MEMBONGKAR LELAKI BUAYA DARAT KARYA RATU: KAJIAN DEKONSTRUKSI*
Oleh: Heru Susanto
Abstract
The lyric of ”Lelaki Buaya Darat” sung by a duo, Ratu that attempts to construct the binary opposition of woman as an object (victim) and man as asubject (doer) actually reveals an instability. This is due to the ambiguity of the marginalized text. Thie marginalized text is put forward by means of deconstruction, to reconstruct the seemingly stable interpretation of the song. The commonly accepted interpretation places woman as the object and man as the subject. This is reconstructed, thus putting woman as a subject instead.
Pendahuluan
Nietzsche, pujangga besar Jerman, berkata, “Whithout music, life would be an error.” Kenyataan tersebut memang benar bahwa musik merupakan alternatif untuk menenangkan jiwa manusia. Keharmonisan antara nada dan liriknya menjadikan musik mempunyai kekuatan untuk menyugesti penikmat ke wilayah yang damai dan membangkitkan memori kehidupan. Oleh sebab itu, musik sampai sekarang dibutuhkan manusia.
Perkembangan musik, khususnya di Indonesia sangat pesat. Banyak lagu populer yang memberikan nuansa lirik yang menyuarakan kisah cinta yang berbeda dari pemusik-pemusik kawakan (pencipta lagu), seperti Koes Plus, Ebiet, dan yang lainnya. Bila dilihat dari lirik lagu, pemusik saat ini lebih ”berani”. Perkembangan tersebut dipengaruhi kultur masyarakat yang dinamis yang sangat berpengaruh dalam penciptaan lagu.
Salah satu keberanian yang tampak untuk saat ini dapat ditemukan pada lirik lagu yang diciptakan oleh pemusik Ratu. Lirik-lirik Ratu secara implisit menyuarakan keberanian wanita mengangkat perspektif masyarakat mengenai gender bahwa wanita merupakan makhluk yang lemah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Erriam (Ratna, 2005:132) bahwa musik harus memiliki paling sedikit sepuluh fungsi sosial, antara lain a) fungsi pengungkapan emosional, b) fungsi pengungkapan rasa estetika, c) fungsi hiburan, d) fungsi komunikasi, e) fungsi pengungkapan simbolik, f) fungsi reaksi jasmani, g) fungsi penyelenggaraan norma-norma sosial, h) fungsi pengesahan lembaga sosial, i) fungsi kesinambungan kebudayaan, dan j) fungsi pengintegrasian sosial. Bila dilihat dari sepuluh fungsi tersebut, musik sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial.
Fungsi sosial juga terdapat dalam lirik lagu karya Ratu, mengenai oposisi biner antara wanita dengan lelaki. Salah satu lirik lagu Ratu yang saat ini sedang populer dan mempunyai pengaruh sosial yang kuat yaitu Lelaki Buaya Darat (selanjutnya disingkat LBD)
LBD mengisahkan seorang wanita yang merasa dirinya dikhianati lelaki. Dari lirik lagu tersebut, tampaknya Ratu mencoba membangkitkan mitos warisan nenek moyang mengenai ”gelar” yang sampai sekarang menjadi beban bagi kaum lelaki sebagai ”hidung belang”. Sadar atau tidak, dalam lirik tersebut, Ratu ingin memunculkan ikon jeritan kaum wanita yang merasa disakiti (penderita) dan merupakan representasi perlawanan terhadap lelaki sebagai tokoh penindas (pelaku). Oposisi biner wanita sebagai objek (penderita) dan laki-laki sebagai subjek (pelaku) merupakan gambaran yang ingin diungkapkan oleh Ratu dalam LBD sebagai realita sosial. Namun, benarkah dalam lirik tersebut wanita semata-mata kaum tersakiti (penderita)? Atau benarkah lelaki sebagai pelaku penindasan yang layak menyandang ”gelar” ”buaya darat”?
Kenyataan penafsiran masyarakat terhadap LBD yang menjadikan wanita sebagai penderita dan lelaki sebagai pelaku penindasan memang tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi, kali ini penulis mencoba merekonstruksi interpretasi pada lirik lagu tersebut dengan teori dekonstruksi yang digagas Jacques Derrida.
