuk menghadapi makhluk itu, Zeus memiliki cara licik untuk mengurangi kekuatan makhluk itu dengan cara tidak membunuhnya. Zeus membelah makhluk itu menjadi dua bagian dan meminta Apollo untuk menyembuhkan luka belahan tersebut. Saat itulah, kedua bagian tubuh itu berpisah satu sama lain dan memiliki kerinduan yang kuat untuk bersatu kembali. Kerinduan itu termanifestasi dalam hasrat laki-laki dan perempuan yang ingin bersatu dalam ikatan percintaan. Inilah kisah jalinan cinta yang dikisahkan dalam risalah yang ditulis oleh Plato dalam Symposium yang kemudian menjadi teori cinta yang mempengaruhi pendekar psikonalisis, Sigmund Freud, dalam memandang cinta.


Pertanyaan tentang cinta tidak hanya berada dalam roman-roman asmara atau lagu-lagu sahdu tentang cinta. Bahasan mengenai cinta juga merupakan bidang yang tidak terlepaskan dari tangan filosof. Seperti yang dikisahkan Plato, laki-laki dan perempuan hingga saat ini pun memiliki kerinduan yang mendalam untuk saling bersatu. Ada kekuatan besar yang saling menarik mereka untuk mencari satu sama lain. Namun, kerinduan untuk bersatu tidak selamanya berjalan dengan lancar. Ada laki-laki dan perempuan yang bersatu hingga pada altar suci pernikahan hanya karena saling pandang di mal ketika sedang makan siang. Ada pula laki-laki dan perempuan hingga bertahun-tahun mengalami rasa sakit karena gagal menyatukan dirinya untuk kembali seperti semula (wujud terdahulu mereka).


Dalam tulisan singkat ini, kita akan mengkaji cinta dari sudut pandang folosof Yunani Klasik, yakni Plato dan sedikit mengupas mengenai derita cinta tak berbalas.


Teori Cinta Plato: Philia dan Eros


Kata cinta dalam bahasa Indonesia tampaknya tidak ada batasan dalam penggunaan. Cinta digunakan untuk menunjuk hubungan yang luas, baik cinta keluarga, cinta sahabat, cinta alam, dan cinta lawan jenis, begitu juga dengan kata love dalam bahasa Inggris. Hal itu jelas berbeda dalam masa Yunani Klasik. Plato memiliki istilah yang berbeda untuk membedakan penggunakan istilah cinta. Istilah yang digunakan Plato pada dasarnya bertujuan untuk membedakan jenis cinta, yakni philia dan eros.


Philia merupakan jenis cinta yang menunjukkan hubungan kasih sayang yang bersifat kekeluargaan, cinta antara anak dengan orang tua dan cinta terhadap sahabat. Cinta ini tidak memiliki hasrat “seksual”. Hubungan ini melibatkan perasaan kasih sayang yang mendalam, tetapi tidak bernuansa luapan libido. Cinta ini memiliki komponen untuk saling melindungi antarsesama, saling memberi, saling memiliki, dan mengasihi. Tidak ada yang membedakan jenis kelamin, suku bangsa, agama, ataupun kasta dalam struktur cinta ini.


Eros merupakan cinta yang digunakan untuk menjelaskan cinta seksual, yakni cinta antara laki-laki dan perempuan ataupun sesama jenis. Ada hasrat “seksual” yang tersimpan dalam komponen eros. Cinta seperti ini memiliki potensi sangat kuat untuk saling memiliki dengan muatan libido. Hasrat berpacaran merupakan salah satu contoh cinta eros. Ketika laki-laki menginginkan salah seorang perempuan untuk dimilikinya dan bermaksud untuk menikahinya, begitu juga sebaliknya, kondisi seperti inilah yang dimaksud dengan cinta eros. Bagaimana dengan incest? Incest atau perilaku seksual yang menyimpang yang masih ada hubungan darah dan memiliki hasrat untuk menjalin asmara, termasuk dalam kategori eros walaupun dalam incest terdapat hubungan kekeluargaan. Jadi, eros merupakan hasrat kasih sayang baik laki-laki perempuan, maupun sesama jenis yang menjurus pada spirit hubungan seksual. Kunci utama cinta eros adalah adanya hasrat seksual.


Philia dan eros merupakan pemetaan sederhana untuk mendekati garis besar pemikiran Plato mengenai cinta. Akan tetapi, kedua cinta ini tidak jarang mengundang masalah bagi hubungan harmonis manusia. Permasalahan itu dapat kita lihat dalam fenomena derita cinta tak berbalas berikut ini.

Fenomena Cinta Tak Berbalas


Berbicara tentang cinta memang gampang, namun memaknainya luar biasa peliknya. Hal itu disebabkan pengalaman cinta antara orang satu dengan lainnya berbeda sehingga pengalaman tersebut kadang tidak dapat diterapkan oleh orang satu kepada yang lainnya pula. Generalisasi cenderung tidak berlaku dalam hal ini. Stephanie Iriana dalam Derita Cinta Tak Terbalas berusaha memformulasikan penderitaan manusia akibat cintanya yang tak berbalas. Dalam buku tersebut, ia menegaskan dalam kondisi manusia yang menderita akibat cinta tak berbalas terdapat titik balik dari kehidupan yang tak bermakna menjadi lebih bermakna. Ketika seseorang menderita karena cintanya tak berbalas, ada peluang membuka diri untuk lebih memaknai kehidupan.


Buku itu juga membahas mengenai hasil wawancara dengan seseorang yang jatuh cinta tetapi tidak berbalas. Namun, buku tersebut tampaknya menitikberatkan bahasan pada bagaimana menemukan makna hidup dalam derita cinta. Ada sedikit yang terlewatkan mengenai pengkajian lebih mendalam “mengapa hal itu terjadi”. Hal yang terlewatkan inilah yang kadang justru menjadikan hakikat cinta semakin unik.


