FRUSTRASI TOKOH UTAMA DALAM CERPEN PEREMPUAN ITU CANTIK KARYA RATNA INDRASWARI IBRAHIM DAN CERPEN WENING KARYA YANUSA NUGROHO
Oleh: Heru Susanto
A. Pendahuluan
Hakekat karya sastra ialah estetis dan imajinatif. Untuk mencapai tataran estetis, karya seni tidak harus tenggelam dalam kubangan estetis yang dangkal. Estetis memiliki pengertian yang lebih luas. Kengerian, kebencian, kealpaan, keserakahan, kematian, dan kekerasan juga merupakan keindahan dalam karya sastra.
Untuk mencapai keestetisan, karya sastra tidak pernah terlepas dari peranan imajinatif. Menurut Ratna (2007:44), imajinasi adalah salah satu kekuatan yang dapat menangkap sekaligus menghubungkan aspek-aspek estetis yang sedang diamati dengan memori pengalaman terdahulu. Melalui imajinasi, karya sastra memiliki kekuatan besar yang nantinya membuat karya tersebut menjadi sublim. Dari sanalah, estetis sebuah karya mulai terbangun.
Karya sastra lahir dari suatu masyarakat melalui pengarang: pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat (Arba’in, 2007:19). Pengarang memiliki kekuatan untuk menuangkan internalisasi pengalaman hidupnya yang dalam ke dalam karya sastra. Lebih jauh, Hudson (Sitanggang, 2003:81) mengatakan kesusastraan berbicara tentang pengalaman perseorangan sebagai individu, pengalaman manusia sebagai manusia, pengalamannya dengan dosa, dengan nasib, dengan Tuhan, dengan harapan bangsa, termasuk hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat dalam segi aktivitas dan persoalannya. Oleh sebab itu, karya sastra memiliki aspek yang bersifat kompleks.
Dalam menciptakan karya sastra, pengarang juga tidak dapat melepaskan diri dari teks-teks sastra yang lain. Menurut Sitanggang (2003:81) kelahiran suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah diserap oleh sastrawan. Pengarang pada dasarnya tidak hanya sebagai produktor, namun pengarang terlebih dahulu juga sebagai reseptor. Dari proses resepsi, pengarang memiliki langkah pijak untuk mereproduksi karya yang baru. Jadi, pengarang tidak berangkat dari kekosongan. Melalui karya terdahulu, ia menggulumi konvesi sastranya, konvensi estetiknya, gagasan yang tertuang dalam karya itu, kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karangan, karyanya sendiri (Sitanggang, 2003:81).
Dari proses resepsi karya sastra terdahulu, pengarang kemudian mengonstruksi ke dalam karya sastra yang baru. Dalam hal ini, pengarang tidak serta-merta mengalihkan karya sastra yang dulu ke dalam karya sastra yang baru. Akan tetapi, karya sastra yang baru tersebut telah mengalami internalisasi pengarang melalui kekuatan imajinatifnya, sehingga karya yang berikutnya lebih memiliki kreativitas berkembang. Oleh sebab itu, bila karya tersebut dibaca, pembaca akan merasakan sesuatu yang baru.
Untuk mengetahui kedalaman estetis suatu karya sastra, pembaca memiliki peran yang dominan. Pembaca harus dapat merasakan kekuatan-kekuatan yang terkandung dari berbagai karya sastra. Menurut Riffaterre (Endraswara, 2003:133), karya sastra (sajak) biasanya baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain, baik dalam hal persamaannya maupun pertentangannya. Pernyataan tersebut lebih menegaskan bahwa karya sastra tidak pernah terlepas dari karya yang lain. Oleh sebab itu, pembaca harus memiliki wawasan yang luas untuk mencapai kedalaman suatu karya yang disandingkan dengan karya sastra yang lain. Hal itu bertujuan untuk mengetahui sejauh mana nilai estetis yang berkembang dari karya satu ke karya sastra yang lain.
Tulisan ini mengupas frustasi tokoh utama dalam cerpen Perempuan itu Cantik karya Ratna Indraswari Ibrahim dan cerpen Wening karya Yanusa Nugroho dengan menggunakan kajian intertekstual. Perempuan itu cantik merupakan cerpen pilihan Kompas tahun 1992, sedangkan Wening merupakan cerpen yang dimuat Komas, Minggu, 14 Mei 2006.
Analisis ini juga melibatkan interdisipliner antara disiplin ilmus sastra dengan disiplin ilmu psikologi. Hal itu disebabkan sastra tidak pernah terlepas dari gejolak psikologi. Menurut Siswantoro (2005:29), novel atau cerpen sebagai bentuk sastra merupakan jagad realita yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia (tokoh). Secara spesifik realita psikologis terdapat pada fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh (dalam hal ini tokoh utama) ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkungan.