Dekonstruksi: Differance, Teks, dan Lirik Lagu
Dekonstruksi menurut Derrida (Al-Fayyadl, 2005:176) merupakan strategi pembacaan teks secara filosofis yang menunjuk pada proses yang tak terselesaikan dan bersifat dinamis. Dekonstruksi tidak melihat kebenaran dalam penafsiran sebagai salah satu kebenaran. Kebenaran menurut dekonstruksi ada banyak. Hal itu disebabkan dalam teks terdapat perbedaan (yang dinamakan Derrida sebagai differance) yang tak selamanya ditaklukkan.
Pemikiran filsafat Derrida yang direpresentasikan melalui dekonstruksi cenderung pada bahasa. Sim (2002:26) menggambarkan asumsi-asumsi dasar dekonstruksi yang berhubungan dengan permainan bahasa yang berwujud sebagai teks. Asumsi-asumsi tersebut antara lain:
bahwa bahasa senantiasa ditandai oleh ketidakstabilan dan ketidaktetapan makna,
bahwa mengingat ketidakstabilan dan ketidaktetapan itu, tak ada metode analisis (misalnya filsafat atau kritik) yang memiliki klaim istimewa apa pun atas otoritas dalam kaitannya dengan tafsir tekstual,
bahwa dengan demikian, tafsir adalah kegiatan yang tak terbatas dan lebih mirip dengan permainan daripada analisis seperti yang lazimnya dipahami.
Untuk mendeskripsikan dekonstruksi, Derrida (Al-Fayyadl, 2005:174:176) meringkasnya dalam tiga prinsip, yakni sans savoir, sans voir, dan sans avoir (tidak mengetahui, tidak melihat, dan tidak memiliki). Sans savoir (tidak mengetahui) yaitu menggambarkan bahwa teks tidak selalu dapat ditangkap kebenarannya oleh penafsir secara total. Penafsir dalam menginterpretasikan sebuah teks harus mengakui bahwa teks terdapat perbedaan (defferance). Sans voir (tidak melihat) menggambarkan keterbatasan indra dan penglihatan kita terhadap kebenaran. Ada sikap yang ingin menghargai sebuah perbedaan atau respek akan adanya defferance. Prinsip yang terakhir yaitu sans avoir (tidak memiliki). Sans avoir menyatakan bahwa kebenaran tidak menetap pada satu penafsir, melainkan bergerak menyebar ke penafsir-penafsir yang berbeda.
Munculnya dekonstruksi mengundang kontroversi dari berbagai kalangan. Hal itu disebabkan ketidaktepatan dalam memberikan pengertian terhadap istilah dekonstruksi. Penghancuran, pembongkaran, dan penolakan merupakan pemberian pengertian yang secara leksikal, sehingga menimbulkan ketidaktepatan dalam mengartikan dekonstruksi. Dekonstruksi tidak hanya sekadar membongkar, tetapi merekonstruksi penafsiran yang telah diakui kebenarannya secara absolut. Kebenaran dalam penafsiran tidak harus diakui begitu saja tanpa ada penafsiran lebih lanjut. Penafsiran membutuhkan ketelitian dan tidak mengesampingkan teks sebagai sesuatu yang dianggap sepele. Dalam hal ini, penafsiran yang sudah dianggap stabil mampu dijungkirbalikkan. Namun, dalam hal ini, penafsiran tetap pada makna yang mampu dipertanggungjawabkan. Kristeva (Ratna, 2005:252) menyatakan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif.
Menurut Sim (2002:27), dekonstruksi dianggap sebagai bentuk skeptimisme filosofis yang benar-benar menyeluruh, yang mempertanyakan asumsi-asumsi yang tak pernah dipersoalkan, dan selanjutnya menunukkan kesenjangan-kesenjangan yang menyebabkan keputusan-keputusan nilai yang lebih dari sekadar terdakwa. Hal tersebut menyatakan bahwa dekonstruksi pada dasarnya tidak menganggap klaim-klaim sebagai sebuah kebenaran. Dekonstruksi justru meragukan kebenaran yang telah diakui keberadaannya. Dekonstruksi memberikan penafsiran ulang, menata kembali teks yang diakui kebenarannya dan menunjukkan segala sesuatu yang tidak beres dalam sebuah teks.