Derita cinta tak berbalas sering terjadi ketika lelaki atau perempuan jatuh cinta ternyata orang yang dicintai tidak mencintainya karena tidak sesuai dengan kriteria atau sudah punya kekasih. Namun, tidak jarang pula masalah cinta mengenai laki-laki mencintai perempuan yang sudah lama bersama, ke mana-mana selalu berdua pada akhirya mengalami derita cinta. Hubungan keduanya semula sangat harmonis layaknya Adam dan Hawa. Keduanya tidak ingin terpisahkan. Karena begitu harmonis dan mesranya hubungan tersebut, si laki-laki jatuh cinta walaupun ia tahu bahwa si perempuan sudah memiliki kekasih. Laki-laki itu sangat yakin bahwa si perempuan pasti juga mencintainya karena keberadaannya sangat berarti bagi perempuan itu. Ketika si laki-laki menyatakan cinta kepada perempuan, jawaban yang didapat justru sebaliknya. Perempuan tersebut tidak dapat menerima cintanya karena mencintai laki-laki lain. Namun, perempuan itu menginginkan si laki-laki tetap berada di sisinya. Setiap saat perempuan itu selalu menghubungi laki-laki itu. Ia tidak ingin berpisah dengannya. Bagi si laki-laki, penolakan cintanya merupakan pukulan berat dan menyakitkan.


Karena si perempuan tetap ingin bersama, laki-laki itu merasa bahwa ia dipermainkan. Ia semakin sakit ketika cinta sudah ditolak namun perempuan itu tetap mengejar-ngejar dan selalu menghubunginya. Dengan tegas, perempuan itu menyatakan bahwa ia tidak dapat berpisah dengan si laki-laki, tetapi ia tidak dapat menerima cintanya dan ia tetap mencintai kekasihnya. Inilah yang tidak dapat diterima oleh laki-laki itu hingga ia mengalami derita cinta yang paling dalam.


Fenomena seperti ini merupakan fenomena cinta yang unik dan sering terjadi. Akan tetapi, permasalahan seperti ini sering kali ditanggapi dalam perspektif sepihak. Oleh sebab itu, yang terjadi justru menempatkan pihak satu pada posisi benar dan pihak lain bersalah. Yang seharusnya terjadi justru tenggelam dalam keegoisan, yakni memahami dengan bijaksana penempatan cinta dari kedua belah pihak.


Apa Ini Eros atau Philia Semata?


Eros dan philia tidak jarang memunculkan permasalahan. Manusia pada dasarnya memiliki keduanya. Hal itulah yang sebenarnya cikal-bakal munculnya permasalahan. Fenomena derita cinta di atas disebabkan karena tumpang-tindih menangkap cinta eros dan philia. Cinta yang dinyatakan si laki-laki kepada perempuan merupakan cinta eros, sedangkan kasih-sayang perempuan kepada laki-laki itu merupakan cinta philia. Secara tidak langsung, munculnya eros tersebut disebabkan karena philia perempuan itu begitu kuat. Ketika philia begitu kuat, persahabatan tidak ingin dipisahkan. Ia merasa yang dicintai merupakan bagian dari dirinya pula dan ia pun merasa ingin dilindungi. Akan tetapi, spirit yang ditangkap laki-laki berbeda. Ia menganggap perasaan itu merupakan eros dari perempuan untuknya.


Jadi, cinta yang dihadapi laki-laki dan perempuan tersebut berbeda. Kurang pekanya menangkap spirit eros dan philia inilah penyebab derita cinta tak berbalas yang cukup unik. Keduanya punya hasrat untuk memiliki. Yang satu hasrat-memiliki yang bermuatan seksual, sedangkan yang satunya tidak bermuatan seksual. Dalam fenomena ini, perempuan memiliki cinta yang ganda. Cinta philia perempuan ditujukan kepada si laki-laki yang menderita, sedangkan cinta eros tetap diberikan kepada sang kekasih semata.


Permasalahan kurang pekanya memahami spirit eros dan philia sering terjadi. Bila salah satunya tidak mampu memahami dengan bijaksana, yang ada hanya kebencian hingga menimbulkan retaknya persahabatan. Kunci permasalahan cinta ada pada kebijaksanaan. Ketika manusia menangkap sebuah fenomena dengan bijaksana, pada dasarnya ia telah membuka diri terhadap cinta.


Untuk saat ini, permasalahan terletak bukan sekadar berhenti bagaimana kita mengartikan apa itu cinta. Bila yang dipermasalahkan sekadar apa itu cinta, yang muncul adalah cinta itu buta, cinta itu menyakitkan, cinta itu menyenangkan, cinta menjenuhkan yang semuanya merupakan lapisan luar belaka. Namun, pertanyaan lebih lanjut dan mendalam sebenarnya justru terlewatkan, yakni bagaimana kita memaknai kehidupan ini dengan cinta dan memahami dengan bijaksana penempatannya. “Bila ego diperkuat dengan cinta/Tenaganya menguasai dunia semesta/Langit menguasai angkasa dengan bintang-bintang/Tangannya menjadi tangan Tuhan/Bulan pecah oleh jari-jemarinya/Dialah pelerai dalam semua sengketa dunia”, tegas Mohammad Iqbal.

A. Basyir semoga tetap bijak


Baca Selanjutnya

FAKTA DAN REKAYASA SEJARAH: KAJIAN BUDAYA KRITIS

FAKTA DAN REKAYASA SEJARAH: KAJIAN BUDAYA KRITIS


Oleh: Heru Susanto


Arthur Marwick, sejarawan, mengatakan “seperti apakah kiranya hidup sehari-hari dalam masyarakat jika tidak ada seorang pun yang tahu tentang sejarah? Imajinasi macet, sebab hanya melalui pengetahuan tentang sejarah-dirinyalah suatu masyarakat dapat memiliki pengetahuan tentang dirinya sendiri. Manusia tanpa memori dan pengetahuan-diri adalah manusia yang mengambang, demikian pula suatu masyarakat tanpa memori (atau lebih tepatnya, tanpa kemampuan mengingat) dan pengetahuan-diri akan menjadi masyarakat yang mengambang.” Sejarah bagi perkembangan masyarakat sangat penting. Melalui sejarah, masyarakat mampu mengetahui seluk-beluk perjalanan panjang yang menyebabkan sekelompok masyarakat menjadi berkembang.


Sejarah mampu menjadikan sekelompok masyarakat mengetahui jati diri yang sesungguhnya, tentang nenek moyang, kasta, agama, dan kebudayaan yang selama ini dianutnya. Tidak ada yang dapat memungkiri, sejarah merupakan tolok ukur eksistensi manusia. Tanpa sejarah, kehidupan tidak akan berkembang.