Interteks dalam kedua cerpen tersebut menitikberatkan pada gejolak frustrasi yang dialami oleh kedua tokoh utama dalam cerpen tersebut.
B. Kajian Intertekstual
Teeuw (1988:145) menegaskan prinsip interteks berarti setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa teks sastra tidak berdiri sendiri. Teks sastra merupakan bentukan dari teks yang lain. Ada jalinan antara teks yang satu dengan teks yang lain.
Nurgiantoro (1995:50) menjelaskan kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya sastra sebelumnya dan muncul pada karya sesudahnya. Aspek-aspek yang akan ditemukan murapakan aspek yang terdapat pada kedua karya tersebut. Akan tetapi, aspek tersebut tidak sekadar persamaan semata, malainkan perbedaan keduanya pun harus diidentifikasi demi menunjukkan sejauh mana perubahan teks. Menurut Frow (Endraswara, 2003:131), interteks berdasarkan pada asumsi kritis. Asumsi tersebut yakni:
1. konsep interteks menuntut peneliti untuk memahami teks tak hanya sebagai isi, melainkan aspek perbedaan sejarah teks,
2. teks tak hanya struktur yang ada, tetapi satu sama lain juga saling memburu, sehingga terjadi perulangan atau transformasi teks,
3. ketidakhadiran struktur teks dalam rentang teks yang lain namun hadir juga dalam teks tertentu yang ditentukan oleh proses waktu,
4. bentuk kehadiran struktur teks merupakan rentangan dari yang eksplisit sampai implisit,
5. hubungan teks satu dengan teks yang lain boleh dalam rentang waktu lama, hubungan tersebut dapat secara abstrak dan juga sering terdapat penghilangan-penghilangan bagian tertentu,
6. pengaruh mediasi dalam interteks sering berpengaruh terhadap penghilangan gaya maupun norma-norma sastra,
7. dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan proses interpretasi, dan
8. analisis interteks berbeda dengan melakukan kritik, melainkan lebih terfokus pada pengaruh.
Kajian interteks juga mengenal adanya hipogram. Riffaterre (Ratna, 2005:222) mendifinisikan hipogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika lebih lanjut, Hutomo (Sudikan, 2001:118) merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan, peristiwa dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian teks sastra yang dipengaruhinya. Hipogram dalam hal ini merupakan spirit yang terdapat dari teks terdahulu yang bila ditarik garis penghubung dalam karya yang setelahnya terdapat spirit yang senada. Spirit tersebut dapat pula bersifat kasar maupun halus. Yang jelas, karya kedua lebih memiliki “warna” yang mirip dengan karya pertama.
Ratna (2004:174) menyatakan secara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara, yakni a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama, b) hanya membaca sebuah teks, tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya.
Interteks frustrasi tokoh utama dalam cerpen Perempuan itu Cantik karya Ratna Indraswati Ibrahim dan Wening karya Yanusa Nugroho juga merupakan kajian interteks yang dilakukan dengan pembacaan teks yang dilatarbelakangi dengan teks yang lain. Pembacaan kedua cerpen tersebut bertujuan untuk menemukan aspek frustrasi yang dialami tokoh utama.
C. Teori Frustrasi
Frustrasi merupakan keadaan saat individu mengalami hambatan-hambatan dalam pemenuhan kebutuhannnya, terutama bila hambatan tersebut muncul dari dirinya sendiri. Konsekuensi frustrasi dapat menimbulkan perasaan rendah diri ). Seseorang akan mengalami frustrasi bila kebutuhan yang mereka inginkan tidak dapat tersalurkan. Keadaan seperti itu memiliki pengaruh besar terhadap keadaan psikis seseorang. Orang akan mengalami ketidaknormalan jiwa juga dapat disebabkan keinginan atau kebutuhannya tidak terpenuhi.
Seseorang mengalami frustrasi karena hasrat keinginannya terhalang, sehingga tidak dapat terwujud. Halangan tersebut dapat berasal dari keterbatasan fisik atau psikis (Siswantoro, 2005:100). Hal serupa juga dikemukakan Mu’tadin (10 Juni 2002), frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu.
Konsekuensi logis dari frustrasi ialah bagaimana seseorang mengalihkan tekanan batin yang ditimbulkan frustrasi. Siswantoro (2005:100) menjelaskan seseorang yang mengalami frustrasi akan bereaksi secara tidak sadar untuk mengurangi tekanan batin yang menimbulkan rasa sakit atau stress. Reaksi pengalihan tekanan batin tersebut disebut dengan defense mechanism.
Defense mechanism merupakan reaksi terhadap frustrasi yang dialami secara tidak sadar lewat tiga kategori, yakni agresif, menghindar, dan melakukan kompromi (Siswantoro, 2005:101).