Lirik lagu pada dasarnya merupakan teks. Teks yang dilantunkan berdasarkan irama, sehingga menjelma sebagai teks yang mempunyai keluwesan nada yang dilisankan. Karena sebagai teks, dekonstruksi merupakan pendekatan yang sesuai untuk menafsirkan kembali (reinterpretrasi) penafsiran LBD yang dianggap telah stabil oleh masyarakat sebagai lirik yang memosisikan wanita sebagai penderita dan lelaki sebagai pelaku yang menyebabkan kekecewaan kaum wanita. Benarkah hal itu?
Sesuai dengan pendapat Derrida (Norris, 2003:109) dekonstruksi ”menggerogoti dari dalam” atau menelanjangi teks-teks dengan meminjam konsep teks itu sendiri. Penafsiran LBD juga akan meminjam teks yang ada dalam lirik itu sendiri untuk menelanjangi atau membongkar makna yang implisit dan makna yang dimarginalkan.
Untuk menghadirkan keambiguaitasan teks yang dimarginalkan, perlu memunculkan differance. Differance menurut Derrida berarti ”perbedaan”. Yang dimaksud perbedaan tidak sekadar menunjukkan ketidaksamaan antara dua hal. Namun, differance menunjukkan ”penundaan” suatu yang lain. Secara filosofis istilah differ(a)nce memiliki dua makna, yaitu ”membedakan/menjadi berbeda” (to differ) dan ”menunda” (to defer). Pengertian ganda yang dipicu huruf a dalam differ(a)nce menurut Derrida (Al-Fayyadl, 2005:110) merupakan strategi tekstual untuk menunjukkan watak ambiguitas bahasa. Dengan kata lain, differance membuka teks terhadap ”suara” lain, kepada the other yang dimarginalkan oleh pusat teks yang stabil.
Wanita sebagai Objek dan Subjek
Perspektif yang sampai sekarang masih mendominasi paradigma masyarakat bahwa wanita merupakan makhluk yang selamanya tertindas, secara tidak langsung terdapat dalam LBD. Dalam LBD, Ratu ingin menggambarkan rasa sakit yang dialami wanita yang disebabkan oleh kaum lelaki. Kekecewaan-kekecewaan wanita mewarnai lirik LBD. Kekecewaan tersebut dimunculkan Ratu untuk memperkuat bahwa wanita merupakan makhluk yang lemah yang sering ditindas oleh kaum lelaki. Ratu berusaha memunculkan oposisi biner antara wanita sebagai penderita dan lelaki sebagai pelaku.
Akan tetapi, penggambaran wanita dalam LBD tampaknya tidak sekadar menempatkan wanita sebagai objek (penderita) semata. Wanita yang oleh perspektif masyarakat diyakini hanya sebagai objek semata, dalam lirik LBD ternyata juga menempati posisi sebagai subjek (pelaku). Dari sinilah, pembacaan dekonstruksi perlu diterapkan. Yang menggambarkan wanita sebagai subjek terletak pada lirik sebagai berikut.
Lihatlah pada diriku
Aku cantik dan menarik
Dan kau mulai dekati aku
Dari lirik awal LBD, wanita merupakan pelaku. Dengan menggunakan tubuh yang dinyatakan melalui kecantikan dan daya tarik, wanita memanfaatkannya sebagai stimulus (rangsangan) untuk menarik lelaki. Doktrin mengenai wanita adalah objek (penderita) dan lelaki adalah subjek (pelaku) yang seakan-akan dipostulatkan, dalam hal ini dijungkirbalikkan. Lirik tersebut telah menyatakan bahwa justru wanitalah yang menjadi pelaku (subjek) dan lelaki menjadi penderita (objek). Dalam hal ini, Prabasmoro (2006:181) menegaskan posisi objek dapat memberikan ruang bagi wanita untuk menjadi subjek dan menjadikan subjek yang dibangun dalam pengobjektivikasian kaum patriarki. Dari lirik tersebut, tampaknya Ratu selain ingin menggambarkan kelemahan wanita juga ingin menunjukkan superioritas wanita pada lihatlah pada diriku...