Melalui masa lalu, manusia akan lebih dapat memahami keberadaannya. Gadamer menegaskan masa lalu sebagai arus bagi manusia untuk bergerak dan berpartisipasi dalam setiap tindakan pemahaman. Pemahaman tersebut dapat diartikan pemahaman dalam arti luas, seperi pemahaman sebagai makhluk berbudaya yang memiliki cara berpikir dalam menangkap segala peristiwa.


Bila manusia kehilangan sejarahnya, manusia tidak memiliki pemahaman mengenai dirinya. Oleh sebab itu, Marwick mengatakan kelompok masyarakat tersebut akan mengambang tanpa memiliki pengetahuan-diri. Secara tegas, Marxim Gorki menegaskan “the people must know their history”. Mengapa kita berbicara tentang sejarah? Jawabannya ialah karena sejarah menentukan pemahaman mengenai keberadaan dan perkembangan kita. Bagaimana dengan keberadaan sejarah kita (Indonesia)?


Antara Fakta dan Rekayasa


Keberadaan sejarah saat ini tampaknya memberikan pandangan kepada masyarakat yang dapat dikatakan membingungkan. Berbagai pandangan sejarah bermunculan dengan berbagai versi kontroversi. Kondisi seperti ini signifikan sejak lengsernya kekuasaan Orde Baru dan digantikan dengan masa yang disebut sebagai Zaman Reformasi. Saat ini, sejarah yang selama ini diakui kebenarannya sedikit demi sedikit mulai dijungkirbalikkan. Kepincangan kebijakan-kebijakan politik yang berpengaruh dalam sejarah pada masa lalu sering diekspos di berbagai media. Kenyataan tersebut secara tidak langsung menyugesti paradigma masyarakat yang menimbulkan pandangan skeptis (ragu) terhadap kebenaran yang selama ini dijadikan sebagai doktrin. Oleh sebab itu, antara fakta dan rekayasa sejarah menjadi bahan perdebatan yang sampai saat ini masih membutuhkan jawaban kebenaran.


Rekronstruksi sejarah saat ini lebih menekankan tentang kebenaran peristiwa-peristiwa masa lalu yang dipengaruhi pemegang kekuasaan. Salah satu peristiwa tersebut ialah peristiwa berdarah yang selama ini dikenal sebagai peristiwa G 30 S/PKI. Konstruksi sejarah saat ini mempertanyakan kembali kebenaran mengenai terlibatnya PKI sebagai dalang kerusuhan tersebut. Dalam pandangan sejarah saat ini, kerusuhan tersebut masih perlu adanya pengkajian lebih lanjut mengenai keterlibatan PKI sebagai satu-satunya sentral peristiwa kerusuhan. Dengan paradigma berpikir tersebut, pandangan sejarah saat ini cenderung tidak mencantumkan inisial PKI dalam peristiwa Gerakan 30 September.


Pandangan sejarah tersebut akhirnya berdampak pada ranah pendidikan. Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, menginginkan penarikan buku-buku sejarah SMP dan SMA yang diduga menimbulkan pemutarbalikan fakta (Kompas, 20 Mei 2007). Penarikan buku-buku sejarah tersebut disebabkan tidak mencantumkan identitas PKI dan hal itu dinyatakan tidak mencatat fakta kebenaran sejarah.


Kedua pandangan tersebut menimbulkan kebingungan pada masyarakat, khususnya pada ranah pendidikan. Seiring kebijakan penarikan buku sejarah SMP dan SMA, munculnya buku-buku umum yang membahas sisi gelap sejarah oleh berbagai penerbit juga berjalan dengan genjar. Salah satunya ialah Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI karya Eros Djarot dkk. Munculnya berbagai buku tentang sejarah yang bersifat kontroversial memberikan pandangan baru terhadap masyarakat dalam memandang sejarah. Kenyataan seperti ini sangat berpengaruh terhadap ranah pendidikan yang berpredikat sebagai pencetak dunia intelektual dengan sikap kritis. Di satu sisi, mereka harus mengejar kebenaran mengenai fakta yang tertunda, di sisi lain mereka harus mengikuti sistem yang berlaku. Pertanyaan yang muncul ialah sejarah mana yang harus diakui kebenarannya?


Membahas mengenai sejarah kontroversial tersebut harus menggunakan pandangan yang kritis serta bijaksana. Penarikan buku sejarah SMP dan SMA memiliki gambaran yang bersifat antisipasi mengenai pembenaran pandangan ajaran komunisme. Pandangan seperti ini dapat dibenarkan karena ajaran penolakan adanya tuhan tidak sesuai dengan fitrah manusia yang membutuhkan suatu kekuatan transenden. Sebagai negara yang beragama, ajaran komunis jelas ditentang keras oleh berbagai agama.


Akan tetapi, kebenaran sejarah harus tetap dipertanggungjawabkan. Pandangan sejarah saat ini yang tampaknya mempertanyakan kembali kebenaran sejarah silam merupakan pandangan kritis yang berusaha menghadirkan kebenaran yang tertunda. Dalam paradigma postrukturalisme, kenyataan dalam sejarah adalah kenyataan yang dibangun, kenyataan yang memperoleh kekuatan melalui wacana. Wacana tidak pernah terlepas dari ideologi, khususnya ideologi kelompok dominan. Oleh sebab itu, tidak tertutup kemungkinan kebenaran sejarah dikonstruksi oleh kekuasaan dominan.


Bila pandangan sejarah ditarik pada kebenaran tunggal, hal itu sama dengan menolak kebenaran yang tertunda atau kebenaran yang dimunculkan dalam paradigma kritis. Sejarah bukanlah suatu objek yang dapat dipindahkan ke media yang lain tanpa dipengaruhi pemikiran. Rekonstruksi sejarah membutuhkan memori manusia yang di dalamnya telah bercampur dengan pandangan-pandangan tertentu. Sebagai analogi, sebuah kamera untuk membidik sebuah objek dipengaruhi pemegang kamera. Objek akan tampak berbeda bila dibidik dari sisi yang berbeda, belum lagi kemampuan photoshop pemegang kamera sudah canggih untuk mempercantik hasil bidikannya.