D. Intertekstual Frustrasi Tokoh Utama dalam Cerpen Perempuan itu Cantik Karya Ratna Indraswari Ibrahim dan Wening Karya Yanusa Nugroho
Menurut Najid (2003:23), tokoh utama merupakan tokoh yang memiliki peran penting. Penentuan tersebut didasarkan pada hal sebagai berikut.
Frekuensi muncul, tokoh utama umumnya sering atau bahkan selalu muncul dalam setiap episode.
Komentar pengarang, tokoh utama umunya adalah tokoh yang sering dikomentari dan dibicarakan oleh pengarang cerita.
Judul cerita, tokoh utama biasanya dijadikan sebagai judul cerita.
Dari ketiga aspek penentu tokoh utama di atas, maka dapat ditentukan, tokoh utama dalam cerpen Perempuan itu Cantik ialah Nikita dan tokoh utama dalam cerpen Wening ialah Wening yang secara tegas dijadikan judul cerpen.
Kedua tokoh memiliki problematik psikologis masing-masing. Berbagai probema yang dialami kedua tokoh membuat mereka mengalami sejenis ganguan kejiawaan, yakni frustrasi. Seperti yang sudah dijelaskan di depan, frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Analisis ini menekankan pada ketiga aspek ketidaksadaran terhadap reaksi frustrasi, yakni a) agresif, b) menghindar, dan c) melakukan kompromi. Akan tetapi, sebelum melangkah pada ketiga reaksi frustrasi, terlebih dahulu kedua cerpen tersebut memiliki persamaan dalam aspek penyebab timbulnya frustrasi.
Penyebab Frustrasi
Dalam cerpen Perempuan itu Cantik Karya Ratna Indraswari Ibrahim, tokoh Nikata digambarkan sebagai tokoh yang cantik, walaupun ia sudah beranak dan bersuami, Nikita tetap merasakan bahwa dirinya itu cantik. Banyak pria yang mengakui bahwa diri tetap cantik. Dengan kecantikan yang ia miliki, Nikita ingin menggali potensinya sebagai bintang film. Akan tetapi, kecantikannya tidak diakui oleh suaminya. Suaminya justru ingin ia membuka depot makanan di depan rumahnya. Kenyataan tersebut tampaknya tidak dapat diterima oleh Nikita. Ia beranggapan bahwa perempuan secantik dirinya tidak cocok bekerja di depot makanan. Ia lebih yakin dirinya cocok sebagai bintang film karena kecantikannya.
Nikita merasa dicubiti. Dia sudah banyak berkorban, untuk menjadi istri yang baik sekali. Tetapi tega-teganya mas tadi bilang, “Nik, anak-anak sudah bisa bermain sendiri. Bagaimana kalau kau buka depot makanan di muka rumah, ‘kan sekarang banyak mahasiswa akan kuliah di kampus barunya, yang tak jauh dari sini ‘kan? Yah agar kau punya kesibukan, dan ada tambahan pendapatan dari kita” (Ibrahim, 2000:62).
Nikita tidak dapat menerima kenyataan tersebut. Ia sangat ingin menjadi bintang film. Ia yakin bahwa kecantikannya bila digali dengan sungguh-sungguh akan menjadi bintang film yang profesional.
“Mas, saya akan masak yang sedap lagi... Mas, apakah kau melihat saya cuma dari kepintaran saya memasak yang sangat meringankan beban ekonomi keluarga. Dan apakah di mata mas, saya bukan perempuan cantik yang sebenarnya bisa menjadi bintang film yang handal, kalau kesempatan itu, saya gali dengan dukunganmu.” (Ibrahim, 2000:69)
Kejadian serupa juga dialami oleh tokoh Wening dalam cerpen Wening. Wening merupakan perempuan yang telah beranak dua dan bersuami. Sebelum bersuami, saat itu ia berumur delapan belas tahun, ia merupkan penari yang handal. Ia mementaskan “Drupadi Mulat” salah satu koreografi karya guru tarinya. Saat itu, banyak penonton yang memusatkan pandangan ke arahnya. Ia menjadi bintang yang anggun, yang penuh keindahan.
Namun, kemampuannya untuk menari hilang begitu saja ketika ia telah menikah. Dulu ia bercita-cita kelak suaminya akan memanjakannya dengan membolehkan ia menari. Akan tetapi sebaliknya, suaminya justru sangat melarang keras ia menari.
“Cobalah kau mengerti. Aku memberimu semuanya, segalanya, dan hanya memintamu untuk tidak malakukan satu hal: menari. Itu saja. Apa susahnya?” Ucap bang Irfan entah kapan.
“Kenapa, Bang?”
“Tidak boleh.”