Namun, pembacaan teks tidak terputus pada bait lirik tersebut. Menurut Beauvoir (Prabasmoro, 2006:181) dan hal ini merupakan kekhawatirannya, wanita dapat terkecoh dalam keadaan seolah-olah ia memainkan peran objek sebagai subjek, ketika yang sebenarnya terjadi adalah perempuan tergoda untuk menjadi objek dan melepaskan subjektivitasnya, karena subjektivitas membawa konsekuensi tanggung jawab. Bila teks lirik LBD dibaca kembali, kekhawatiran Beauvoir benar-benar terjadi. Wanita (dalam LBD) tidak mampu mempertahankan subjektivitasnya. Hal ini disebabkan tidak adanya strategi pertahanan subjektivitas, sehingga subjek tenggelam ke dalam objektivitas. Ketidakmampuan mempertahankan subjektivitas terjadi ketika wanita memberikan segalanya kepada lelaki.
Kuberi segalanya
Cinta harta dan jiwaku
Tapi kau malah menghilang bagai hantu
Tak tahu malu
Posisi wanita yang semula menjadi subjek kemudian tenggelam ke dalam objek inilah yang melatarbelakangi kebencian terhadap lelaki. Dari lirik tersebut, Ratu mulai menggambarkan sosok lelaki yang tidak bertanggung jawab, sehingga lirik LBD mampu memberikan sugesti untuk memperkuat bahwa lelaki adalah ”buaya darat”. Pembentukan karakteristik lelaki tersebut bertujuan untuk mengkonstruksi makna yang ingin diungkapkan, yaitu menghadirkan oposisi biner wanita sebagai objek (penderita) dan lelaki sebagai subjek (pelaku).
Walau posisi wanita yang semula subjek kemudian tenggelam ke posisi objek, hal tersebut tidak berarti wanita selamanya berperan sebagai objek yang telah mendominasi perspektif masyarakat, melainkan juga berperan sebagai subjek atau pelaku.
Dalam LBD, kebiasaan lelaki sebagai penggoda kaum wanita sekarang tidak diakui. Lirik di atas apabila ditata kembali mengisyaratkan bahwa wanitalah yang menggoda lelaki. Jadi, wanita dalam LBD berperan sebagai subjek (pelaku). Wanita yang dalam pandangan masyarakat diakui sebagai sosok yang selalu menjadi korban lelaki dalam hal ini justru wanitalah yang memberikan stimulus untuk menempatkan lelaki sebagai objeknya.
Keinginan Ratu untuk menghadirkan oposisi biner wanita sebagai objek (penderita) dan lelaki sebagai subjek (pelaku) semata telah gagal. Ratu terjebak dalam ambiguitas teks yang direpresentasikan sebagai lirik lagu yang digagasnya. Wanita yang semula diakui sebagai objek (penderita) ternyata juga berposisi sebagai subjek (pelaku) yang menarik perhatian lelaki.
Pengakuan terhadap the Other: Wanita sebagai ”Buaya” yang lain
Setelah menggambarkan lelaki sebagai pelaku yang menyakiti wanita, Ratu memunculkan beberapa lirik selanjutnya untuk memperkuat ambisinya demi melekatkan sebutan “buaya darat” kepada lelaki. Kebencian wanita terhadap lelaki sangat kuat pada bagian reff LBD.
Penggunaan kata dalam lirik LBD, seperti busyet! Aku tertipu lagi memiliki kekuatan untuk memberikan makna kekecewaan dan kekesalan. Kekecewaan dan kekesalan tersebut menjadi titik-tolak bagi Ratu untuk memunculkan kata-kata makian yang mewakili kebencian wanita terhadap lelaki yang menyakitinya. Pengkonstruksian kata-kata yang mampu memberikan kekuatan makna untuk membangkitkan figur lelaki sebagai penindas wanita sebagai berikut.
Lelaki buaya darat
Busyet! Aku tertipu lagi
Mulutnya manis sekali
Tapi hati bagai serigala
Kekesalan serta kekecewaan diungkapkan berupa metafor yang menjadikan ”serigala” untuk menggambarkan kelicikan dan kebuasan lelaki. Lelaki di sini dinyatakan sebagai seseorang yang pandai merayu serta mengobral janji yang manis, namun tak ada bukti dan akhirnya menghilang begitu saja. ”Kebuasan”, ”keliaran”, dan kelicikan mulai tergambarkan.