Mempertanyakan kembali kebenaran sejarah tidak sekadar menjadi permasalahan dalam disiplin ilmu sejarah. Hal yang sama juga menjadi objek kajian dalam sastra. Sastra juga mengalami kegelisahan mengenai konstruksi sejarah yang telah ada. Seno Gumira Ajidarma dalam Kalatidha menggambarkan seorang tokoh yang kehilangan orang-orang terdekatnya. Orang-orang tersebut hilang karena diduga terlibat dalam gerakan komunisme. Peristiwa-peristiwa kerusuhan pun dideskripsikan berdasarkan pembantaian tanpa peradilan. Tampaknya Kalatidha ingin mempertanyakan kembali mengenai kebenaran orang-orang yang hilang yang diduga sebagai komunis.


Hutcheon menyatakan konsep sastra dan sejarah sebagai cabang ilmu yang masing-masing menginterpretasikan pengalaman sudah dikenal pada abad ke-19. Konsep seperti ini dapat digunakan sebagai landasan pandangan kritis mengenai relativitas kebenaran.


Pandangan Pencerahan

Kebenaran sejarah merupakan kebenaran yang dibangun berdasarkan pengalaman. Jika muncul sebuah perbedaan dalam menangkap kebenaran, hal itu merupakan suatu konsekuensi logis. Akan tetapi, bila kebenaran tersebut digiring ke arah kebenaran tunggal, hal tersebut justru dapat dikatakan sebagai penolakan berpikir secara kritis.


Kebijakan penarikan buku sejarah yang tidak mencantumkam nama PKI juga perlu ditanggapi secara positif dan kritis. Antisipasi adanya muatan politis di balik penghapusan identitas tersebut merupakan pandangan logis. Adakah nuansa komunis akan berkembang? Bila hal itu benar, pemikiran tajam berdasarkan ketuhanan harus dipegang. Tegak dan lawan dengan berpegang pada kebenaran merupakan fitrah manusia yang berketuhanan.


Menyikapi dua pandangan mengenai sejarah yang berbeda tidak berlebihan bila tulisan ini ditutup dengan pernyataan Bachofen. Bachofen menyatakan “bukan paradoks, melainkan realitas…..bahwa kebudayaan manusia hanya berkembang setelah melalui pertentangan dan perselisihan”.











Baca Selanjutnya

Jumat, 04 April 2008

MEMBONGKAR LELAKI BUAYA DARAT KARYA RATU: KAJIAN DEKONSTRUKSI

MEMBONGKAR LELAKI BUAYA DARAT KARYA RATU: KAJIAN DEKONSTRUKSI*


Oleh: Heru Susanto



Abstract


The lyric of ”Lelaki Buaya Darat” sung by a duo, Ratu that attempts to construct the binary opposition of woman as an object (victim) and man as asubject (doer) actually reveals an instability. This is due to the ambiguity of the marginalized text. Thie marginalized text is put forward by means of deconstruction, to reconstruct the seemingly stable interpretation of the song. The commonly accepted interpretation places woman as the object and man as the subject. This is reconstructed, thus putting woman as a subject instead.


Pendahuluan


Nietzsche, pujangga besar Jerman, berkata, “Whithout music, life would be an error.” Kenyataan tersebut memang benar bahwa musik merupakan alternatif untuk menenangkan jiwa manusia. Keharmonisan antara nada dan liriknya menjadikan musik mempunyai kekuatan untuk menyugesti penikmat ke wilayah yang damai dan membangkitkan memori kehidupan. Oleh sebab itu, musik sampai sekarang dibutuhkan manusia.

Perkembangan musik, khususnya di Indonesia sangat pesat. Banyak lagu populer yang memberikan nuansa lirik yang menyuarakan kisah cinta yang berbeda dari pemusik-pemusik kawakan (pencipta lagu), seperti Koes Plus, Ebiet, dan yang lainnya. Bila dilihat dari lirik lagu, pemusik saat ini lebih ”berani”. Perkembangan tersebut dipengaruhi kultur masyarakat yang dinamis yang sangat berpengaruh dalam penciptaan lagu.

Salah satu keberanian yang tampak untuk saat ini dapat ditemukan pada lirik lagu yang diciptakan oleh pemusik Ratu. Lirik-lirik Ratu secara implisit menyuarakan keberanian wanita mengangkat perspektif masyarakat mengenai gender bahwa wanita merupakan makhluk yang lemah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Erriam (Ratna, 2005:132) bahwa musik harus memiliki paling sedikit sepuluh fungsi sosial, antara lain a) fungsi pengungkapan emosional, b) fungsi pengungkapan rasa estetika, c) fungsi hiburan, d) fungsi komunikasi, e) fungsi pengungkapan simbolik, f) fungsi reaksi jasmani, g) fungsi penyelenggaraan norma-norma sosial, h) fungsi pengesahan lembaga sosial, i) fungsi kesinambungan kebudayaan, dan j) fungsi pengintegrasian sosial. Bila dilihat dari sepuluh fungsi tersebut, musik sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial.

Fungsi sosial juga terdapat dalam lirik lagu karya Ratu, mengenai oposisi biner antara wanita dengan lelaki. Salah satu lirik lagu Ratu yang saat ini sedang populer dan mempunyai pengaruh sosial yang kuat yaitu Lelaki Buaya Darat (selanjutnya disingkat LBD)

LBD mengisahkan seorang wanita yang merasa dirinya dikhianati lelaki. Dari lirik lagu tersebut, tampaknya Ratu mencoba membangkitkan mitos warisan nenek moyang mengenai ”gelar” yang sampai sekarang menjadi beban bagi kaum lelaki sebagai ”hidung belang”. Sadar atau tidak, dalam lirik tersebut, Ratu ingin memunculkan ikon jeritan kaum wanita yang merasa disakiti (penderita) dan merupakan representasi perlawanan terhadap lelaki sebagai tokoh penindas (pelaku). Oposisi biner wanita sebagai objek (penderita) dan laki-laki sebagai subjek (pelaku) merupakan gambaran yang ingin diungkapkan oleh Ratu dalam LBD sebagai realita sosial. Namun, benarkah dalam lirik tersebut wanita semata-mata kaum tersakiti (penderita)? Atau benarkah lelaki sebagai pelaku penindasan yang layak menyandang ”gelar” ”buaya darat”?