“Aku hanya ingin menunjukkan keindahan..” (Nugroho, Kompas 14 Mei 2006)
Kedua cerpen tersebut memiliki latar belakang yang sama. Nikita merasa suaminya tidak mengakui kecantikannya yang berpotensi sebagai bintang film yang handal dan menyuruh ia untuk membukan depot makan di depan rumahnya. Wening juga mengalami hal yang serupa. Ia tidak diperbolekan untuk menari lagi. Suaminya tidak mengakui bahwa kemampuannya sebagai penari akan menunjukkan keindahan. Keinginannya dimanjakan suami dengan membolehkannya menari tidak dapat diraihnya.
Kedua permasalahan yang dialami tokoh tersebut merupakan penyebab timbulnya frustrasi. Keduanya terhalang untuk mencapai tujuan atau harapan yang diinginkan. Setelah mengetahui penyebab frustrasi kedua tokoh cerpen tersebut, ketiga aspek ketidaksadaran terhadap reaksi frustrasi, yakni a) agresif, reaksi menyerang (Aggressive Reactions), b) menghindar (Withdrawal Reactions), dan c) melakukan kompromi (Compromise Reactions) dapat diuraikan sebagai berikut.
Agresi, Menyerang, Menyakiti (Aggressive Reactions)
Agresi merupakan salah satu cara merespon frustrasi. Seseorang yang mengalami frustrasi dapat melakukan tindakan menyerang, baik terhadap objek penghalang penyebab frustrasi atau terhadap oebjek pengganti (Siswantoro, 2005:102).
Agresi dibagi ke dalam tiga aspek, yakni (1) mencari kambing hitam (scapegoating), (2) marah tanpa pandang bulu (free-floating anger), dan (3) menyalahkan diri atau bunuh diri (suicedi) (Siswantoro, 2005:102). Mencari kambing hitam dapat dilakukan oleh seseorang yang frustrasi karena dirinya tidak berani menyerang secara langsung objek yang membuat ia sakit hati. Penyerangan tersebut biasanya dilakukan pada objek yang lebih lemah. Marah tanpa padang bulu dilakukan oleh seseorang yang mengalami agresi berat. Ia memiliki kecenderungan untuk menyerang apapun yang ada di sekitarnya. Menyalahkan diri sendiri dapat dialami oleh orang frustrasi dengan jalan menyerang diri sendiri karena merasa dirinya tidak mampu melampiaskan kepada orang lain, sehingga dapat menjuruh ke usaha bunuh diri.
Sadarjoen (6 Mei 2007) menegaskan orang agresif, motif agresinya mendominasi kehidupan psikisnya, sehingga segala keinginnya dipuaskan dengan cara menyerang lingkungan.
Dalam cerpen Perempuan itu Cantik dan Wening, aspek agresif dilakukan dengan menyerang terhadap objek penghalang yang menyebabkan frustrasi. Dalam Perempuan itu Cantik, Nikita menyerang suaminya yang merupakan objek penghalang keinginannya untuk menjadi bintang film. Akan tetapi, penyerangan tersebut tidak dilakukan secara kekerasan atau fisik, melainkan secara verbal, yakni perdebatan. Hal itu dapat ditemukan pada kutipan berikut.
“Mas, saya akan masak yang sedap lagi... Mas, apakah kau melihat saya cuma dari kepintaran saya memasak yang sangat meringankan beban ekonomi keluarga. Dan apakah di mata mas, saya bukan perempuan cantik yang sebenarnya bisa menjadi bintang film yang handal, kalau kesempatan itu, saya gali dengan dukunganmu.” (Ibrahim, 2000:69)
Setelah beberapa saat Nikita hanya memendam perasaan, akhirnya ia mengungkapkan dengan melawan kepada suaminya. Ia berusaha meyakinkan kepada suaminya bahwa ia merupakan perempuan yang cantik yang layak menjadi bintang film handal. Akan tetapi, perlawanan balik juga diterimanya.
“Kamu kok genit benar tanya soal kecantikan, dan mimpi jadi bintang film,. Nik kita sudah tua, yang penting bagaimana menambah tabungan untuk biaya anak-anak agar bisa sekolah sampai perguruan tinggi. Untuk hal ini kau harus mau bekerja sama denganku, beban ini ‘kan berat bila dipikul sendiri. Saya kira setiap perempuan memang lebih suka mandiri, daripada tergantung pada suami. Kita jangan melupakan sejarah Nik. Kau sendiri bilang, orang tuamu tidak bisa menyekolahkan kau dan adik-adikmu, karena hidupnya santai, boros, tidak punya rencana untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Apakah kau ingin anak-anak senasib denganmu, pasti tidak, iya ‘kan?” (Ibrahim, 2000:69).