Kekecewaan yang dialami wanita juga terdapat pada lirik ”tapi kau malah menghilang bagai hantu tak tahu malu (sakitnya aku)”. Lirik tersebut memiliki potensi yang kuat untuk memunculkan gambaran sosok wanita yang tertindas. Untuk menggambarkan kelicikan lelaki yang menyisakan rasa sakit dan kecewa pada wanita, hal itu perlu ditegaskan bahwa penggunaan metafor berupa kata hantu, serigala, dan busyet ialah kekuatan yang mampu memperkuat gambaran lelaki sebagai pelaku penindasan. Kata-kata tersebut mempunyai aspek makna yang kuat dan merupakan sentral yang mampu memberikan sugesti ke penafsiran yang distabilkan.
Namun, benarkah dalam teks lirik LBD sifat ”hantu”, ”serigala”, dan ”buaya darat” memang hanya untuk kaum lelaki? Untuk membongkar kebenaran dalam teks tersebut, penafsiran perlu menggunakan pembacaan dekonstruksi untuk menghadirkan differance dalam teks.
Bila mendengar lagu LBD, orang pasti beranggapan bahwa yang pantas disalahkan adalah lelaki. Lelakilah yang pantas dibebani atau menyandang ”gelar” ”buaya darat” serta ”keserigalaan”nya. Mereka menganggap bahwa penafsiran mereka terhadap teks LBD merupakan kebenaran yang tunggal dan stabil. Hal itu disebabkan bahwa para penikmat LBD tersugesti untuk memasuki sentral makna yang kuat yang terdapat pada kata hantu, serigala, busyet, serta buaya darat. Penikmat digiring sedemikian rupa ke dalam kekuatan makna yang dibangun, sehingga penafsiran tunggal pun terbentuk. Tanpa memberikan penafsiran lebih jauh, penikmat secara tidak sadar menganggap dan bahkan terlibat dalam penstabilan teks tersebut, sehingga eksistensi kebenaran yang lain (the other) tenggelam.
Bila penafsiran sudah dinyatakan stabil, hal itu justru perlu dipertanyakan. Menurut Derrida, teks menyimpan ambiguitas-ambiguitas yang tidak bisa dielakkan. Seperti ambisi Ratu untuk menggambarkan kesalahan-kesalahan lelaki sehingga dapat memunculkan oposisi biner antara wanita sebagai objek (penderita) dan lelaki sebagai subjek (pelaku), Ratu justru terperangkap dalam ambiguitas-ambiguitas tersebut. Akan tetapi, ambiguitas tersebut seakan dimarginalkan demi menghadirkan ketunggalan dan kestabilan penafsiran, sehingga penafsiran dianggap selesai dan dihentikan. Namun, ambisi tersebut tidak sepenuhnya berhasil. Ketidakstabilan dan keambiguitasan LBD yang dimarginalkan, dalam tulisan ini akan diangkat ke permukaan, sehingga eksistensinya mulai tampak. Hal itu terdapat pada lirik berikut.
Untungnya aku masih punya kekasih yang lainnya
Tapi mengapa aku masih saja tertipu olehnya
Penggalan lirik LBD tersebut merupakan salah satu ketidakstabilan dan keambiguitasan yang keberadaannya dimargnalkan. Bila diperhatikan secara sekilas, lirik tersebut seakan-akan lenyap ketika dinyanyikan. Lenyapnya lirik tersebut diakibatkan oleh tekanan-tekanan pada lirik yang lainnya, seperti lirik pada bagian reff dan pengaruh-pengaruh kekuatan makna yang terdapat pada kata hantu, serigala, busyet, dan buaya darat. Setiap lagu pasti memberikan tekanan tersendiri pada bagian reff, sehingga teks-teks yang lain cenderung mengalami pergeseran eksistensinya. Hal itu merupakan strategi Ratu untuk memperkuat penciptaan kebencian dan kekecewaan terhadap lelaki serta mengangkat figur wanita yang tertindas dengan memarginalkan terks tersebut. Ambisi tersebut mulai tergoyahkan, setelah teks yang dimarginalkan dibebaskan dari ikatan teks yang distabilkan.