Kenyataan penafsiran masyarakat terhadap LBD yang menjadikan wanita sebagai penderita dan lelaki sebagai pelaku penindasan memang tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi, kali ini penulis mencoba merekonstruksi interpretasi pada lirik lagu tersebut dengan teori dekonstruksi yang digagas Jacques Derrida.


Dekonstruksi: Differance, Teks, dan Lirik Lagu


Dekonstruksi menurut Derrida (Al-Fayyadl, 2005:176) merupakan strategi pembacaan teks secara filosofis yang menunjuk pada proses yang tak terselesaikan dan bersifat dinamis. Dekonstruksi tidak melihat kebenaran dalam penafsiran sebagai salah satu kebenaran. Kebenaran menurut dekonstruksi ada banyak. Hal itu disebabkan dalam teks terdapat perbedaan (yang dinamakan Derrida sebagai differance) yang tak selamanya ditaklukkan.

Pemikiran filsafat Derrida yang direpresentasikan melalui dekonstruksi cenderung pada bahasa. Sim (2002:26) menggambarkan asumsi-asumsi dasar dekonstruksi yang berhubungan dengan permainan bahasa yang berwujud sebagai teks. Asumsi-asumsi tersebut antara lain:
bahwa bahasa senantiasa ditandai oleh ketidakstabilan dan ketidaktetapan makna,
bahwa mengingat ketidakstabilan dan ketidaktetapan itu, tak ada metode analisis (misalnya filsafat atau kritik) yang memiliki klaim istimewa apa pun atas otoritas dalam kaitannya dengan tafsir tekstual,
bahwa dengan demikian, tafsir adalah kegiatan yang tak terbatas dan lebih mirip dengan permainan daripada analisis seperti yang lazimnya dipahami.


Untuk mendeskripsikan dekonstruksi, Derrida (Al-Fayyadl, 2005:174:176) meringkasnya dalam tiga prinsip, yakni sans savoir, sans voir, dan sans avoir (tidak mengetahui, tidak melihat, dan tidak memiliki). Sans savoir (tidak mengetahui) yaitu menggambarkan bahwa teks tidak selalu dapat ditangkap kebenarannya oleh penafsir secara total. Penafsir dalam menginterpretasikan sebuah teks harus mengakui bahwa teks terdapat perbedaan (defferance). Sans voir (tidak melihat) menggambarkan keterbatasan indra dan penglihatan kita terhadap kebenaran. Ada sikap yang ingin menghargai sebuah perbedaan atau respek akan adanya defferance. Prinsip yang terakhir yaitu sans avoir (tidak memiliki). Sans avoir menyatakan bahwa kebenaran tidak menetap pada satu penafsir, melainkan bergerak menyebar ke penafsir-penafsir yang berbeda.

Munculnya dekonstruksi mengundang kontroversi dari berbagai kalangan. Hal itu disebabkan ketidaktepatan dalam memberikan pengertian terhadap istilah dekonstruksi. Penghancuran, pembongkaran, dan penolakan merupakan pemberian pengertian yang secara leksikal, sehingga menimbulkan ketidaktepatan dalam mengartikan dekonstruksi. Dekonstruksi tidak hanya sekadar membongkar, tetapi merekonstruksi penafsiran yang telah diakui kebenarannya secara absolut. Kebenaran dalam penafsiran tidak harus diakui begitu saja tanpa ada penafsiran lebih lanjut. Penafsiran membutuhkan ketelitian dan tidak mengesampingkan teks sebagai sesuatu yang dianggap sepele. Dalam hal ini, penafsiran yang sudah dianggap stabil mampu dijungkirbalikkan. Namun, dalam hal ini, penafsiran tetap pada makna yang mampu dipertanggungjawabkan. Kristeva (Ratna, 2005:252) menyatakan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif.

Menurut Sim (2002:27), dekonstruksi dianggap sebagai bentuk skeptimisme filosofis yang benar-benar menyeluruh, yang mempertanyakan asumsi-asumsi yang tak pernah dipersoalkan, dan selanjutnya menunukkan kesenjangan-kesenjangan yang menyebabkan keputusan-keputusan nilai yang lebih dari sekadar terdakwa. Hal tersebut menyatakan bahwa dekonstruksi pada dasarnya tidak menganggap klaim-klaim sebagai sebuah kebenaran. Dekonstruksi justru meragukan kebenaran yang telah diakui keberadaannya. Dekonstruksi memberikan penafsiran ulang, menata kembali teks yang diakui kebenarannya dan menunjukkan segala sesuatu yang tidak beres dalam sebuah teks.

Lirik lagu pada dasarnya merupakan teks. Teks yang dilantunkan berdasarkan irama, sehingga menjelma sebagai teks yang mempunyai keluwesan nada yang dilisankan. Karena sebagai teks, dekonstruksi merupakan pendekatan yang sesuai untuk menafsirkan kembali (reinterpretrasi) penafsiran LBD yang dianggap telah stabil oleh masyarakat sebagai lirik yang memosisikan wanita sebagai penderita dan lelaki sebagai pelaku yang menyebabkan kekecewaan kaum wanita. Benarkah hal itu?

Sesuai dengan pendapat Derrida (Norris, 2003:109) dekonstruksi ”menggerogoti dari dalam” atau menelanjangi teks-teks dengan meminjam konsep teks itu sendiri. Penafsiran LBD juga akan meminjam teks yang ada dalam lirik itu sendiri untuk menelanjangi atau membongkar makna yang implisit dan makna yang dimarginalkan.

Untuk menghadirkan keambiguaitasan teks yang dimarginalkan, perlu memunculkan differance. Differance menurut Derrida berarti ”perbedaan”. Yang dimaksud perbedaan tidak sekadar menunjukkan ketidaksamaan antara dua hal. Namun, differance menunjukkan ”penundaan” suatu yang lain. Secara filosofis istilah differ(a)nce memiliki dua makna, yaitu ”membedakan/menjadi berbeda” (to differ) dan ”menunda” (to defer). Pengertian ganda yang dipicu huruf a dalam differ(a)nce menurut Derrida (Al-Fayyadl, 2005:110) merupakan strategi tekstual untuk menunjukkan watak ambiguitas bahasa. Dengan kata lain, differance membuka teks terhadap ”suara” lain, kepada the other yang dimarginalkan oleh pusat teks yang stabil.