Tindakan agresi yang dilakukan Nikita mendapat perlawanan dari suaminya. Dari perlawan tersebut, ia tampaknya tidak dapat menyangkal lagi. Agresifnya direpresei (ditekan) dari perlawanan balik suaminya. Hal yang serupa juga terdapat pada agresif tokoh Wening. Wening juga melakukan perlawanan terhadap objek penghalang keinginannya, yakni suaminya.
“Cobalah kau mengerti. Aku memberimu semuanya, segalanya, dan hanya memintamu untuk tidak malakukan satu hal: menari. Itu saja. Apa susahnya?” Ucap bang Irfan entah kapan.
“Kenapa, Bang?”
“Tidak boleh.”
“Aku hanya ingin menunjukkan keindahan..” (Nugroho, Kompas 14 Mei 2006)
Tindakan agresif dari Wening juga mendapat serangan balik dari suaminya. Suaminya tetap tidak mengizinkan dia menari. Akan tetapi, perlawanan Wening sedikit berbeda dengan perlawanan Nikita. Wening lebih berani melawanan suaminya. Ia merasa bahwa kasih sayang serta harapan terhadap suaminya sia-sia.
Belum lagi Wening duduk, Irfan keluar dengan langkah besar. Bagai kesetanan dia cengkeram Wening. Ucapan kasar, runcing dan berbisa berhamburan dari mulut suaminya. “Kapan kau mau mendengar ucapanku. Jangan menari dan jangan pernah lagi berpikir kamu bisa menari lagi. Aku tidak suka. Aku suamimu, mengapa kau tak mau mendengar suamimu?”
“Apa salahku punya keinginan menari?”
“Itu kesalahanmu!”
“Baik.... Lakukan keinginan abang. Silakan larang aku, tapi kali ini, maaf aku akan jadi mimpi buruk abang.” Berkata demikian, Wening masuk kamar. (Nugroho, Kompas 14 Mei 2006)
Perlawanan Wening terhadap suaminya terus dilakukan, walau pun ia harus menanggung risiko dengan melawan suaminya sepenuhnya. Ia menyatakan dengan tegas bahwa ia akan menjadi mimpi buruk bagi suaminya.
Perlawanan Wening berbeda dengan perlawanan Nikita. Perlawanan Nikita melemah ketika suaminya berbalik melakukan perlawanan. Nikita tetap ingin berada pada posisinya demi suaminya, walaupun hal itu sangat menyiksa batinnya.
Nikita tetap bersetia selalu pada mas! (Ibrahim, 2000:70)
b) Reaksi Menghindar (Withdrawal Reactions)
Reaksi menghindar merupakan reaksi dari frustrasi. Reaksi menghindar dapat berupa tindakan fisik maupun psikis. Reaksi menghindar dibagi menjadi tiga, yakni (1) penekanan (repression), (2) berkhayal (fantasy), dan (3) kembali ke masa lalu (regression) (Siswantoro, 2005:103-107).
Penekanan (repression) merupakan proses peminggiran dari kesadaran, pikiran ataupun perasaan yang menimbulkan sakit, rasa malu dan rasa bersalah. Berkhayal (fantasy) menunjukkan ketika hasrat keinginan seseorang terganjal oleh realita, orang itu boleh jadi lari ke dunia khayal yang dapat memuaskan keinginan yang terhalang. Kembali ke masa lalu (regression) dilakukan secara tanpa sadar oleh individu yang frustrasi dengan cara kembali ke masa lalu kanak-kanaknya yang dianggap lebih aman tanpa konflik (Siswantoro, 2005:103-107).
Tokoh Nikita dan Wening sama-sama mengalami reaksi menghindar. Reaksi mengihidar kedua tokoh tersebut meliputi berkhayal dan kembali ke masa lalu.
Nikita mengalami khayalan ketika ia merasa kepanasan tinggal di dalam kamar yang baru saja dibuatkan oleh suaminya. Ia merasa kepanasan karena tidak ada kipas angin. Suaminya menolok membeli kipas angin karena uangnya lebih baik dibelikan kompor gas demi keperluan depot makannya. Suaminya menganjurkan untuk membuka lebar-lebar jendela kamar bila kepanasan. Akan tetapi, Nikita tetap merasa kepanasan dan akhirnya ia pun membuka bajunya. Saat itulah, ia mengalami khayalan (fantasy).
Kali ini sesuai dengan anjuran mas. Dia membuka jendela lebar-lebar, yang terjadi hawa panas mengaliri kamarnya. Nikita merasa ada ganjalan di hatinya, dia kepanasan, tak mungkin bisa tidur siang dengan udara panas. Nikita kemudian membuka seluruh bajunya. Beberapa menit kemudian, dia bermimpi, tidur di hutan yang segar udaranya.