Bila penafsiran ditata kembali secara teliti dan cermat, ada kejanggalan dalam LBD. Untungnya aku masih punya kekasih yang lainnya, memberikan tafsiran bahwa ternyata si wanita selama bersama dengan lelaki yang telah meninggalkannya juga mempunyai kekasih ”gelap”. Hal itu juga dapat ditafsirkan bahwa si wanita juga mendua tanpa sepengetahuan kekasihnya. Pengkhianatan cinta juga dilakukan wanita. Wanita yang tadinya didudukkan sebagai korban pengkhianatan atau korban penelantaran oleh lelaki ternyata juga pelaku. Lirik tersebut sangat bertentangan dengan misi Ratu yang ingin mengangkat ”buaya darat”. Figur wanita yang dibangunnya mulai terombang-ambing dalam ketidakstabilan. Wanita yang sebelumnya tergambar dengan keluguannya yang tertindas, ternyata memiliki sisi yang berpotensi sebagai penindas. Jadi, dalam LBD selain lelaki sebagai pelaku pengkhianatan yang tadinya diakui kebenarannya tanpa dipertanyakan ulang, wanita pun juga menjadi tersangka sebagai pelaku pengkhianatan. Wanita secara sembunyi-sembunyi mempunyai lelaki ”cadangan” yang lain.
Istilah buaya darat merupakan sebutan yang ditujukan kepada lelaki yang sering berganti-ganti pasangan dan selalu mengobral janji kepada semua wanita. Kenyataan tersebut dapat ditemukan pada lirik mulutnya manis sekali / tapi hati bagai serigala. Namun, kita akan merekonstruksi kembali lirik untungnya aku masih punya kekasih yang lainnya / tapi mengapa aku masih saja tertipu olehnya. Pada lirik tapi mengapa aku masih saja tertipu olehnya akan muncul sebuah tafsiran bahwa wanita tersebut juga berpengalaman dalam hal percintaan yang bersifat mendua. Namun, walaupun berpengalaman, wanita tersebut masih saja tertipu. Jadi, lirik tersebut menyuarakan adanya kekecewaan pada diri sendiri yang seharusnya dengan pengalamannya tidak terjadi hal semacam itu.
Gambaran meninggalkan wanita begitu saja yang dilakukan oleh lelaki yang seharusnya bertendensi untuk memperkuat lelaki sebagai ”buaya darat” juga mengalami ketidakstabilan. Wanita yang seharusnya sebagai korban pengkhianatan ternyata juga memiliki pengalaman mendua. Munculnya gambaran wanita yang juga berpengalaman mendua menjadi ”bumerang” bagi ambisi Ratu untuk menyatakan lelaki sebagai ”buaya darat”. Ambisi tersebut akhirnya runtuh dalam teks lagu itu sendiri. ”Buaya darat” dalam LBD tampaknya mengalami kebingungan untuk menentukan ”majikan” yang cocok menyandang maupun melestarikannya. Ia harus ikut si lelaki atau si wanita?
Dari rekonstruksi interpretasi tersebut, yang ”buaya darat” tidak hanya lelaki, tetapi ada ”buaya” lain atau ”buaya” kedua dalam liri lagu LBD yang seakan dimarginalkan. Usaha Ratu untuk membangkitkan kekecewaan dan kekesalan terhadap lelaki dan mengangkat figur wanita yang selalu tertindas pada bagian teks sebelumnya telah gagal, setelah teks yang dimarginalkan dihadirkan.
Ambisi menghadirkan tafsiran tunggal dan stabil merupakan kesalahan terbesar, sebab teks bersifat otonom. Tidak ada yang berhak untuk menyatakan bahwa teks bersifat tunggal dan stabil. Menafsirkan teks tidak berarti menggugurkan kebenaran yang lain. Derrida telah menegaskan bahwa kebenaran itu tidak hanya satu, tetapi kebenaran ada banyak dan kebenaran menyebar dalam teks, sehingga siapa pun dapat mendekatinya dari berbagai sisi.