Wanita sebagai Objek dan Subjek


Perspektif yang sampai sekarang masih mendominasi paradigma masyarakat bahwa wanita merupakan makhluk yang selamanya tertindas, secara tidak langsung terdapat dalam LBD. Dalam LBD, Ratu ingin menggambarkan rasa sakit yang dialami wanita yang disebabkan oleh kaum lelaki. Kekecewaan-kekecewaan wanita mewarnai lirik LBD. Kekecewaan tersebut dimunculkan Ratu untuk memperkuat bahwa wanita merupakan makhluk yang lemah yang sering ditindas oleh kaum lelaki. Ratu berusaha memunculkan oposisi biner antara wanita sebagai penderita dan lelaki sebagai pelaku.

Akan tetapi, penggambaran wanita dalam LBD tampaknya tidak sekadar menempatkan wanita sebagai objek (penderita) semata. Wanita yang oleh perspektif masyarakat diyakini hanya sebagai objek semata, dalam lirik LBD ternyata juga menempati posisi sebagai subjek (pelaku). Dari sinilah, pembacaan dekonstruksi perlu diterapkan. Yang menggambarkan wanita sebagai subjek terletak pada lirik sebagai berikut.


Lihatlah pada diriku

Aku cantik dan menarik

Dan kau mulai dekati aku


Dari lirik awal LBD, wanita merupakan pelaku. Dengan menggunakan tubuh yang dinyatakan melalui kecantikan dan daya tarik, wanita memanfaatkannya sebagai stimulus (rangsangan) untuk menarik lelaki. Doktrin mengenai wanita adalah objek (penderita) dan lelaki adalah subjek (pelaku) yang seakan-akan dipostulatkan, dalam hal ini dijungkirbalikkan. Lirik tersebut telah menyatakan bahwa justru wanitalah yang menjadi pelaku (subjek) dan lelaki menjadi penderita (objek). Dalam hal ini, Prabasmoro (2006:181) menegaskan posisi objek dapat memberikan ruang bagi wanita untuk menjadi subjek dan menjadikan subjek yang dibangun dalam pengobjektivikasian kaum patriarki. Dari lirik tersebut, tampaknya Ratu selain ingin menggambarkan kelemahan wanita juga ingin menunjukkan superioritas wanita pada lihatlah pada diriku...

Namun, pembacaan teks tidak terputus pada bait lirik tersebut. Menurut Beauvoir (Prabasmoro, 2006:181) dan hal ini merupakan kekhawatirannya, wanita dapat terkecoh dalam keadaan seolah-olah ia memainkan peran objek sebagai subjek, ketika yang sebenarnya terjadi adalah perempuan tergoda untuk menjadi objek dan melepaskan subjektivitasnya, karena subjektivitas membawa konsekuensi tanggung jawab. Bila teks lirik LBD dibaca kembali, kekhawatiran Beauvoir benar-benar terjadi. Wanita (dalam LBD) tidak mampu mempertahankan subjektivitasnya. Hal ini disebabkan tidak adanya strategi pertahanan subjektivitas, sehingga subjek tenggelam ke dalam objektivitas. Ketidakmampuan mempertahankan subjektivitas terjadi ketika wanita memberikan segalanya kepada lelaki.


Kuberi segalanya

Cinta harta dan jiwaku

Tapi kau malah menghilang bagai hantu

Tak tahu malu


Posisi wanita yang semula menjadi subjek kemudian tenggelam ke dalam objek inilah yang melatarbelakangi kebencian terhadap lelaki. Dari lirik tersebut, Ratu mulai menggambarkan sosok lelaki yang tidak bertanggung jawab, sehingga lirik LBD mampu memberikan sugesti untuk memperkuat bahwa lelaki adalah ”buaya darat”. Pembentukan karakteristik lelaki tersebut bertujuan untuk mengkonstruksi makna yang ingin diungkapkan, yaitu menghadirkan oposisi biner wanita sebagai objek (penderita) dan lelaki sebagai subjek (pelaku).

Walau posisi wanita yang semula subjek kemudian tenggelam ke posisi objek, hal tersebut tidak berarti wanita selamanya berperan sebagai objek yang telah mendominasi perspektif masyarakat, melainkan juga berperan sebagai subjek atau pelaku.

Dalam LBD, kebiasaan lelaki sebagai penggoda kaum wanita sekarang tidak diakui. Lirik di atas apabila ditata kembali mengisyaratkan bahwa wanitalah yang menggoda lelaki. Jadi, wanita dalam LBD berperan sebagai subjek (pelaku). Wanita yang dalam pandangan masyarakat diakui sebagai sosok yang selalu menjadi korban lelaki dalam hal ini justru wanitalah yang memberikan stimulus untuk menempatkan lelaki sebagai objeknya.

Keinginan Ratu untuk menghadirkan oposisi biner wanita sebagai objek (penderita) dan lelaki sebagai subjek (pelaku) semata telah gagal. Ratu terjebak dalam ambiguitas teks yang direpresentasikan sebagai lirik lagu yang digagasnya. Wanita yang semula diakui sebagai objek (penderita) ternyata juga berposisi sebagai subjek (pelaku) yang menarik perhatian lelaki.


Pengakuan terhadap the Other: Wanita sebagai ”Buaya” yang lain


Setelah menggambarkan lelaki sebagai pelaku yang menyakiti wanita, Ratu memunculkan beberapa lirik selanjutnya untuk memperkuat ambisinya demi melekatkan sebutan “buaya darat” kepada lelaki. Kebencian wanita terhadap lelaki sangat kuat pada bagian reff LBD.

Penggunaan kata dalam lirik LBD, seperti busyet! Aku tertipu lagi memiliki kekuatan untuk memberikan makna kekecewaan dan kekesalan. Kekecewaan dan kekesalan tersebut menjadi titik-tolak bagi Ratu untuk memunculkan kata-kata makian yang mewakili kebencian wanita terhadap lelaki yang menyakitinya. Pengkonstruksian kata-kata yang mampu memberikan kekuatan makna untuk membangkitkan figur lelaki sebagai penindas wanita sebagai berikut.


Lelaki buaya darat

Busyet! Aku tertipu lagi

Mulutnya manis sekali

Tapi hati bagai serigala


Kekesalan serta kekecewaan diungkapkan berupa metafor yang menjadikan ”serigala” untuk menggambarkan kelicikan dan kebuasan lelaki. Lelaki di sini dinyatakan sebagai seseorang yang pandai merayu serta mengobral janji yang manis, namun tak ada bukti dan akhirnya menghilang begitu saja. ”Kebuasan”, ”keliaran”, dan kelicikan mulai tergambarkan.

Kekecewaan yang dialami wanita juga terdapat pada lirik ”tapi kau malah menghilang bagai hantu tak tahu malu (sakitnya aku)”. Lirik tersebut memiliki potensi yang kuat untuk memunculkan gambaran sosok wanita yang tertindas. Untuk menggambarkan kelicikan lelaki yang menyisakan rasa sakit dan kecewa pada wanita, hal itu perlu ditegaskan bahwa penggunaan metafor berupa kata hantu, serigala, dan busyet ialah kekuatan yang mampu memperkuat gambaran lelaki sebagai pelaku penindasan. Kata-kata tersebut mempunyai aspek makna yang kuat dan merupakan sentral yang mampu memberikan sugesti ke penafsiran yang distabilkan.

Namun, benarkah dalam teks lirik LBD sifat ”hantu”, ”serigala”, dan ”buaya darat” memang hanya untuk kaum lelaki? Untuk membongkar kebenaran dalam teks tersebut, penafsiran perlu menggunakan pembacaan dekonstruksi untuk menghadirkan differance dalam teks.

Bila mendengar lagu LBD, orang pasti beranggapan bahwa yang pantas disalahkan adalah lelaki. Lelakilah yang pantas dibebani atau menyandang ”gelar” ”buaya darat” serta ”keserigalaan”nya. Mereka menganggap bahwa penafsiran mereka terhadap teks LBD merupakan kebenaran yang tunggal dan stabil. Hal itu disebabkan bahwa para penikmat LBD tersugesti untuk memasuki sentral makna yang kuat yang terdapat pada kata hantu, serigala, busyet, serta buaya darat. Penikmat digiring sedemikian rupa ke dalam kekuatan makna yang dibangun, sehingga penafsiran tunggal pun terbentuk. Tanpa memberikan penafsiran lebih jauh, penikmat secara tidak sadar menganggap dan bahkan terlibat dalam penstabilan teks tersebut, sehingga eksistensi kebenaran yang lain (the other) tenggelam.

Bila penafsiran sudah dinyatakan stabil, hal itu justru perlu dipertanyakan. Menurut Derrida, teks menyimpan ambiguitas-ambiguitas yang tidak bisa dielakkan. Seperti ambisi Ratu untuk menggambarkan kesalahan-kesalahan lelaki sehingga dapat memunculkan oposisi biner antara wanita sebagai objek (penderita) dan lelaki sebagai subjek (pelaku), Ratu justru terperangkap dalam ambiguitas-ambiguitas tersebut. Akan tetapi, ambiguitas tersebut seakan dimarginalkan demi menghadirkan ketunggalan dan kestabilan penafsiran, sehingga penafsiran dianggap selesai dan dihentikan. Namun, ambisi tersebut tidak sepenuhnya berhasil. Ketidakstabilan dan keambiguitasan LBD yang dimarginalkan, dalam tulisan ini akan diangkat ke permukaan, sehingga eksistensinya mulai tampak. Hal itu terdapat pada lirik berikut.


Untungnya aku masih punya kekasih yang lainnya

Tapi mengapa aku masih saja tertipu olehnya


Penggalan lirik LBD tersebut merupakan salah satu ketidakstabilan dan keambiguitasan yang keberadaannya dimargnalkan. Bila diperhatikan secara sekilas, lirik tersebut seakan-akan lenyap ketika dinyanyikan. Lenyapnya lirik tersebut diakibatkan oleh tekanan-tekanan pada lirik yang lainnya, seperti lirik pada bagian reff dan pengaruh-pengaruh kekuatan makna yang terdapat pada kata hantu, serigala, busyet, dan buaya darat. Setiap lagu pasti memberikan tekanan tersendiri pada bagian reff, sehingga teks-teks yang lain cenderung mengalami pergeseran eksistensinya. Hal itu merupakan strategi Ratu untuk memperkuat penciptaan kebencian dan kekecewaan terhadap lelaki serta mengangkat figur wanita yang tertindas dengan memarginalkan terks tersebut. Ambisi tersebut mulai tergoyahkan, setelah teks yang dimarginalkan dibebaskan dari ikatan teks yang distabilkan.

Bila penafsiran ditata kembali secara teliti dan cermat, ada kejanggalan dalam LBD. Untungnya aku masih punya kekasih yang lainnya, memberikan tafsiran bahwa ternyata si wanita selama bersama dengan lelaki yang telah meninggalkannya juga mempunyai kekasih ”gelap”. Hal itu juga dapat ditafsirkan bahwa si wanita juga mendua tanpa sepengetahuan kekasihnya. Pengkhianatan cinta juga dilakukan wanita. Wanita yang tadinya didudukkan sebagai korban pengkhianatan atau korban penelantaran oleh lelaki ternyata juga pelaku. Lirik tersebut sangat bertentangan dengan misi Ratu yang ingin mengangkat ”buaya darat”. Figur wanita yang dibangunnya mulai terombang-ambing dalam ketidakstabilan. Wanita yang sebelumnya tergambar dengan keluguannya yang tertindas, ternyata memiliki sisi yang berpotensi sebagai penindas. Jadi, dalam LBD selain lelaki sebagai pelaku pengkhianatan yang tadinya diakui kebenarannya tanpa dipertanyakan ulang, wanita pun juga menjadi tersangka sebagai pelaku pengkhianatan. Wanita secara sembunyi-sembunyi mempunyai lelaki ”cadangan” yang lain.

Istilah buaya darat merupakan sebutan yang ditujukan kepada lelaki yang sering berganti-ganti pasangan dan selalu mengobral janji kepada semua wanita. Kenyataan tersebut dapat ditemukan pada lirik mulutnya manis sekali / tapi hati bagai serigala. Namun, kita akan merekonstruksi kembali lirik untungnya aku masih punya kekasih yang lainnya / tapi mengapa aku masih saja tertipu olehnya. Pada lirik tapi mengapa aku masih saja tertipu olehnya akan muncul sebuah tafsiran bahwa wanita tersebut juga berpengalaman dalam hal percintaan yang bersifat mendua. Namun, walaupun berpengalaman, wanita tersebut masih saja tertipu. Jadi, lirik tersebut menyuarakan adanya kekecewaan pada diri sendiri yang seharusnya dengan pengalamannya tidak terjadi hal semacam itu.

Gambaran meninggalkan wanita begitu saja yang dilakukan oleh lelaki yang seharusnya bertendensi untuk memperkuat lelaki sebagai ”buaya darat” juga mengalami ketidakstabilan. Wanita yang seharusnya sebagai korban pengkhianatan ternyata juga memiliki pengalaman mendua. Munculnya gambaran wanita yang juga berpengalaman mendua menjadi ”bumerang” bagi ambisi Ratu untuk menyatakan lelaki sebagai ”buaya darat”. Ambisi tersebut akhirnya runtuh dalam teks lagu itu sendiri. ”Buaya darat” dalam LBD tampaknya mengalami kebingungan untuk menentukan ”majikan” yang cocok menyandang maupun melestarikannya. Ia harus ikut si lelaki atau si wanita?

Dari rekonstruksi interpretasi tersebut, yang ”buaya darat” tidak hanya lelaki, tetapi ada ”buaya” lain atau ”buaya” kedua dalam liri lagu LBD yang seakan dimarginalkan. Usaha Ratu untuk membangkitkan kekecewaan dan kekesalan terhadap lelaki dan mengangkat figur wanita yang selalu tertindas pada bagian teks sebelumnya telah gagal, setelah teks yang dimarginalkan dihadirkan.

Ambisi menghadirkan tafsiran tunggal dan stabil merupakan kesalahan terbesar, sebab teks bersifat otonom. Tidak ada yang berhak untuk menyatakan bahwa teks bersifat tunggal dan stabil. Menafsirkan teks tidak berarti menggugurkan kebenaran yang lain. Derrida telah menegaskan bahwa kebenaran itu tidak hanya satu, tetapi kebenaran ada banyak dan kebenaran menyebar dalam teks, sehingga siapa pun dapat mendekatinya dari berbagai sisi.

LBD merupakan saksi bahwa penafsiran tidak pernah stabil dan keambiguitasan teks tidak selamanya dapat dihindari. Ambisi Ratu mengangkat ”buaya darat” telah gagal. Wanita yang ingin disuarakan ternyata terperosok pada ambiguitas dan bahkan telah menjelma sebagai ”buaya” yang kedua. Kegagalan Ratu memunculkan figur wanita yang tersakiti dan lelaki sebagai pelaku penindasan yang layak disebut sebagai ”buaya darat” tampaknya diakibatkan juga oleh ambisi untuk menunjukkan superioritas wanita. Gambaran superioritas wanita yang tersirat dalam LBD memberikan peluang ambiguitas yang tak dapat dielakkan. Ratu terjebak oleh ambisi-ambisinya yang di salah satu sisi ingin mengangkat figur wanita yang tertindas, di sisi lain ia terjebak oleh ambisinya untuk menggambarkan superioritas wanita.


Penutup


Dekonstruksi memberikan kebebasan dalam mendekati sebuah teks. Tidak ada kebenaran tunggal dalam menelanjangi teks. Dekonstruksi mengajak manusia untuk lebih bersikap skeptis (meragu-ragukan) kebenaran yang telah dianggap stabil dan menghargai perbedaan pada the other. Ambiguitas teks perlu dibangkitkan dari upaya pemarginalannya untuk mendapatkan penafsiran yang justru lebih dapat dipertanggungjawabkan. Manusia tidak harus menerima begitu saja segala sesuatu tanpa pernah mempertanyakan kembali.

Heidegger (Palmer, 2003:270) menegaskan pemahaman merupakan sesuatu yang fundamental dari keberadaan manusia di dunia. Melalui pemahaman, manusia memiliki suatu penilaian dari cara kita berada, menangkap makna melalui bahasa.

Setelah mendekonstruksi LBD, penafsiran yang selama ini telah diyakini kebenarannya kini telah dijungkirbalikkan. Tidak hanya lelaki yang ”buaya darat”, wanita pun (dalam LBD) juga ”buaya” (sebut saja ”buaya laut”). Rekonstruksi interpretasi tersebut memunculkan pertanyaan yang mengganggu lebih lanjut. Mungkinkah lelaki (dalam LBD) meninggalkan si wanita justru karena ia mengetahui bahwa si kekasih (wanita) mempunyai teman lelaki spesial lainnya? Bukankah kita masih ingat lagunya Ratu yang berjudul TTM (Teman tapi Mesra)?

Pembongkaran LBD ini bukan semata-mata apologi (pembelaan) terhadap kaum lelaki yang identik dengan ”buaya darat”, tetapi tulisan ini lebih mengarah pada pembelaan teks yang kehilangan otonomnya oleh penafsiran yang dianggap stabil dan bahkan terhadap penafsiran yang dangkal.


*DITERBITKAN DALAN JURNAL BAHASA DAN SENI "JURNAL PRASASTI", Vol. 18, No. 2. Surabaya: FBS, Unesa



Daftar Rujukan


Al-Fayyadl, Muhammad. 205. Derrida. Yogyakarta: LKiS


Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: Ar-Ruzz


Palmer, Ricard E. 2003. Hermeniutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Terjemahan Mansur Heri dan Damanhuri Muhammad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra


Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Sim, Stuart. 2002. Derrida dan Akhir Sejarah. Yogyakarta: Jendela





Lampiran:



LELAKI BUAYA DARAT

Oleh: Ratu


Lihatlah pada diriku

Aku cantik dan menarik

Dan kau mulai dekati aku


Kuberi segalanya

Cinta harta dan jiwaku

Tapi kau malah menghilang

Bagai hantu tak tahu malu


Reff


Lelaki buaya darat

Busyet! Aku tertipu lagi

Mulutnya manis sekali

Tapi hati bagai serigala


Kutertipu lagi o...

Kutertipu lagi o...


Kuberi segalanya

Cinta harta dan jiwaku

Tapi kau malah menghilang

Bagai hantu sakitnya aku


Mungkin aku naif

Mungkin aku bodoh

Atau mungkin kamu memang penjahat wanita


Untungnya aku masih punya kekasih yang lainnya

Tapi mengapa aku masih saja tertipu olehnya
Tags: dekonstruksi Baca Selanjutnya