Setiap kali tidur siang, Nikita membuka bajunya. Pada suatu hari dia bermimpi tidur di hutan di mana waktu itu, bunga-bunga mekar bersama. Nikita merasa ingin bernyanyi-nyanyi. Namun, dia merasa dilihat oleh anak muda yang jadi langganannya. Nikita rikuh, dia berteriak-teriak kala anak muda itu, ingin lebih dekat melihat kemolekan tubuhnya. (Ibrahim, 2000:67).
Berkhayal juga dialami oleh Wening. Wening yang dilarang keras oleh suaminya untuk menari tiba-tiba masuk ke kamar, telanjang dan memakai pakaian tari saat ia dulu mementaskan “Drupadi Mulat”.
Pintu rusak, terbuka dengan paksa. Sunyi. Wening melepas bajunya, telanjang. Mengurai rambutnya yang masih panjang melebihi pinggang, yang selama ini disembunyikan atas perintah suaminya. Dikenakannya kemben kain panjang, yang dulu dikenaknnya waktu ketika “Drupadi Mulat”. Dibiarkannya sebagian kain itu menebar di lantai.
Iringan rebab menyayat malam, Wening bergerak sangat lambat. Sepasang telinganya menangkap gumaman jender; mengapa harus gadhung mlati? Wening menari dengan keheningannya. Dia merasa membawa lampu minyak kecil yang apinya berkebit oleh kepedihan...... (Nugroho, Kompas 14 Mei 2006)
Wening mengalami khayalan. Hal itu dapat dilihat saat Wening menari dengan lambat dan kedua telingnnya mendengar jender gadhung mlati, sebuah gending sakral. Khayalan kedua tokoh tersebut sama-sama dimulai dengan membuka baju. Hal itu menunjukkan bahwa aktivitas pra khayalan sampai dengan berkhayal mengindikasikan adanya persamaan linier.
Persamaan menghindar kedua tokoh tersebut juga mengalami persamaan yang serupa, yakni kedua tokoh mengalami kembali ke masa lalu (regression). Dalam tokoh Nikita, kembali ke masa lalu (regression) dialaminya ketika ia ingin berpenampilan cantik di depan pelanggan-pelanggannya, seperti ketika ia yang dulu masih cantik jelita.
Beberapa hari kemudian, beberapa tukang mengerjakan kamar itu. Tiba-tiba, Nikita ingin selalu tampil cantik di muka langganannya. Sementara itu, mas tidak perduli kala dia muncul seperti Nikita yang dulu: perempuan jelita yang berbakat menjadi bintang film. (Ibrahim, 2000:66)
Nikita kembali ke masa lalu dengan cara berpenampilan cantik di depan pelanggannya walau suaminya tidak memberikan respons terhadapnya. Kenyataan seperti itu juga terjadi pada tokoh Wening. Wening mengalami kembali ke masa lalu pada saat ia membuka album foto kenangan waktu ia menari di pentas terakhirnya.
Dibukanya album kecil yang masih disimpannya. Album foto pentas terakhirnya. Saat itu ia bersama teman-temannya memang mementaskan “Drupadi Mulat” sebuah koreografi indah karya Mbak Yudi—sahabat sekaligus guru tarinya. Dialah drupadi berambut panjang itu. Dialah dengan kain panjang putih—yang terlalu panjang untuk sebuah samparan—dengan lampu minyak tanah kecil di tangan kanannya, berjalan dari pelataran GKJ, menaiki tangga, membelah kerumunan penonton yang masih di luar, memasuki pintu, membiarkan dengung gong pertama bergema, melintas perlahan di karpet merah, membiarkan berpuluh, mungkin beratus pasang mata menatapnya kagum (Nugroho, Kompas 14 Mei 2006).
Kembalinya ke masa lalu kedua tokoh tersebut dimaksudkan untuk ke luar pada zona psikis yang semakin menekan. Bila ke luar dari zona tersebut dengan khayalan, hal itu dapat memberikan represei dari tekanan-tekanan batin yang mengikat psikis kedua tokoh tersebut.
Jadi, kedua tokoh tersebut sama-sama mengalami reaksi menghindar, yakni dengan kembali berkhayal (fantasy) serta kembalai ke masa lalu (regression).
c) Melakukan Kompromi (Compromise Reactions)
Pada aspek melakukan kompromi, individu harus menyerah kepada suasana yang mengancam atau tidak mengenakkan sebagai akibat frustrasi, tetapi tanpa harus menyerah total, sehingga tujuan yang diimpikan tetap dapat terealisasi (Siswantoro, 2005:107). Dalam aspek melakukan kompromi, ada tiga reaksi yang tergolong pada aspek melakukan kompromi, yakni (1) sublimation, (2) menyalahkan (projection), (3) pembenaran (rationalization).
Sublimation adalah penggantian kepuasan atas apa yang diinginkannya tidak terpenuhi. Kepuasan yang didapat merupakan kepuasan lain yang mampu menggantikan kepuasan yang tidak terlaksanakan. Menyalahkan (projection) merupakan reaksi yang membenarkan dirinya sendiri dengan cara mengalihkan kesalahan terhadap orang lain. Pembenaran (rationalization) merupakan pembenaran dengan memberikan alasan terhadap diri individu agar terlihat logis dan dapat diterima.
Kedua tokoh dalam cerpen Perempuan itu Cantik dan Wening mengalami reaksi melakukan kompromi. Reaksi melakukan kompromi tersebut cenderung pada aspek sublimation.
Pada tokoh Nikita, sublimation diarahkan pada hal yang terkesan eksibisionisme. Hal itu terjadi ketika keinginannya untuk menjadi bintang film ditolak oleh suaminya dan akhirnya ia pun selalu membuka bajunya setiap istirahat siang. Ia membiarkan beberapa lelaki muda melihat kemolekan dan keseksian tubuhnya.
Siang itu, dan siang selanjutnya, Nikita kalau istirahat siang membuka baju. Membiarkan beberapa lelaki muda mengintai kemolekan dari tubuhnya. Kelakuan lelaki muda itu macam-macam, ada yang melihat kemolekan dengan rakus, ada yang rikuh, dan ada yang membelalakkan mata.
Nikita tidak perduli dengan pandangan lelaki itu. Sesungguhnya mas tidak akan bisa melihat kecantikannya. Itu memangharus didapatkannya dari orang lain. Jadi, kebiasaannya untuk telanjang, dirasa cukup bijak. Dengan caranya itu, Nikita tak perlu mencari lelaki lain.
Nikita tetap bersetia selalu pada mas! (Ibrahim, 2000:69-70).
Penggantian kepuasan dilakukan Nikita dengan bertenlanjang dan membiarkan tubuhnya dilihat para pemuda. Hal itu merupakan gejala eksibisionisme yang merupakan pengalihan terhadap keinginan yang tak terealisasikan.
Hal serupa juga dialami oleh tokoh Wening. Wening mengalihkan kepuasannya dengan memakai kemben kain panjang putih. Ia terus menari tanpa henti, hingga anak-anaknya, sanak saudaranya, ibu dan bapaknya, mertuanya, kerabat jauh, dan bahkan tetangganya membisu melihatnya.
Langkahnya terus mengalir, entah sudah berapa lama. Wening hanya melihat, anak-anaknya berdatangan dalam bisu, kemudian sanak saudaranya, ibu dan ayahnya yang renta, juga mertua, bahkan kerabat jauh dan para tetanggnya. Mereka semua membisu. Mereka berubah menjadi batu. Hanya Wening di dunia ini yang mengalir, berenang dalam cahaya keindahan geraknya.
“Mama....please..” bisik Neny setengah menangis, mencoba mengingatkan ibunya. Tetapi wening telah menari, dan tak ada yang bisa menghentikannya. Kain samparannya terlalu panjang. Seakan ingin mengatakan bahwa penderitaan Wening jauh lebih panjang dari kain yang bisa disaksikan berpasang-pasang mata itu (Nugroho, Kompas 14 Mei 2006).
Penggantian kepuasan yang dilakukan Wening tersebut merupakan kompensasi dari represi yang diterapkan suaminya terhadap Wening. Paksaan yang mengharuskan Wening untuk meninggalkan keinginannya untuk menari membuat dirinya terkena gangguan kejiwaan. Ia terus menari untuk menggantikan keinginannya menari yang tidak pernah terealisasikan, hingga ia menari tanpa henti. Namun, tariannya membawanya untuk lepas dari kesadarannya.
Persamaan sublimation dari tokoh Nikita dan Wening terlihat bahwa keduanya merupakan objek yang dilihat banyak subjek (tontonan). Akan tetapi, keduanya terdapat perbedaan, yakni pada tokoh Nikita sublimatioan lebih mengarah pada eksibisionisme, sedangkan Wening mengarah pada gangguan jiwa yang lebih, hingga tidak sadar atau gila. Jadi, Nikita dan Wening dalam aspek siblimatioan mengalami gangguan psikis.
E. Simpulan
Intertekstual frustrasi tokoh utama dalam cerpen Perempuan itu Cantik karya Ratna Indraswara Ibrahim dan cerpen Wening karya Yanusa Nugroho menunjukkan persamaan dalam kondisi psikis tokoh utama tersebut. Kedua tokoh, Nikita dan Wening, memiliki latar belakang permasalahan yang serupa, yakni tekanan suami yang menghalangi keingnan istri. Nikita tidak dapat merealisasikan kecantikannya untuk menjadi bintang film terkenal, sedangkan Wening tidak dapat melanjutkan keinginannya untuk menari lagi.
Kedua tokoh utama tersebut juga mengalami agresi terhadap tokoh yang menghambat keinginannya. Agresi yang dilakukan bersifat verbal bukan fisik. Perbedaannya terletak pada tokoh Wening yang lebih berani melakukan agresi terhadap suaminya bila dibandingkan dengan Nikita, yakni mengancam suami.
Reaksi menghindar juga dialami oleh tooh Nikita dan Wening. Keduanya mengalami reaksi menghindar pada aspek berkhayal dan kembali ke masa lalu.
Reaksi melakukan kompromi tokoh Nikita dan Wening mengambil jalan sublimation. Pengalihan kepuasan pada tokoh Nikita cenderung ke eksibisionisme, sedangkan tokoh Wening cenderung pada tidak terkontrolnya diri atau dapat dikatakan gila.
Frustrasi yang dialami tokoh utama dalam cerpen Perempuan itu Cantik dan Wening selain terdapat persamaan juga terdapat perbedaan. Persamaan tersebut mengarah pada gagasan atau inti dari gejolak psikis yang dialami kedua tokoh utama.
Hipogram karya sastra meliputi: (1) ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya karya. Ekspansi tak sekadar repetisi, tetapi termasuk perubahan garamatikal dan perubahan jenis kata; (2) konversi adalah pemutarbalikan hipogram atau matriknya; (3) modifikasi adalah perubahan tataran linguistik, manipulasi urutan kata dan kalimat; (4) ekserp adalah semacam intisari dari unsur atau episode dalam hipogram yang diresepsi pengarang (Endraswara, 2003:132). Dari jenis hipogram di atas, tampaknya kedua cerpen tersebut, salah satunya merupakan hipogram yang mempengaruhi pengarang. Akan tetapi, resepsi tersebut merupakan pengaruh dari hipogram yang bersifat ekserp, yakni bersifat halus.
Perbedaan yang terdapat dari kedua cerpen tersebut dapat ditarik simpulan bahwa teks yang sesudahnya mengalami perkembangan, yakni bagaimana kegua tokoh dalam menanggapi permasalhannya. Ada spirit perlawanan dalam cerpen Wening. Tokoh utama lebih berani dan memberikan perlawanan yang cukup jelas terhadap sang suami, sedangkan dalam Perempuan itu Cantik, tokoh utama lebih memiliki spirit menerima tekanan-tekanan dan memberikan perlawanan yang pada akhirnya penerimaan. Mungkinkah, hal itu dipengaruhi oleh psikis pengarangnya? Mungkinkah dalam Perempuan itu Cantik sang pengarang larut dalam jiwa keperempuannya, sedangkan dalam Wening pengarang lebih menggunakan perasaan kelelakiannya yang lebih mengarah pada “kekakuan”? Itulah perbedaan yang menjadikan karya tersebut memiliki keunikannya tersendiri.
Hal itu menunjukkan bahwa ada kreativitas pengarang yang memberikan warna baru pada teks karya sastra yang berikutnya. Ratna (2005:220-221) menegaskan bahwa proses peniruan bukan berarti plagiat. Peniruan pada teori kontemporer bukan berarti tanpa kreativitas sama sekali, tetapi penurian lebih memberikan muatan, arti, gaya, dan makna yang baru. Peniruan dalam interteks adalah proses identifikasi objek ke dalam level yang lebih tinggi, sehingga karya yang dihasilkan menjadi baru, seolah-olah dilihat untuk kali pertamanya.
Daftar Rujukan
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Ibrahim, Ratna Indraswari. 2000. Perempuan itu Cantik. Dalam Kado Istimewa: Cerpen Pilihan Kompas 1992. Jakarta: Kompas
Kamis, 17 Juni 2004. Pengendalian Emosi Itu Penting, Lho! http://www.indomedia.com/bpost/062004/17/ragam/art-4.htm
Mu’tadin, Zainun. Jakarta, 10 Juni 2002. Faktor Penyebab Perilaku Agresi. http://www.e-psikologi.com/remaja/100602.htm
Nugroho, Yanusa. 14 Mei 2006. Wening. Jakarta: Kompas
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Pradopo, Rachmad Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sadarjoen, Sawitri Supardi. 14 Mei 2007. Mekanisme Peningkatan Perilaku Agresi. Jakarta: Kompas
Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta: Muhammadiyah University Press
Sitanggang, S.R.H. 2003. Novel Roro Mendut Versi Ajip Rosidi dan Mangunwijaya. Dalam Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Girimukti Pustaka
1 komentar:
Heru, salam kenal.. aku ga peduli sama artikelmu...yang bikin kutertarik, apa pedulimu dengan derrida. Ada banyak derrida di blogmu.
Dewi Alf
Posting Komentar