LBD merupakan saksi bahwa penafsiran tidak pernah stabil dan keambiguitasan teks tidak selamanya dapat dihindari. Ambisi Ratu mengangkat ”buaya darat” telah gagal. Wanita yang ingin disuarakan ternyata terperosok pada ambiguitas dan bahkan telah menjelma sebagai ”buaya” yang kedua. Kegagalan Ratu memunculkan figur wanita yang tersakiti dan lelaki sebagai pelaku penindasan yang layak disebut sebagai ”buaya darat” tampaknya diakibatkan juga oleh ambisi untuk menunjukkan superioritas wanita. Gambaran superioritas wanita yang tersirat dalam LBD memberikan peluang ambiguitas yang tak dapat dielakkan. Ratu terjebak oleh ambisi-ambisinya yang di salah satu sisi ingin mengangkat figur wanita yang tertindas, di sisi lain ia terjebak oleh ambisinya untuk menggambarkan superioritas wanita.
Penutup
Dekonstruksi memberikan kebebasan dalam mendekati sebuah teks. Tidak ada kebenaran tunggal dalam menelanjangi teks. Dekonstruksi mengajak manusia untuk lebih bersikap skeptis (meragu-ragukan) kebenaran yang telah dianggap stabil dan menghargai perbedaan pada the other. Ambiguitas teks perlu dibangkitkan dari upaya pemarginalannya untuk mendapatkan penafsiran yang justru lebih dapat dipertanggungjawabkan. Manusia tidak harus menerima begitu saja segala sesuatu tanpa pernah mempertanyakan kembali.
Heidegger (Palmer, 2003:270) menegaskan pemahaman merupakan sesuatu yang fundamental dari keberadaan manusia di dunia. Melalui pemahaman, manusia memiliki suatu penilaian dari cara kita berada, menangkap makna melalui bahasa.
Setelah mendekonstruksi LBD, penafsiran yang selama ini telah diyakini kebenarannya kini telah dijungkirbalikkan. Tidak hanya lelaki yang ”buaya darat”, wanita pun (dalam LBD) juga ”buaya” (sebut saja ”buaya laut”). Rekonstruksi interpretasi tersebut memunculkan pertanyaan yang mengganggu lebih lanjut. Mungkinkah lelaki (dalam LBD) meninggalkan si wanita justru karena ia mengetahui bahwa si kekasih (wanita) mempunyai teman lelaki spesial lainnya? Bukankah kita masih ingat lagunya Ratu yang berjudul TTM (Teman tapi Mesra)?
Pembongkaran LBD ini bukan semata-mata apologi (pembelaan) terhadap kaum lelaki yang identik dengan ”buaya darat”, tetapi tulisan ini lebih mengarah pada pembelaan teks yang kehilangan otonomnya oleh penafsiran yang dianggap stabil dan bahkan terhadap penafsiran yang dangkal.
*DITERBITKAN DALAN JURNAL BAHASA DAN SENI "JURNAL PRASASTI", Vol. 18, No. 2. Surabaya: FBS, Unesa
Daftar Rujukan
Al-Fayyadl, Muhammad. 205. Derrida. Yogyakarta: LKiS
Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Palmer, Ricard E. 2003. Hermeniutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Terjemahan Mansur Heri dan Damanhuri Muhammad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sim, Stuart. 2002. Derrida dan Akhir Sejarah. Yogyakarta: Jendela
Lampiran:
LELAKI BUAYA DARAT
Oleh: Ratu
Lihatlah pada diriku
Aku cantik dan menarik
Dan kau mulai dekati aku
Kuberi segalanya
Cinta harta dan jiwaku
Tapi kau malah menghilang
Bagai hantu tak tahu malu
Reff
Lelaki buaya darat
Busyet! Aku tertipu lagi
Mulutnya manis sekali
Tapi hati bagai serigala
Kutertipu lagi o...
Kutertipu lagi o...
Kuberi segalanya
Cinta harta dan jiwaku
Tapi kau malah menghilang
Bagai hantu sakitnya aku
Mungkin aku naif
Mungkin aku bodoh
Atau mungkin kamu memang penjahat wanita
Untungnya aku masih punya kekasih yang lainnya
Tapi mengapa aku masih saja tertipu olehnya
Tags: dekonstruksi
Jumat, 04 April 2008
MEMBONGKAR LELAKI BUAYA DARAT KARYA RATU: KAJIAN DEKONSTRUKSI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar